Jumat, April 26, 2024

Mengenang Satu Dekade Gus Dur

faqih albantani
faqih albantani
Manajer Kajian Publik dan Penelitian Rafe'i Ali Institute

Zainal Arifin Thoha (2003:294) pernah menulis, di negeri kita, sosok Gus Dur telah diakui banyak kalangan sebagai figur yang identik dengan “demokrasi” itu sendiri. Dialah barang kali, satu-satunya tokoh di Indonesia yang begitu getol bicara demokrasi, baik itu dari sudut sosial-budaya, politik, hukum maupun agama. Sudah barang tentu, semuanya ini menunjukkan kapasitas dan komitmennya untuk menegakan nilai-nilai demokrasi.

Abdurrahman Addakhil atau akrab disebut Gus Dur. Kata Addakhil mempunyai arti sang penakhluk atau pendobrak. Kata Addakhil memang pantas disematkan kepada Gus Dur, sepak terjangnya dalam mendobrak baik secara pemikiran maupun langkahnya selalu diluar kebiasaan orang lain pada umunya.

Gus Dur adalah sosok yang komplit, tidak hanya dikenal sebagai ulama. Tapi dikenal pula sebagai sosok pemikir, seniman, budayawan, politisi, negarawan, penulis, bahkan sebagai intelektual publik.

Gus Dur adalah anak zamannya. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam lingkungan sosial-politik yang pemikirannya melampaui jiwa zamannya. Sebagai santri, ia pernah berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain.

Berguru dari satu kiai ke kiai lain. Sudah satu dekade Gus Dur meninggalkan kita. Tema Haul ke-10 yang diadakan oleh Jaringan Gusdurian diberbagai daerah tentunya tak sekedar mengenang akan kerinduan Gus Dur melainkan diisi dengan berbagai acara.

Haul tahun ini pun mengangkat tema “Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan”. Tema nasional tersebut sangatlah penting untuk dihadirkan di tengah oase yang kering akan spirit kebudayaan.

Sebab, sosok Gus Dur dengan kiprah dan sumbangsihnya terhadap gagasan dan konsep kebudayaan telah menjadi rujukan penting bagi para pemikir dan pelaku budaya. Sehingga menempatkan Gus Dur pula sebagai seorang advokat budaya karena komitmennya membela kebudayaan yang terpinggirkan.

Karakter kebudayaan Gus Dur semacam itulah yang memengaruhi sikap, pandangan, idealisme dan tindakan politik Gus Dur sebelum, ketika, dan saat menjadi Presiden. Gus Dur menyelesaikan persoalan dengan pendekatan persuasif identitas kebudayaan. Hal itu dilakukan Gus Dur karena menyadari tidak sensitifnya demokratisasi terhadap budaya setempat justru akan melahirkan konflik-konflik yang tidak semestinya terjadi.

Misalnya, Gus Dur memperbolehkan nama Papua (sebagai nama untuk wilayah yang sebelumnya Irian Jaya). Saat warga Papua meminta diakui lagu daerahnya, Gus Dur membolehkan mereka. Gus Dur menganggap semua suku mempunyai lagu kedaerahan, demikian juga warga Papua. Itu sebabnya sampai sekarang pun bagi warga Papua Gus Dur memberikan kesan yang mendalam.

Seperti dalam konteks sosial, agama, dan politik, keberpihakan Gus Dur terhadap kebudayaan yang termarjinalkan juga memiliki ruang tersendiri yang juga turut memberi warna dan memperkaya nilai-nilai kemanusiaan dan kebangsaan kita.

Maraknya krisis kemanusiaan seperti saat ini, Gus Dur adalah sosok yang paling dirindukan. Karena hanya dia yang konsisten memperjuangkan kesetaraan dalam heterogenitas.

Gus Dur memandang perbedaan sebagai suatu modal untuk menjalin tatanan masyarakat dalam bingkai kebhinekaan.Gebrakan Gus Dur yang paling berani dalam mengangkat harkat kemanusiaan yaitu dengan mencabut Inpres No 14/1967 yang mendiskriminasi etnis tionghoa dengan menggantinya dengan Inpres No 6/2000.

Sebelumnya selama puluhan tahun, penganut Kong Hu Cu pada masa Orde Baru (ORBA) tak bisa sepenuhnya mengklaim hak-hak mereka sebagai warga negara Indonesia, karena agamanya tak diakui oleh negara. pemerintah ORBA rupanya ingin mengikis habis kebudayaan Tionghoa, bukan saja tidak mengizinkan orang mengamalkan tradisi dan adat istiadatnya di ruang publik.

Misalnya tidak boleh merayakan tahun baru imlek dan cap gome, tidak boleh main barongsai, semua kelenteng harus diubah menjadi wihara, agama konghucu tidak diakui, koran dan publikasi tidak di izinkan, hanya sebuah Koran setengah Tionghoa yang diasuh oleh militer di izinkan terbit, dan Koran ini dikenal dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai Koran iklan.

Tidak bisa membayangkan menjalani hidup sebagai masyarakat Tionghoa yang selama kurang lebih  30 tahun seolah terpasung, tidak bisa merasakan nikmatnya kebudayaan mereka secara bebas.

Dengan berlakunya inpres no 6/2000 kebijakan Gus Dur itu banyak menuai penolakan dengan alasan khawatir komunisme kembali hidup di Indonesia. Namun, komitmen Gus Dur tak pernah goyah.

Sebab, menurutnya Imlek dan tradisi barongsai merupakan bagian dari kebudayaan. Jika dikelola dengan baik dan benar dapat menjadi sarana menyebarkan nilai-nilai kebaikan, seperti yang dilakukan oleh para Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia melalui wayang (Bisnis Indonesia Weekend, Edisi 7 Februari 2016).

Di masa Gus Dur penganut Kong Hu Cu mendapatkan hak-hak asasinya. Gus Dur pun menganggap Muslim Tionghoa boleh merayakan Tahun Baru Imlek sehingga tidak dianggap sebagai tindakan musyrik.

Bagi Gus Dur, perayaan imlek adalah bagian dari tradisi budaya, bukan agama, sehingga sama seperti tradisi lainnya yang dilakukan di Jawa. Etnis Tionghoa yang sudah berabad-abad ada di Indonesia tetap menganggap Gus Dur adalah salah satu tokoh yang layak mendapat penghargaan.

Berdasarkan kebijakan-kebijakan yang dibuar Gus Dur itulah etnis Tionghoa hingga para penganut Khonghucu tidak lagi menyembunyikan simbol identitas mereka, sesuatu yang terlarang pada era Orde Baru. Tidak heran, pada 10 Maret 2004, di Kelenteng Tay Kek Sie, Gus Dur dinobatkan sebagai “Bapak Tionghoa Indonesia”.

Selepas kepergian Gus Dur pada 30 Desember 2009 silam, makamnya terus didatangi warga Tionghoa yang mendoakannya hingga kini. Foto Gus Dur pun kerap ditemui di sejumlah kelenteng untuk mengingat jasa dan perjuangannya. Diakui atau tidak Gus Dur adalah pemimpin negara yang pertama kali memperjuangkan hak-hak warga negara kelompok keturunan Tionghoa di Indonesia dalam posisi yang semestinya sebagaimana warga negara yang lain dalam posisi setara tanpa terkecuali.

Perjuangan Gus Dur tersebut bukan tanpa alasan. Gus Dur melakukan demokratisasi dengan berpijak pada nilai-nilai budaya yang sudah mengakar dan melebur dalam masyarakat, seraya membangun wacana perlawanan dalam membongkar hegemoni pemaknaan masyarakat dalam mengekspresikan gagasan demokrasi yang diyakini.

Jika Gus Dur memiliki slogan “Gitu Aja Kok Repot”, maka saat ini masyarakat menjawabnya dengan “Setelah Kepergianmu, semua jadi repot”. Pasca satu dekade meninggalnya Gus Dur, bangsa Indonesia seperti mengalami defisit tradisi kebudayaan.

Hal itu bisa terlihat dengan masih eksisnya gerakan-gerakan penghancuran tradisi dan budaya dengan dalih atas nama agama. Oleh karena itu haul Gus Dur yang ke-10 ini mencoba mengingatkan dan mengaktualisasikan kembali pentingnya kebudayaan sebagai upaya menjaga kemanusiaan kita. Karena tanpa kebudayaan manusia tidak lagi menjadi manusia seutuhnya.

faqih albantani
faqih albantani
Manajer Kajian Publik dan Penelitian Rafe'i Ali Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.