Minggu, Oktober 6, 2024

Mengulas Akar Radikalisme

Ahmad Tamami
Ahmad Tamami
Koordinator Umum: Komite Masyarakat Sipil Pengawal Demokrasi

Diskursus tentang radikalisme sampai saat ini masih berada dalam bingkai pemahaman yang mengalami peyorasi terhadap istilah tersebut. Secara umum, radikalisme dianggap sebagai sikap ekstrem dalam aliran atau paham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Masyarakat Indonesia pada umumnya sulit membedakan antara radikalisme dan fundamentalisme yang pada dasarnya memiliki pengertian yang berbeda secara etimologi maupun terminologinya.

Kini kedua istilah tersebut difahami sebagai ekspresi kultus keagamaan yang berakar pada alienasi dan dislokasi sosial di tengah laju modernisasi. Dengan kata lain radikalisme merupakan gejala patologi keagamaan.

Dalam tulisan ini istilah radikalisme akan diselaraskan dengan pemahaman umum, agar memudahkan pemahaman terkait uraian-uraian yang akan disampaikan

Pada beberapa tulisan, baik di media cetak, media online, jurnal, majalah dan lain sebagainya, secara gegabah menjelaskan yang menjadi penyebab lahirnya radikalisme–khususnya di Indonesia– adalah karena berpegang secara kaku pada kepercayaan atau ajaran Agama.

Yang menganggap bahwa kitab suci mereka tidak mengandung kesalahan dan bertentangan dengan ajaran liberalisme dan modernitas. Mereka menekankan keselamatan pribadi sebagai jalan mencapai kemurnian iman.

Di Indonesia, cenderung melabelkan radikalisme ini pada sebagian kelompok orang yang menganut ajaran Islam. yang kemudian melahirkan istilah baru, yaitu Islam radikal.

Jika kepercayaan bahwa kitab suci seseorang bebas dari kesalahan merupakan ciri utama radikalisme, maka semua muslim adalah penganut faham radikalisme. Karena dalam pandangan seorang Muslim, al-Quran sama sekali bebas dari kesalahan; al-Quran adalah firman Tuhan. Padahal istilah radikalisme hanya digunakan untuk mendeskripsikan satu tipe tertentu saja dari orang-orang yang mengaku sebagai muslim.

Untuk itu, jika istilah radikalisme dikaitkan dengan orang-orang yang menganggap bahwa kitab suci mereka tidak mengandung kesalahan, adalah pendefenisian yang keliru.

Radikalisme Bukan Ajaran Agama Manapun

Dewasa ini, istilah Islam radikal sudah menjadi buah bibir yang sering dilontarkan berbagai pihak, tanpa menghiraukan ketersinggungan penganut Islam lainnya dan seolah mengabaikan kesucian Islam itu sendiri, mau tak mau istilah Islam radikal sudah terdaftar dalam kosakata masyarakat Indonesia secara umum.

Tapi tak dapat dipungkiri, dalam sejarah Islam itu sendiri, kelompok radikal ini sudah ada semenjak lama. Yang dikenal dengan kelompok Khawarij.

Sebagai golongan, kaum Khawarij memang sudah lama punah, tetapi sebagai paham Khawarijisme (baca radikalisme) masih ada. Abul Ala Maududi (1903-1979) menulis, “Khawarij tidak tidak pernah masuk ke Indonesia, karena keburu punah. Tetapi karakteristiknya dijadikan model kefanatikan mazhab oleh semua mazhab yang ada di Indonesia.”

Secara spesifik, yang menjadi ciri khas kelompok radikal ini adalah pemahaman yang formalistis, patuh ritual tetapi kurang ukhuwwah.

Pertama, mereka sangat patuh kepada teks-teks formal al-Quran dan Hadist. Mereka hampir tidak dapat menangkap yang tersirat. Mereka mengambil hanya apa yang tersurat.

Persis seperti pemahaman kelompok Khawarijisme, yang mewajibkan wanita haid untuk berpuasa, karena menurut mereka dalam al-Quran wanita tidak dibebaskan dari kewajiban berpuasa. Wanita haid tidak termasuk yang sakit, atau bepergian, atau yang tidak mampu berpuasa.

Salah satu semboyan dari Khawarij yang terkenal adalah “la hukma illa lillah” (tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah). Semboyan ini lahir berdasar ayat “Waman lam yahkum bi ma anzalallah fa ulaika humul kafirun”. Mereka menghukum kafir siapa saja yang memutuskan perkara tidak berdasarkan al-Quran.

Padahal al-Quran bukan hanya mengandung ayat-ayat praktis, bahkan “berdasarkan al-Quran” yang mereka maksudkan adalah sesuai dengan standard mereka.

Kedua, patuh ritual, tetapi kurang ukhuwwah. Secara koherensial, kelompok radikalisme yang berbungkus keagamaan ini akan kita temukan pada Orang Khawarij di masa lampau, yang sangat patuh menjalankan ibadat ritual, tapi sangat kaku dalam hubungan sosial, bahkan sesama kaum Muslimin.

Kelompok Khawarij sangat rajin bangun tengah malam untuk melaksanakan ibadah. Bila ayat-ayat yang berkaitan dengan siksaan neraka disampaikan kepada mereka, maka tubuh mereka pun berguncang hebat; seakan-akan mereka berada tepat didepan neraka..Dahi mereka menghitam karena bekas sujud. Tidak jarang mereka terisak-isak dalam sholat mereka.

Dalam Musnad Ahmad dikisahkan, bahwa di depan Nabi Saw. ada seorang laki-laki yang terkenal khusuk dalam ibadat. Tapi Nabi menubuwwatkan bahwa orang itu akan menjadi sumber perpecahan di kalangan Muslim. Dan menurut para ulama Hadist laki-laki itu kelak menjadi penghulu kaum Khawarij.

Jadi, radikalisme itu bukanlah Islamisme, kelompok yang dianggap Islam Radikal itu adalah orang-orang yang paling bertanggung jawab disandingkannya kata Islam pada gerakan yang jelas menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri.

Dalam hal ini bukan pada ayat Quran atau matan Hadist apa yang disampaikan, melainkan oleh siapa yang menyampaikan itu. Karena ajaran tentang kekerasan dan memecah belah tidak pernah diajarkan oleh agama manapun.

Memaksimalkan Upaya Deradikalisasi

Tak dapat dipungkiri, sejarah menunjukkan bahwa pemahaman agama yang kaku memiliki potensi dan kapabilitas untuk menciptakan kohesi dan konflik sosial sekaligus. Hal ini tampak dalam kasus kelompok radikal yang berjubah Agama yang telah diuraikan di atas.

Mereka menunjukkan bagaimana keyakinan, praktek, dan perspektif keagamaan yang dianut, sangat besar perannya dalam menciptakan kohesi dan integrasi di kalangan mereka.

Di sisi lain, ketika mereka menegaskan kohesi tersebut, terjadi proses penetapan batas yang jelas antara “kita” dan “mereka”, serta partikularisme yang ekstrem sehingga timbul intoleransi dan konflik dengan kelompok lain, yang kadang-kadang penuh kekerasan.

Secara pribadi, penulis sangat mendukung upaya pemerintah untuk menanggulangi faham radikalisme ini. Untuk itu, ketika Presiden Joko Widodo mengangkat Jenderal (Purn) Fachrul Razi sebagai Menteri Agama dan memerintahkan agar fokus mengurus radikalisme,  penulis berharap agar upaya itu dilakukan dengan semaksimal mungkin.

Akan tetapi, dalam upaya deradikalisasi ini, mesti dengan defenisi yang tepat dan negara mesti melindungi hak asasi manusia dan hak sipil lainnya. Negara tidak boleh memakai faham etatisme, mesti mengutamakan rakyat, sebagai cerminan dari negari yang beradab. Agar tidak gara gara seekor tikus kita membakar lumbung padi seluruhnya.

Sumber Foto https://news.okezone.com

Ahmad Tamami
Ahmad Tamami
Koordinator Umum: Komite Masyarakat Sipil Pengawal Demokrasi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.