Kamis, April 25, 2024

Mengenang Kepergian Maestro Jurnalistik Indonesia

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Kabar duka menghampiri dunia jurnalistik Indonesia. Jakob Oetama, Pendiri Harian Kompas yang juga tokoh besar dunia jurnalistik Indonesia wafat pada hari ini, 9 September 2020. Jakob Oetama wafat pada usia 89 tahun.

Kepergian Jakob Oetama bukan hanya kehilangan yang besar bagi Keluarga Besar Kompas, Bangsa Indonesia juga kembali kehilangan salah satu putra terbaiknya. Bukan sekadar jurnalis, Jakob Oetama juga memiliki peran sebagai tokoh bangsa yang menjaga pluralisme dengan iklim organisasi yang ia bangun di kompas dan pemberitaan ala kompas yang merekatkan persatuan bangsa.

Miniatur Indonesia ala Kompas

Dalam tulisan ini, penulis ingin membagikan pengalaman ketika berkesempatan menimba ilmu di Harian Kompas. Pengalaman ini penulis alami dua tahun yang lalu saat berada di bangku kelas XI SMA melalui Program Magangers Kompas Muda Batch X. Menimba ilmu di Kompas bagi penulis bukan hanya menambah pengalaman jurnalistik semata, lebih dari itu Kompas mengajarkan kepada penulis makna pluralisme dan keindonesiaan secara nyata dengan penerapan yang konkret.

Jakob Oetama sering kali membawa narasi bahwa kompas adalah miniatur Indonesia. Dengan kemajemukan dan keberagaman individu-individu yang ada di dalamnya, ungkapan tersebut rasanya berdasar dan nyata adanya. Berdasarkan pengalaman penulis selama menimba ilmu di Kompas, ungkapan tersebut benar adanya. Sikap toleransi dan harmoni merupakan salah satu hal yang dijunjung tinggi di Kompas.

Hal tersebut dapat dilihat melalui karyawan maupun wartawan yang ada di kompas dengan latar belakang yang berbeda. Perbedaan agama, suku, maupun ras tidak menjadi pembeda di dalam Kompas. Berdasarkan pengalaman penulis, setiap kegiatan yang kompas lakukan selalu mengakomodasi kepentingan umat beragama seperti dengan menyediakan waktu jeda untuk salat bagi peserta kegiatan yang beragama muslim. Hal ini tentu menepis spekulasi yang sempat dihembuskan beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab seperti Kompas anti terhadap Islam ataupun plesetan Kompas yang merupakan akronim dari Komando Pastur.

Melalui Kompas, penulis merasakan langsung pluralisme dan tenggang rasa yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Nilai toleransi terhadap perbedaan juga penulis rasakan langsung semasa menimba ilmu di Kompas melalui budaya kerja yang ada di dalamnya. Penulis menyaksikan secara langsung kompas memberikan kesempatan yang sama bagi semua putra-putri bangsa untuk berkiprah dan berkontribusi. Bagi penulis, kesempatan menimba ilmu di Kompas merupakan salah satu hal yang tidak henti-hentinya penulis syukuri hingga hari ini.

Pemberitaan kompas juga identik dengan gayanya yang membangun persatuan dengan mengedepankan harmoni antar anak bangsa. Kompas jarang sekali melancarkan kritik dengan diksi yang sangat tajam terhadap pihak yang berkepentingan.

Kritik yang kompas sampaikan selalu khas dengan gayanya yang mungkin sekilas tidak terlihat sebagai sebuah kritik, akan tetapi sebenarnya hal itu merupakan kritik substansial yang sering kali luput dari pihak lain. Selain itu, kompas juga jarang sekali memberitakan hal-hal kontroversial yang mungkin dapat menimbulkan perpecahan antar anak bangsa. Berita yang Kompas tulis melalui koran dan situsnya ataupun siarkan melalui televisi selalu membawa optimisme dan harapan bagi bangsa.

Teguh dalam Prinsip, Fleksibel dalam Cara

Jakob Oetama memulai kiprahnya sebagai seorang wartawan pada tahun 1956 saat menjadi pemimpin redaksi mingguan penabur. Ia meninggalkan profesinya sebagai guru. Profesi yang ditekuninya sejak hijrah ke Jakarta dari Yogyakarta pada tahun 1953. Profesi guru sangat dekat dengan kehidupan Jakob.

Ayahnya berprofesi sebagai guru di Yogyakarta dan ia sendiri bercita-cita sebagai seorang guru keagamaan, yaitu romo atau pastur semasa menempuh pendidikan di sekolah seminari. Selepas menempuh pendidikan di Universitas Gajah Mada pada 1961, Jakob bersama Petrus Kanisius Ojong (PK Ojong) mendirikan mingguan Intisari pada tahun 1963 yang kemudian berubah menjadi harian Kompas pada 28 Juni 1965.

PK Ojong dan Jakob Oetama memang memiliki pemahaman yang sama terkait dengan Kompas dan arah yang hendak dibawanya. Namun, di beberapa bagian terdapat perbedaan penyikapan dan cara yang dilakukan oleh keduanya. PK Ojong yang cenderung lebih ‘keras’ terhadap prinsip dan cara yang digunakan, sedangkan Jakob Oetama cenderung dapat lebih lentur terhadap cara-cara untuk melaksanakan prinsip tersebut.

Perbedaan penyikapan di antara keduanya terlihat kala Kompas diberedel Pemerintah pada 20 Januari 1978. Kala itu, Kompas dihadapkan pada dua pilihan yang sangat berat yaitu kemungkinan hilang selamanya atau tetap terbit dengan menandatangani surat permohonan maaf dan perjanjian dengan Presiden Soeharto.

PK Ojong waktu itu memilih untuk menolak menandatangani surat tersebut. Ia berpesan pada Jakob bahwa tidak ada bedanya dibungkam nanti ataupun hari ini. Akan tetapi, Jakob memilih jalan berbeda. Ia memilih menandatangani surat permohonan maaf tersebut dengan besar hati. Baginya, penandatanganan surat tersebut bukan merupakan bentuk komprominya terhadap hal-hal yang tidak sesuai prinsipnya. Itu hanyalah bentuk dari kelenturan cara yang ia tempuh dalam menjalankan prinsipnya.

Bukan Hanya Milik Kompas

Meski populer sebagai pendiri Kompas bersama dengan PK Ojong, Jakob Oetama memiliki pengaruh yang besar pula terhadap perkembangan dunia jurnalistik Indonesia. Jakob Oetama dengan gaya penulisan dan redaksionalnya di Kompas terbukti mampu menjadikan Kompas sebagai rujukan utama koran yang ada di Indonesia. Koran yang beritanya tidak hanya menjadi rujukan bagi masyarakat awam saja, para penguasa pun menunggu apa yang Kompas beritakan pada hari itu.

Seni Jakob Oetama dalam membangun kompas dengan jurnalisme makna dengan pencarian makna dari suatu fakta ataupun informasi yang menjadi ciri khas kompas ataupun gaya pemberitaan kompas dalam menyampaikan informasi selalu menjadi rujukan bagi media-media lain. Kritik-kritik yang Kompas sampaikan mungkin tidak sevulgar ataupun sepedas media lain. Akan tetapi, kritik-kritik khas kompas justru memberikan makna yang mungkin belum dijangkau oleh media lain.

Pemikiran dan ide Jakob Oetama bukan hanya menjadi acuan bagi Kompas untuk melakukan kegiatannya. Lebih dari itu, pemikiran Jakob Oetama terbukti telah menjadi salah satu referensi metode jurnalistik yang dipelajari oleh mahasiswa di kampus-kampus. Pemberian gelar Doctor Honoris Causa pada bidang Jurnalistik oleh dua perguruan tinggi terkemuka di Indonesia yaitu almamaternya, Universitas Gajah Mada dan Universitas Negeri Sebelas Maret menjadi bukti bahwa Jakob Oetama bukan hanya milik Kompas saja, Jakob Oetama merupakan milik seluruh Bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, kepergian Jakob Oetama tidak hanya dirasakan oleh keluarga besar Kompas saja. Kepergian Jakob Oetama juga menjadi duka mendalam bagi dunia jurnalistik Indonesia yang kehilangan salah satu maestro terbesarnya yang mengabdikan lebih dari separuh usianya untuk berkontribusi di dalam khazanah jurnalistik nusantara.

Selamat Jalan Pak Jakob!

Satrio Alif
Satrio Alif
Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.