Saat ini ada kecenderungan yang meluas di Indonesia mengenai bagaimana anak diperlakukan dan bagaimana terabaikannya mereka ketika menjadi korban kekerasan atau perlakuan yang tidak semestinya. Perlakuan salah terhadap anak secara seksual mulai menjadi perhatian dunia pada pertengahan tahun 1980-an. Statistik menunjukkan bahwa kasus-kasus kekerasan seksual jauh lebih banyak terjadi pada anak, dengan kaum dewasa hampir selalu sebagai pelakunya, entah mereka yang memiliki relasi keluarga, seperti ayah atau saudara, tetangga, orang yang dikenal, sampai orang yang tidak dikenal.
Menurut Rita Selena Kolibonso, Direktur Eksekutif Mitra Perempuan, Yayasan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, “Jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia adalah ayah dari korban sendiri, maka makin sulit untuk menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum. Orangtua cenderung menjaga korban untuk tidak menjalani proses hukum. Ibu korban juga sulit diharapkan membantu karena takut pada suami dan keluarga. Padahal dalam proses hukum, seorang anak yang berusia kurang dari 12 tahun harus didampingi orangtua atau wali”.
Situasi ini diperparah dengan masih berlakunya ideologi praja atau menjaga ketat kerahasiaan keluarga, khususnya dalam budaya Jawa, “Membuka aib dalam keluarga berarti membuka aib diri sendiri”. Keadaan ini menurut Harkritusti Harkrisnowo, dalam berbagai kesempatan, menyebabkan tingginya the dark number karena tidak dilaporkan. Padahal dampak dari perilaku tersebut cenderung merusak mental bahkan korban seringkali mengalami keterbelakangan mental.
Status dan kondisi anak Indonesia adalah paradoks. Secara ideal, anak adalah pewaris dan pelanjut masa depan bangsa. Secara real, situasi anak Indonesia masih terus memburuk. Dunia anak yang seharusnya diwarnai oleh kegiatan bermain, belajar dan mengembangkan minat bakat untuk masa depan, realitasnya masih menyedihkan. Anak Indonesia masih dan terus mengalami kekerasan.
Kekerasan terhadap anak seringkali diidentikkan dengan kekerasan kasat mata, seperti kekerasan fisik dan seksual. Padahal, kekerasan yang bersifat psikis dan sosial juga membawa dampak buruk dan permanen pada anak. Karenanya, istilah child abuse atau perlakuan salah terhadap anak bisa terentang mulai dari yang bersifat fisik (physical abuse) hingga seksual (sexual abuse); dari yang bermatra psikis (mental abuse) hingga sosial (social abuse) yang berdimensi kekerasan strukutural.
Kemiskinan yang seringkali bergandengan dengan rendahnya tingkat pendidikan, pengangguran, dan tekanan mental umumnya dipandang sebagai faktor dominan yang mendorong terjadinya kasus kekerasan terhadap anak. Lemahnya penegakan hukum dan praktik budaya bisa pula berdampak pada fenomena kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak cenderung diturunkan. Anak yang pernah menerima kekerasan akan melakukan hal yang sama terhadap anaknya kelak. Suami yang sering melakukan perlakuan salah terhadap anaknya cenderung melakukan hal yang serupa terhadap istrinya (Suharto, 2004).
Indonesia telah mempunyai perangkat hukum untuk melindungi anak, antara lain: Keppres RI No. 59/2002 (RAN Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerja Anak); Keppres RI No. 88/2002 (RAN Penghapusan Perdangan Perempuan dan Anak); dan UU No. 39/1999 (UU HAM). Namun demikian, perlindungan terhadap anak tidak bisa hanya dipandang sebagai persoalan politik dan legislasi (kewajiban negara). Perlindungan terhadap kesejahteraan anak juga merupakan bagian dari tanggung jawab orangtua dan kepedulian masyarakat. Tanpa partisipasi dari masyarakat, pendekatan legal formal saja ternyata tidak cukup efektif melindungi anak.
Gambaran tentang efek tindakan kekerasan pada anak bisa dilihat dalam penjelasan Moore dalam fentini Nugroho (1992: 41) yang mengamati beberapa kasus anak yang menjadi korban penganiayaan fisik. Diungkapkannya bahwa efek tindakan kekerasan tersebut demikian luas dan secara umum dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori.
Ada yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepribadian sendiri, apa yang dilakukan sepanjang hidupnya hanyalah untuk memenuhi keinginan orangtuanya (parental extension), mereka tidak mampu menghargai dirinya sendiri (chronically low self-esteem); ada pula yang sulit menjalin relasi dengan individu lain; dan yang tampaknya paling parah adalah timbulnya rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri (self hate) karena merasa hanya dirinyalah yang selalu bersalah sehingga menyebabkan penyiksaan terhadap dirinya.
Kekerasan emosional atau kekerasan verbal terhadap anak dilakukan dalam bentuk memarahi, mengomel, membentak dan memaki anak dengan cara berlebihan dan merendahkan martabat anak, termasuk mengeluarkan kata-kata yang tidak patut didengar oleh anak. Sedangkan kekerasan fisik, bisa meliputi pemukulan dengan benda tumpul maupun benda keras, menendang, menampar, hingga paling parah bisa seperti membenturkan kepala anak pada tembok.
Sementara kekerasan seksual terhadap anak dilakukan dalam bentuk perkosaan, pemaksaan seksual, pelecehan seksual, dan incest. Selanjutnya, kekerasan dalam bentuk penelantaran pada umumnya dilakukan dengan cara membiarkan anak dalam situasi gizi buruk, kurang gizi (malnutrisi), tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau pengamen, memaksa anak menjadi anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pemulung, dan jenis pekerjaan lainnya yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Sudah sepatutnya kita sebagai anggota masyarakat harus peduli terhadap masa depan generasi penerus. Anak-anak yang akan menjadi fondasi bagi bangsa harus kita lindungi dan isu-isu mengenai kekerasn terhadap anak perlu ditindaklanjuti dengan serius. Harapannya kedepan, Indonesia menjadi negara yang ramah terhadap tumbuh kembang anak dan kasus-kasus kekerasan anak bisa dimusnahkan dari negeri kita tercinta.
Daftar Pustaka
Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Terhadap Anak.