Persoalan lingkungan di Indonesia bukanlah hal baru. Kerusakan lingkungan yang didukung terjadinya degradasi sumber daya alam (SDA) secara terus menerus menjadi salah satu faktor utama penyebabnya. Alam sebagai tempat untuk hidup dengan berbagai aktivitas manusia yang padat juga tereksploitasi tanpa henti. Alam selalu menjadi korban peningkatan ekonomi dengan alih-alih untuk mendorong kesejahteraan masyarakat.
Salah satu contoh peningkatan ekonomi yang diusung oleh Presiden Jokowi adalah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, namun pada kenyataannya kerusakan kawasan laut dan pesisir Indonesia menjadi hal tersebut masih wacana belaka. Berdasarkan dari pernyataan Walhi pada tahun 2020 diketahui bahwa sebanyak 3,4 juta hektar hutan bakau di wilayah pesisir dengan lebih dari separuhnya atau berkisar 1,8 juta hektar mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut diakibatkan oleh abrasi, tambang pasir, reklamasi, proyek infrastruktur, dan adanya pembangunan di kawasan pesisir tersebut. Ditambah dengan tren kebencanaan menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kejadian bencana terus meningkat dari tahun 2018 terjadi sebanyak 2.572 kejadian bencana kemudian di tahun 2019 sebanyak 3.768 bencana.
Bencana banjir dan tanah longsor merupakan bencana tahunan yang sepertinya telah menjadi budaya lingkungan masyarakat Indonesia. Di sisi lain, bencana kebakaran hutan yang telah membuat gempar beberapa waktu lalu di tahun 2019 di Kalimatan, Sumatera, dan Kepulauan Riau juga belum tertuntaskan solusinya. Bencana tersebut bahkan berdampak buruk menimbulkan polusi asap hingga ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Adapun kerusakan lingkungan lainnya yang fatal bagi kelestarian alam adalah eksploitasi berupa pertambangan yang seringkali menelan korban jiwa.
Alam dibabat habis dan dieksploitasi baik sumber daya yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Permasalahannya bukanlah dalam eksploitasi tersebut, tetapi pengelolaannya yang lepas dari etika tata ramah lingkungan. Sumber daya seperti ikan, kayu, dan lainnya seolah menjadi objek utama pemenuhan hasrat ekonomi negara, yang memperkaya korporat dengan berkedok kemakmuran rakyat. Sementara masyarakat sebagai penduduk asli di wilayah eksploitasi tersebut tidak jarang terdiskriminasi dengan kerusakan alam tanpa menikmati hasilnya. Penduduk lokal hanya disisakan lubang-lubang tambang, hutan-hutan gundul, sungai dan laut tercemar.
Kondisi ini telah lama menjadi realita buruk bagi generasi bangsa. Presideh Jokowi sebagai pemimpin negeri ini tentu ingin membawa negara Indonesia menjadi lebih baik dengan berbagai program kerja, khususnya mendorong pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah. Investasi di bidang pembangunan juga terus ditingkatkan dengan menarik investor dari luar negeri. Melakukan pembangunan terutama di sektor infrastruktur dan ekonomi sebenarnya tidak sepenuhnya menuntaskan masalah rakyat di negeri ini. Sudah tepatkah pembangunan tersebut untuk kehidupan bangsa secara berkelanjutan ?Ya, berkelanjutan bapak presiden. Tentu bukanlah lelucon apabila negara ini kaya tetapi hanya untuk sesaat dan di kemudian hari hanya menyisakan lubang tambang, sampah di laut, tanah gersang, hutan gundul. Anak cucu bangsa ini pastinya akan bertanya-tanya, di mana negeri “Orang bilang tanah kita tanah surga” saat kekayaan alam yang seharusnya dilestarikan habis oleh nenek moyangnya sendiri.
Sebagai pemuda sekaligus rakyat biasa yang menyadari benar akan degradasi di Bumi Pertiwi sudah saatnya ditekan dan diganti dengan pembangunan ramah lingkungan. Mengenai hal tersebut, Bapak Presiden yang terhormat. Engkau adalah pemimpin di negeri ini. Sebagai presiden, ada banyak kendali dan kebijakan yang dapat ditetapkan untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis ekologi. Hal tersebut dapat dimulai dari hal-hal kecil, contohnya adalah sampah. Indonesia yang dikenal sebagai penghasil sampah plastik nomor 2 terbesar di dunia bukanlah kebanggan yang patut diapreasiasi. Berikut 10 saran yang dapat diterapkan guna memulai gerakan penyelamatan bumi pertiwi dari krisis ekologi untuk keberlanjutan masa depan generasi Indonesia.
- Menerapkan kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik terutama di supermarket ataupun swalayan lainnya yang berlaku di seluruh Indonesia;
- Memperluas penggunaan plastik biodegradable untuk kemasan produk;
- Memberikan sanksi sosial bagi pembuang sampah sembarangan di seluruh Indonesia;
- Menjadikan edukasi lingkungan sebagai pendidikan wajib bagi anak-anak mulai dari SD-SMA;
- Mewajibkan setiap desa atau kelurahan memiliki tempat pengolahan sampah berstandar;
- Memperketat aturan dan memberikan sanksi tegas bagi perusak lingkungan, baik di darat maupun perairan;
- Memperketat perlindungan terhadap hutan dan biodiversitas di dalamnya;
- Melarang kegiatan berbagai pertambangan yang sifatnya tidak berkelanjutan bagi penduduk setempat dan kelestarian alam;
- Mewajibkan green lifestyle bagi pejabat pemerintahan dan mengadakan kampanye serupa di berbagai saluran tv ataupun media pemerintahan untuk mengajak masyarakat, khususnya kaum milenial agar memulai hidup ramah lingkungan;
- Menetapkan kebijakan “9 Langkah Indonesia Berkelanjutan” tersebut.
Saran yang telah dipaparkan tersebut sebenarnya memang hampir sebagian telah ditetapkan kebijakannya melalui undang-undang yang diterbitkam kementerian terkait. Meski demikian, realisasinya masih belum optimal khususnya oleh masyarakat. Suatu hal penting adalah menjadikan pejabat sebagai tauladan green lifestyle sehingga kehidupan ramah lingkungan dapat tercapai untuk bumi pertiwi lestari bagi masa depan bangsa.