Krisis ekologi sejatinya telah mengemuka dan menjadi fokus global khususnya negara-negara maju tepatnya sejak 1950-an. Sementara dalam kalangan akademis, isu tersebut mulai banyak dikaji dan dieksplorasi secara masih tahun 1960-an, misalnya bisa dilihat dari karya Rahel Carson dengan tajuk “The Silent Spring” pada tahun 1962. Isu krisis ini dalam perjalanannya semakin menguat dengan berbagai karya yang serupa mencoba untuk menyajikan betapa keadaan lingkungan yang sedang didiami oleh seluruh makhluk hidup berada dalam satu sirkulasi besar yang disebut dengan ancaman krisis ekologi.
Krisis ini mampu menembus batas negara dan tidak mau berkompromi serta tidak mempedulikan ruang dan waktu. Betapa dahsyatnya krisis yang kemudian dianggap menjadi ancaman besar bagi alam semesta maka muncul kesadaran global yang mulai memberikan ruang bagi pelestarian ekologi. Pada kancah global misalnya perhatian tentang ekologi pada tahun 1970 yang bertepatan tepatnya pada 22 April diperingati sebagai Hari Bumi di Amerika Serikat.
Menariknya, momentum global itu kemudian terus bergema dan diikuti oleh berbagai deklarasi serupa yang mencoba menunjukkan perhatian dunia terhadap lingkungan. Sejak konferensi di Nairobi Kenya 1982 serta Konferensi PBB tentang lingkungan di Rio de Jeneiro Brasil pada 1992, krisis ekologi ini semakin nyata mulai direspon secara lantang.
Bahkan lebih jauh dari ini perhatian dunia itu juga tidak luput dari aspek pembangunan yang kemudian melahirkan pandangan pembangunan yang berkelanjutan (SDG’s). Wawasan pembangunan ini yang awalnya digagas oleh negara-negara maju mulai diterima dan diadopsi oleh mayoritas negara walau dalam implementasinya SDG’s ini mengalami stagnasi.
SDG’s berjalan dengan tiga kaki yang proporsional di mana pembangunan sosial, pembangunan ekonomi, dan pembangunan lingkungan. Namun kaki-kaki ini timpang berjalan karena wawasan pembangunan masih menempatkan pada pengejaran pertumbuhan ekonomi sebagai sasaran mahadewa. Pada tahap inilah dunia ditantang untuk melahirkan cara baru bagaimana menangani krisis ekologi yang lebih komprehensif dilakukan sebagai kritik kebuntuan cara tersebut.
Ecotheology dan Muhammadiyah
Pelibatan nilai-nilai spiritualitas (agama/teologi) kemudian menjadi jalan ninja bahwa selama ini krisis ekologi ternyata berkorelasi kuat dengan krisis spiritualitas. Korelasi antara agama dan krisis ini kemudia mulai disadari betapa dahsyatnya agama yang di dalamnya terkandung moral force. Walaupun kesadaran ini muncul cenderung terlambat, namun dalam beberapa dekade terakhir ini krisis ekologi mulai banyak diteropong dengan kacamata teologi oleh berbagai komunitas dan kelompok masyarakat keagamaan sebut saja salah satunya Muhammadiyah.
Kesadaran ecotheology di Muhammadiyah ini memberikan peta masa depan atas ekspektasi agama yang sebetulnya berpeluang besar memenangkan pertempuran terhadap krisis ekologi. Gerakan-gerakan konservatif lingkungan oleh Muhammadiyah digempur melalui berbagai sisi, baik itu sisi akademis, praksis, maupun pemikiran-pemikiran yang jauh ke depan bagaimana agama ini sebetulnya aktual terhadap penanganan krisis ekologi.
Majelis Lingkungan
Muhammadiyah sendiri sebagai salah satu keormasan Islam, kiprahnya telah menyebar tidak hanya pada tataran nasional, namun telah menyebar dalam kancah global. Keberhasilan Muhammadiyah di abad pertamanya dinilai telah berhasil membangun amal usahanya baik dari aspek healing, heading, dan schooling.
Tiga aspek tersebut yang kemudian disebut trilogi Muhammadiyah sukses diimplementasikan sehingga trilogi itu mengalami perluasan yang cukup signifikan. Pada tahun 2010 misalnya Muhammadiyah membentuk Majelis Lingkungan Hidup sebagai sebuah institusi struktural yang fokus merespon dan mengkaji isu ekologis dari perspektif teologi. Hadirnya majelis ini memberikan warna baru bagi wajah dakwah Muhammadiyah yang sebelumnya dianggap kering kerontang karena masih minim melihat agama sebagai tools dalam mencegah krisis ekologi.
Kajian dan diskusi ecotheology di Muhammadiyah menjadi bukti konkret bahwa ada pesan teologis yang sebetulnya dibawa agama dan belum tersampaikan. Pada konteks inilah Muhammadiyah mulai menjadi jembatan atas keterputusan agama yang membawa pesan teologi.
Narasi ecotheology ini tumbuh subur di lingkungan Muhammadiyah dengan melahirkan berbagai lembaga-lembaga yang mengkaji isu ekologi di setiap badan otonom-otonom Muhammadiyah lainnya. Misalnya di Aisyiyah memiliki Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB), dan juga di badan-badan lainnya. Artinya dalam realitas itu upaya menghijaukan Muhammadiyah secara perlahan mulai dirancang bangun Muhamadiyah.
Momentum wajah hijau Muhammadiyah sebagai civil Islam yang mencoba mengejawantahkan nilai-nilai teologi yang ekologis memberikan pemahaman yang jelas bahwa teologi adalah kompatibel dengan ekologis. Pendikotomian yang selama ini terpaku harus mulai dicabut secara radikal melalui cara beragama yang kaffah. Melalui langkah itulah agama bukan lagi hanya sebagai simbol dan atribut yang melekat dalam diri manusia, namun secara praksis mampu menyelesaikan persoalan umat.
Wajah hijau Muhammadiyah yang beberapa tahun terakhir ini menjadi akar nalar kritis ekologis seharusnya menjadi tauladan bagi umat Islam untuk bangun dan bangkit bahwa hari ini kita semua berada dalam spektrum membahayakan yakni krisis ekologi. Pada kalangan umat Islam sekalipun krisis ekologi ini masih minim diberikan ruang, sehingga Muhammadiyah mulai mencoba membuka ruang itu melalui ecotheology yang menjadi langkah awal menghijaukan Muhammadiyah.