Fenomena “Gunung Es” mungkin dapat dikatakan sebagai oversimplifikasi untuk merujuk pada permasalahan kekerasan seksual, sebagaimana besarnya permasalahan yang kerap kali tersembunyi dari mata dan telinga publik ini tidak tertaksir skala dan kompleksitasnya.
Menurut Catatan Tahunan 2018 oleh Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat 2.670 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas serta 2.979 kasus di ranah privat/personal.
Celaka nya, perolehan angka yang didapat Komnas Perempuan tersebut baru berasal dari Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama seantero Indonesia, Lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) yang sengaja dibentuk oleh Komnas Perempuan untuk menerima pengaduan korban yang datang langsung ke Komnas Perempuan, dan dari divisi pemantauan yang mengelola pengaduan yang masuk lewat surat dan surat elektronik.
Sehingga angka yang dihimpun oleh Komnas Perempuan tersebut belum mencakup kekerasan seksual yang tidak dilaporkan, tidak disadari korban, maupun yang tidak terjangkau di pedalaman nusantara. Dr. Sophia Hage sendiri selaku direktur Lentera Sintas bahkan mengatakan bahwa Lebih dari 90 persen kasus pemerkosaan di tanah air ini tidak dilaporkan ke kepolisian, sehingga sulit untuk memperkirakan besarnya pemasalahan yang sesungguhnya terjadi.
Budaya patriarki kerap kali menjadi alasan utama yang menghalangi korban untuk bangkit dan menyuarakan hak nya yang terlanggar. Kasus-kasus seperti Agni dan Baiq Nuril merupakan manifestasi dari pola pikir patriarkis yang telah meresap dalam benak masyarakat, bahkan telah terkristalisasi hingga ke aparatur hukum.
Dalam kasus Agni, demi nama baik kampus sang korban justru kembali disudutkan oleh kampus terkait kejadian yang menimpa nya, kasus tersebut seolah ditutup-tutupi oleh pihak rektorat serta pelaku dibiarkan bebas berkeliaran seolah ia tidak pernah berbuat salah, bahkan pihak kampus menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual yang dialami Agni dianggap bukan termasuk pelanggaran berat sehingga tidak perlu penanganan yang serius.
Sedangkan kasus Baiq Nuril menunjukan betapa jelasnya hukum positif Indonesia tidak dapat mengakomodir kepentingan korban, bahkan membiarkan sang korban untuk divonis pemidanaan 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Kasus Agni dan Baiq Nuril merupakan bagian dari lautan kasus kekerasan seksual yang tragis. Kerap kali, beragam konsekuensi menyedihkan harus ditanggung korban yang baru saja menderita kekerasan seksual. Ada kasus dimana sang korban dinikahi dengan pemerkosanya, ada juga yang malah diusir oleh keluarga lantaran telah dianggap kotor dan aib keluarga. Akan tetapi kasus-kasus tersebut hanya segelintir kisah yang terangkat ke perhatian publik, ketimbang besar dan kompleksnya permasalahan kekerasan seksual yang sebenarnya terjadi di Indonesia.
Maka dapat disimpulkan bahwa permasalahan kekerasan seksual di Indonesia bukan hanya permasalahan bagi perempuan, ini adalah permasalahan struktural, permasalahan yang diakibatkan oleh telah terkristalisasi nya budaya patriarki dalam “common sense” masyarakat, sehingga menimbulkan kecenderungan permisif akan terjadinya kekerasan seksual, serta melestarikan impunitas bagi pelaku. Lantas karena ini adalah permasalahan yang berkaitan dengan norma, diperlukan suatu norma yang berspektif keadilan gender. Dan norma tersebut hadir dalam bentuk RUU PKS.
Dengan disahkannya RUU PKS menjadi undang-undang, akan tercipta kepastian norma hukum yang dapat mematahkan pola pikir yang cenderung permisif dan menganggap remeh perkara kekerasan seksual.
Terlepas dari apa yang dipikirkan oleh keluarga, temanteman dekat atau lingkungan sekitar yang masih bernuansa victim blaming, ketika sudah undang-undang yang menetapkan bahwa pelaku salah dan korban berhak atas perlindungan, pelaku sudah tidak dapat berlindung dibalik hubungan kekeluargaan atau pendapat masyarakat sekitar sebagai perisai untuk mendapat impunitas.
Memang keadilan harus digali dari nilainilai yang hidup dalam masyarakat, akan tetapi ketika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut justru merugikan korban kekerasan seksual, bahkan cenderung memperburuk kondisi mereka, saat itulah negara perlu intervensi untuk melindungi yang mereka yang tertindas, dan memberikan keadilan yang tidak hanya adil bagi masyarakat, namun juga adil bagi korban.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual akan melegitimasi bahkan menstimulus berbagai gerakan edukasi serta advokasi terhadap masyarakat dan aparatur hukum, agar kelak tidak terulang lagi kasus serupa. Menjadi payung hukum bagi gerakan advokasi hukum yang tidak hanya melindungi korban namun juga dapat merehabilitasi korban agar dapat bangkit dari trauma yang dialami nya, serta memberikan hukuman yang setimpal pada pelaku.
Inilah alasan pentingnya disahkan nya RUU PKS, yakni untuk menjadi alat rekayasa sosial (Tool of Social Engineering), sebagaimana dijelaskan Prof. Maria Farida (Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan) dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan bahwa peraturan negara dapat berfungsi untuk mengubah perilaku bahkan pola pikir masyarakat ke arah kondisi yang diinginkan oleh peraturan tersebut.
Sehingga RUU PKS tidak boleh dipandang sebagai senjata mutakhir yang diharapkan dapat langsung menumpas kekerasan seksual dari tanah air, ia hanyalah permulaan dari upaya perubahan struktur masyarakat, karena RUU PKS ini hanyalah permulaan, menunda pengesahan nya sama saja dengan memicu terulang nya kasus kekerasan seksual untuk terjadi di masa depan, sebagaimana dikatakan oleh William Gladstone bahwa Justice Delayed, is justice denied. Sampai kapan pemerintah akan membiarkan keadilan menjadi sebatas khayalan semata?
Terakhir, penulis mengajak para pembaca untuk membayangkan. Apabila amit-amit kekerasan seksual terjadi kepada orang-orang yang kita sayangi seperti adik, saudara perempuan, atau bahkan ibu kita sendiri. Apa yang dapat kita lakukan saat ini?
Tanpa undangundang yang berspektif keadilan gender kemungkinan besar para korban hanya akan menghamba pada ketakutan, takut dianggap aib bagi keluarga tanpa harapan akan rehabilitasi, takut perkara nya tidak dianggap serius oleh kepolisian, atau bahkan takut dihukum seperti Baiq Nuril.
Sayangnya, bisa jadi rasa kasihan yang kita miliki sudah terlambat, lantaran korban sebenarnya telah berada di antara kita, tanpa pertolongan, mereka ketakutan. Sebagaimana Komnas Perempuan mencatat bahwa incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga) merupakan kasus kedua yang paling banyak dilaporkan yakni sebanyak 1.210 kasus, Dari semua kasus incest itu pun hanya sejumlah 266 kasus (22%) yang dilaporkan ke polisi, dan yang masuk dalam proses pengadilan pun hanya sebanyak 160 kasus (13,2%).
Tentu sulit dan rumit bagi korban untuk berteriak lantang dan memperjuangkan haknya, ketika pelaku nya sendiri justru merupakan orang terdekat nya seperti anggota keluarga. Bisa jadi demi menjaga hubungan kekeluargaan korban rela mengorbankan mental dan harga dirinya nya untuk hancur, bisa jadi korban malah bungkam lantaran terlanjur merasa dirinya inferior. Mari kita kawal bersama agar RUU PKS ini disahkan, karena ini bukan solusi akhir melainkan baru permulaan, jalan yang panjang dan terjal masih harus ditempuh untuk Indonesia yang bebas dari kekerasan seksual. Hidup korban, jangan diam! Lawan.