Minggu, November 24, 2024

Mengkaji Kasus Ravio Perspektif Kognisi Sosial

Moch. Adib Irham Ali
Moch. Adib Irham Ali
Ketua biro kajian dan pendidikan PMII Ki Ageng Sela Universitas Sebelas Maret Surakarta dan berstatus sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah.
- Advertisement -

23 April 2020 di tengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, tagar bebaskan Ravio mendadak trending dijagat internet Indonesia bersanding dengan tagar corona virus.

Konon, Ravio Patra menghilang tiba-tiba. Terakhir, dia dikabarkan ditangkap polisi. Walaupun pada awalnya sempat menolak tuduhan penangkapan, akhirnya negara mengaku melakukan penangkapan tersebut atas dasar kasus ITE.

Semua bermula dari pesan singkat di aplikasi watshapp yang menggunakan akun Ravio Patra. Pesan singkat tersebut bertuliskan: “Krisis sudah saatnya membakar! Ayo kumpul dan ramaikan 30 April sudah saatnya membakar! Ayo kumpul dan ramaikan 30 April aksi penjarahan nasional serentak, semua toko yang ada didekat kita bebas dijarah”. Singkatnya Ravio ditangkap karena dianggap melanggar UU ITE karena telah mengirim pesan onar.

Tuduhan tersebut lantas dibantah oleh Ravio. Ravio menyatakan bahwa aplikasi watshapp yang ada di gawainya telah diretas. Setiap kali Ravio mencoba membuka aplikasi tersebut, muncul tulisan “You’ve registered your number on another phone.” yang berarti akun watshapp Ravio telah aktif di gawai milik orang lain. Namun pembelaan yang diberikan seakan tidak berguna karena Ravio tetap ditangkap.

Penangkapan Ravio telah memicu gelombang pertanyaan dibenak masyarakat. Publik mendesak agar Presiden Joko Widodo dan Kapolri Jenderal Pol Idham Aziz melepaskan Ravio serta mendesak agar tidak bersikap anti-kritik terhadap rakyat. Publik merasa bahwa kebebasan berpendapat akhir-akhir ini seolah diberanguskan oleh pasal karet pada UU ITE.

Sederet kritik terhadap kebijakan publik yang diambil oleh pemerintah dan lamisnya nalar kritis Ravio Patra diduga menjadi pemicu penangkapan dirinya. Melihat jejak digitanya di dunia maya, Ravio Patra memang getol dalam mengkritisi langkah-langkah yang diambil oleh pemerintahan Jokowi, dari masalah corona hingga staf khusus mienial dengan segala problematikanya.

Lantas bagaimana kognisi sosial memandang kasus Ravio Patra? Kognisi sosial sendiri merupakan cabang ilmu linguistik yang dikembangakan oleh profesor berkewarganegraan Belanda Teun A. Van Dijk. Kognisi sosial mempelajari bagaimana sebuah wacana di produksi dan dikembangkan dalam sebuah diskursus di masyarakat yang melibatkan proses yang kompleks.

Van Dijk menggambarkan bahwa wacana dapat memainkan peran penting bagaimana sebuah perspektif dilestarikan dan dimapankan. Wacana menjadi semacam alat pembenar bagi kontradiksi antara yang dominan dan yang minoritas. Melalui wacana pula kelompok minoritas dibentuk oleh kelompok dominan lewat serangkaian strategi dan diskursif. Oleh sebab itu maka diperlukan kognisi sosial.

Kognisi sosial memberikan perhatian yang besar bagaimana kekuasaan sosial diproduksi dengan mengambil celah ketimpangan kekuasaan dan akses lewat praktik diskursus dan legitimasi. Ketimpangan tersebut selanjutnya akan menghasilkan “dominasi.” Dominasi diproduksi oleh pemberian akses yang khusus pada satu kelompok dibandingkan dengan kelompok lain (diskriminasi).

Lewat persektif kognisi sosial dengan melihat kasus yang dialami Ravio Patra kita belajar bagaimana sebuah dominasi diproduksi dan dimapankan. Ketimpangan kekuasaan dan akses yang dimiliki oleh pemerintah dan negara sebagai kelompok dominan, perlahan-lahan telah mengikis hak dan kebebasan yang dimiliki oleh Ravio Patra yang hanya sebuah kelompok minoritas ditengah diskursif.

- Advertisement -

UU ITE di sini semacam alasan pembenar yang tidak disadari, mana kelompok dominan memperkuat diskursus bahwa apa yang disajikan dan diputuskan adalah sebuah kebenaran. Kelompok minoritas tidak kuasa membendung dominasi yang terjadi karena tidak memiliki akses dan kekuasaan (power) yang serupa dengan kelompok dominan.

Realita ini menjadi ironis mengingat hakikat terbentunya negara pada dasarnya tidak lepas dari mandat rakyat yang memberikan legitimasi dan kedaulatan mereka kepada negara sebagai institusi dan lembaga yang mengatur kehidupan rakyat untuk menciptakan keteraturan demi mencapai kebaikan bersama. Hal tersebut karena sifat manusia sebagai homo social sehingga dierlukan lembaga untuk mengaturnya.

Untuk meminimalisir terjadinya konflik, individu dan kelompok bersepakat untuk memilih suatu organisasi atau institusi bernama negara yang bertanggungjawab dalam menciptakan ketertiban dan harmonisasi kehidupan sosial dan politik. Negosiasi antara kelompok (rakyat) dengan negara disebut John Locke sebagai kontrak sosial. Kontrak sosial ini sejatinya harus menjadi sebuah keselarasan.

Rakyat memberikan legitimasi, kepercayaan, loyalitas dan bersedia diatur oleh negara. Sementara negara berkewajiban melindungi hak-hak warga negara dan berkomitmen menciptakan kebaikan bersama. Keberhasilan dan kegagalan negara sangat ditentukan oleh sejauh mana negara menjalankan tugas tersebut secara efektif.

Namun dalam logika bekerjanya, negara tidak selalu berada pada ranah ideal. Negara kerap kali justru bertindak sebagai alat bagi kelas dominan untuk menindas kelompok lain yang berada di luar kekuasaan negara. Negara menjelma sebagai entitas kekuatan dominasi elite yang menyatu dalam tubuh negara untuk mendapatkan akses terhadap resources dan mengekslusi kehidupan rakyat.

Tidak hanya sebagai alat bagi kelas dominan, negara seringkali menemui stagnansi bagaimana seharusnya mengelola negara dan masyarakat. Fungsi negara sebagai penyedia layanan publik, membuat produk kebijakan, distribusi dan alokasi nilai kepada rakyat kerap kali terhambat. Singkatnya, keberadaan kelompok dominan yang mengelola institusi negara telah menyandera fungsi dan tujuan dari negara itu sendiri.

Paling tidak kondisi ini yang tengah menjangkiti Indonesia hari ini sebagai sebuah entitas dari negara. Ada ketidakberesan kelompok dominan sekaligus disfungsi negara sehingga demokrasi yang sedang berjalan pasca reformasi tidak kunjung membawa arah perubahan yang lebih baik. Demokrasi terjebak pada aspek prosedural namun abai terhadap nilai-nilai yang lebih substansial.

Terakhir kita harus mendoakan yang terbaik untuk Ravio Patra. Kita harus berharap keadilan akan memihak kepada Ravio Patra sebagai entitas kelompok minoritas yang menggawangi nama masyarakat atas negaranya. Dan meski terlihat terlalu optimis, saya berharap negara akan melihat kebenaran yang murni, dan bukan kebenaran versi mereka.

Moch. Adib Irham Ali
Moch. Adib Irham Ali
Ketua biro kajian dan pendidikan PMII Ki Ageng Sela Universitas Sebelas Maret Surakarta dan berstatus sebagai mahasiswa Pendidikan Sejarah.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.