Setiap kali para pejuang HAM dan pembela masyarakat yang tertindas melakukan aksi, ada saja orang yang nyir-nyir:
“Ngapain sih berdiri-berdiri ga jelas,”
“Aduh, ngapain repot-repot,”
“BUBAR WOY!”
Ada yang menganggap kehidupan yang lebih baik memang hanya dapat diwujudkan dengan mengorbankan beberapa orang/lingkungan. Untuk mencapai harga barang yang murah, ya dalam nalar mereka, kita harus merusak alam dan mengacaukan pemukiman penduduk.
Jadi, wajar dalam nalar mereka jika kita harus mengorbankan sebagian hutan yang kita lindungi lalu membuang label “paru-paru dunia”. Kita perlu mengganti julukan itu dengan “kanker dunia” karena asap-asap yang masif itu.
Begitu pun dengan mengusik kehidupan penduduk yang damai untuk menata keindahan di Kota Surabaya. Meski tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Begitu pun dengan lahan kosong yang harus diberikan kepada para pengembang sehingga kita kehabisan ruang terbuka hijau. Toh, untuk “kemajuan” dalam kehidupan kita.
Dan oleh karena itu, untuk melahirkan kehidupan yang lebih demokratis dan nyaman ya perlu menculik dan membunuh sejumlah orang. Jadi wajar bagi mereka kalau ada yang namanya pelanggaran HAM. Toh, Hak Asasi ada batasnya. ATAS NAMA KEBAIKAN MAYORITAS, perlu ada yang dikorbankan.
Pertanyaan saya cuma satu: bagaimana bisa semua itu dianggap wajar kalau jelas-jelas itu adalah masalah? Mengganggu kehidupan orang lain, apakah bukan masalah? Menculik, apalagi membunuh, apakah bukan masalah?
Semua itu adalah masalah. Apapun ormas dan agamanya, saya yakin, tetaplah dianggap masalah. Tapi kok bisa masalah diterima begitu saja dan dianggap wajar?
Aktivisme itu awal kemajuan
Kalau pergi ke toko dan beli sekotak susu cair disana, coba baca sesekali kemasannya. Disitu ada tulisan Pasteurisasi, kan? Tau sejarahnya?
Istilah Pasteurisasi itu asalnya dari nama Louis Pasteur, seorang saintis asal Perancis. Sebelum dikenal dalam hal itu, Pasteur menemukan adanya keabnormalan pada fermentasi anggur dan bir.
Temuan masalah itu tidak lantas dia simpan sendiri dan dilupakan. Bukan juga sekedar memaafkan mikroorganismenya. Dia menggunakan ilmu untuk memahami lebih mendalam tentang masalah itu lalu mengajukan penyelesaian masalah.
Penyelesaiannya bermanfaat pada susu yang ada dihadapanmu: dengan memanaskannya pada derajat tertentu, Mycobacterium tuberculosis dan makhluk kecil lainnya hancur.
Berkat Pasteur, orang-orang bisa jualan susu. Dan kamu juga bisa mengonsumsi susu dengan aman. Jadi, ada manfaat berantai yang dapat disebut sebagai amal jariyah.
Bisakah kamu bayangkan apa jadinya kalau ada sekelompok manusia yang tiba-tiba datang, menghina, dan melarang penelitian yang dilakukan oleh Pasteur pada masa itu?
Maka mengonsumsi susu akan dimaknai sebagai menganiaya diri sendiri. Alih-alih menjadi sehat, malah terancam kesehatan dan nyawanya.
Dengan temuan masalah dan penyelesaian Pasteur, manusia bisa melampaui masalah pengonsumsian dan mendapatkan kebaikan yang sangat bermanfaatbagi generasi-generasi berikutnya.
Nah, sejatinya para aktivis tidak jauh berbeda dari Pasteur dan rekan-rekan saintis lainnya. Mereka menemukan masalah, tidak lantas mencatat lalu melupakannya. Menolak lupa.
Masalah dikaji oleh orang-orang yang berilmu, tidak hanya sekedar terjun di lapangan. Seringkali mereka adalah bagian dari beragam lembaga non-pemerintahan dengan fokus yang berbeda.
Kalau setiap penemuan dan pendalaman masalah adalah langkah awal dan (paling) penting bagi perkembangan kehidupan manusia, lantas kenapa aksi para aktivis dihalang-halangi?
Harusnya mereka disambut dengan suka cita, kan?
Aktivis adalah kunci untuk kehidupan yang lebih baik. Aktivis lah yang memberi garis start perbaikan dan pembaharuan pada tatanan sosial-politik kita.
Sebaliknya, orang-orang yang menolak aktivis sama halnya dengan orang yang menolak munculnya teknologi, menolak ilmu baru, menolak keberadaan sekolah dan semua inovasi-inovasi manusia. Karena mereka masa bodoh dengan masalah sosial-politik.
Padahal, sejak SMA selalu diajarkan tentang perumusan masalah sebelum melangkah pada tahap-tahap berikutnya. Kuliah pun begitu. Lomba karya tulis ilmiah juga begitu, dan banyak yang juara dalam lomba itu.
Tapi kenapa sedikit yang menerima aktivisme? Saya curiga ilmu yang didapatkannya itu tidak terserap mendalam dan sekedari dijadikan alat untuk mencapai keuntungan pribadi maupun kelompok kecil.
Alam punya IPA, Masyarakat punya IPS
Setiap kali membaca artikel jurnal ilmiah yang berkualitas baik, saya sering menemukan bagian yang menyatakan kelebihan dan kekurangan penelitian. Lalu disusul oleh masalah-masalah baru yang dapat ditelusuri oleh peneliti berikutnya.
Peneliti dan pegiat pada bidang tersebut meresponnya dengan beragam cara. Ada yang memperdalam masalahnya, ada juga yang membuat model-model penyelesaian masalah (misalnya, pendidikan alternatif untuk memulihkan kejiwaan anak pasca-bencana).
Lebih jauh, ada yang melaporkan penerapan model-model itu untuk dievaluasi dan direkomendasikan pelaksanaannya. Begitu pun harusnya praktik lebih lanjut dari aktivisme.
Kalangan akademisi ilmu sosial dan ilmu politik harus bekerja sama dengan para aktivis untuk mendalami dan menyelesaikan masalah. Nah, kalangan akademis juga jangan terpaku sama CSR dan riset akademis saja. Bekerja sama lah.
Keduanya adalah aset penting yang dimiliki oleh masyarakat sipil. Keduanya tidak perlu takut tak bisa hidup enak. Bekerja sama dengan masyarakat sipil lalu membentuk perekonomian komunitas adalah alternatif yang baik untuk memajukan masyarakat tanpa perlu abai pada ekonomi.
Kalau bukan kepada para aktivis dan akademisi, kepada siapa lagi masyarakat bergantung?
Mereka yang bisanya nyir-nyir sana-sini boleh jadi malah menjaga kerusakan. Ironinya, mereka merasa telah berjasa untuk NKRI.
Jika para pemuda masih merasa bahwa nyir-nyir lalu bekerja pada perusahaan besar/menjadi PNS sudah cukup untuk memajukan Indonesia, meh, pikirkan lagi. Kalian bertolak belakang dengan kemajuan.
Justru para aktivis jauh lebih peduli dengan negara. Jauh lebih peduli dengan masyarakat. Jauh lebih nasionalis. Bukan sekedar hafal Pancasila dan pembukaan UUD 1945. Jadi daripada duduk diam atau bermain gim, lebih baik berdiri setiap kamis untuk mengingatkan dan berkata,
“Indonesia tidak sedang baik-baik saja dan kita perlu segera menyelesaikan segudang masalahnya!”
Kalau bisa, ilmu sosial dan ilmu politik itu dipakai untuk memahami masalah secara lebih mendalam dan rinci serta merumuskan penyelesaian masalah. Sistem alternatif? Kenapa tidak!
Menolak lupa, Merawat ingatan.