Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah bersemangat menggaungkan perbaikan pengelolaan perikanan tangkap melalui kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) dan penarikan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) Pascaproduksi. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku pada KKP menetapkan PHP pascaproduksi pada kapal penangkap ikan berukuran hingga 60 GT adalah sebesar 5% nilai produksi dan pada kapal berukuran di atas 60 GT sebesar 10%.
Nilai produksi ditentukan berdasarkan nilai jual ikan dari nelayan ke pedagang. Bila Pemerintah tidak memperoleh nilai jual ikan tersebut, maka nilai produksi menggunakan harga acuan ikan (HAI) yang ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
Penerapan PHP Pascaproduksi menuai banyak protes. Terutama pada tarif sebesar 10% nilai produksi pada kapal berukuran di atas 60 GT dianggap terlalu besar. Pemerintah memang belum pernah menampilkan hitungan ilmiah di balik penetapan tersebut. Pemerintah sebaiknya menunjukkan naskah akademik atau setidaknya kajian ilmiah yang mendasari pungutan perikanan tersebut.
Semangat pemerintah dalam melakukan pungutan atas pemanfaatan sumber daya ikan juga perlu dipertanyakan. Apakah semata-mata demi uang? Pungutan seharusnya digunakan juga sebagai alat pengendalian agar pemanfaatan sumberdaya hayati lestari. Namun untuk mencapai itu, pertimbangannya tidak sesederhana berdasarkan tonase kapal penangkap ikan sebagaimana tertera di PP Nomor 85 Tahun 2021 tersebut.
Bila semangat pungutan perikanan adalah untuk perbaikan pengelolaan perikanan, maka pemerintah sebaiknya mempertimbangkan lebih banyak aspek. Ada beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan untuk penetapan tarif PHP yang lebih adil dan komprehensif.
Pertama adalah dampak penggunaan alat penangkap ikan (API) dan Alat Bantu Penangkapan Ikan (ABPI) terhadap stok sumberdaya ikan (SDI). Setiap API memiliki laju tangkap berbeda. Laju tangkap ibarat produktivitas sebuah mesin dalam industri. Contoh, sebuah kapal rawai tuna di Laut Banda mampu menangkap ikan tuna rata-rata sebanyak 1-4 ekor tuna sekali tebar (setting-hauling) dengan berat total maksimal sekitar 500 kg. Sedangkan sebuah kapal pukat cincin di WPP 714 pada 2013 mampu mengeruk ikan tuna rata-rata 20.900 kg sekali setting-hauling.
Laju tangkap, yang dalam industri berpadanan dengan produktivitas, maka saya lebih suka menyebutnya “daya bunuh” karena menggambarkan volume ikan yang kita tangkap dan mati dalam sekali setting-hauling. Semakin tinggi laju tangkap, maka semakin tinggi tingkat kerakusan manusia dalam mengeksploitasi ikan di laut. Maka laju tangkap sebuat API dan ABPI seperti lampu dan rumpon, perlu menjadi pertimbangan penerapan tarif perizinan penangkapan ikan.
Kedua, penangkapan ikan sebaiknya menyasar ikan dewasa yang telah berpijah minimal sekali dalam hidupnya. Sehingga regenerasinya terjaga dan stoknya lestari. Maka penangkapan ikan juvenil perlu dipungut tarif lebih tinggi dibanding penangkapan ikan dewasa.
Peneliti telah banyak menyajikan ukuran ikan saat matang gonad pertama (length maturity atau Lm). Contoh Lm ikan madidihang adalah pada panjang total 107,17 cm (betina) dan 112,93 cm (jantan). Bila tertangkap di ukuran 100 cm, maka akan membahayakan stok ikan madidihang di masa depan. Hal itu harus dicegah. Pemerintah bisa menetapkan ukuran minimal tertangkap madidihang misalnya pada panjang total 120 cm baik jantan maupun betina.
Pemerintah dapat menerapkan PHP lebih tinggi pada penangkapan ikan di bawah ukuran Lm tersebut. Hal ini diharapkan mendorong nelayan memodifikasi atau mengganti API agar lebih selektif untuk menangkap ikan yang telah dewasa.
Untuk menerapkan tindakan pengelolaan ini, KKP harus menugaskan enumerator yang tidak hanya mencatat volume penangkapan, tetapi juga mengukur panjang ikan tertangkap. Tindakan ini penting terutama pada jenis perikanan seperti tuna, cakalang, kakap, kerapu, kepiting, dan lobster. Hasil peneliti perikanan dapat dijadikan dasar penentuan Lm sebagai acuan ukuran minimal ikan tertangkap. Hal ini tentunya kerja besar karena jumlah enumerator yang dibutuhkan sangat banyak dan proses pengolahan data lebih rumit dalam menghasilkan besaran pungutan.
Ketiga, nelayan seringkali hanya mendaratkan ikan target utama yang bernilai ekonomi penting. Sementara itu ikan yang murah seringkali dibuang di laut. Padahal dalam konteks lingkungan dan rantai makanan, semua ikan tersebut sama-sama penting. Dengan sistem PHP saat ini, nelayan hanya dikenakan PHP pada ikan yang didaratkan. Sementara berton-ton ikan yang dibuang setelah hauling di laut tidak dikenakan PHP.
Maka Pemerintah perlu mempertimbangkan PHP yang lebih tinggi pada produk perikanan yang ditangkap menggunakan API yang banyak membuang ikan non target. Misal hasil penelitian menunjukkan pada kelompok API sejenis trawl yang saat ini disebut pukat hela dasar udang di mana setiap produksi 100 kg udang, terdapat lebih dari 900 kg ikan yang turut tertangkap di mana sebagian besar dibuang demi efisiensi palka. Jenis perikanan yang membuang ikan secara mubazir ini harus dikurangi. Pungutan harus lebih tinggi karena memasukkan ikan tertangkap, mati, lalu dibuang tersebut dalam komponen PHPnya.
Keempat, pertimbangan daerah penangkapan ikan (DPI). Perairan kepulauan Indonesia seperti Laut Jawa, Selat Makassar, Laut Banda, dan Laut Seram sudah sangat padat oleh kapal penangkap ikan. Jaraknya yang cukup dekat dari pelabuhan pangkalan membuat banyak pengusaha mengajukan izin untuk menangkap ikan di perairan-perairan tersebut.
Sementara itu, penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan laut lepas belum terlalu banyak dibanding luas perairannya. Penangkapan ikan di laut lepas memerlukan modal yang besar karena butuh kapal yang lebih besar dan canggih serta kebutuhan BBM non subsidi yang cukup besar untuk mencapai DPI yang jauh.
Pemerintah perlu mendorong agar penangkapan ikan bergeser dari “halaman rumah sendiri” di perairan kepulauan ke halaman luar yaitu ZEEI dan laut lepas. Untuk itu, penetapan DPI dapat menjadi salah satu koefisien penentuan tarif PHP.
Misalnya PHP penangkapan tuna di ZEEI dan laut lepas lebih rendah dibanding PHP di perairan kepulauan. Selain itu, kapal penangkap ikan yang beroperasi di laut lepas bisa mendapat insentif sebagai penghargaan atas upaya keras mereka menangkap ikan di laut lepas dan bersaing dengan kapal ikan asing. Dibanding beroperasi di perairan kepulauan dan “merecoki halaman rumah sendiri”.
Langkah-langkah di atas patut dipertimbangkan agar PHP berperan memperbaiki pengelolaan perikanan yang lebih adil dan berpihak kepada kelestarian lingkungan. Hal ini tentu bukan pekerjaan KKP semata. Peneliti perikanan di BRIN dan universitas harus dilibatkan dalam menyediakan kajian ilmiah sebagai landasan kebijakan.
Penggunaan multi variabel sebagai pertimbangan juga menuntut pemerintah untuk tidak menyederhanakan hal yang memang sebaiknya tidak dipaksa menjadi sedehana. Pungutan seharusnya bukan sekadar menambah pundi-pundi negara, tapi juga menjadi instrumen menyeimbangkan pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya hayati.