Kegiatan perekonomian tidak terlepas dari peran perbankan sebagai lembaga intermediary antara pihak yang kekurangan dana dan kelebihan dana. Mayoritas manusia di dunia ini atau hampir keseluruhan menggunakan jasa pada lembaga keuangan perbankan dalam kegiatannya. Manusia menggunakan jasa perbankan untuk melakukan transaksi pembelian atau pembiayaan baik untuk kebutuhan produktif ataupun konsumtif. Maka dari itu, peran dari perbankan sangatlah penting dalam mobilitas perekonomian.
Di Indonesia sendiri, pada lembaga keuangan terutama perbankan ada yang memakai sistem bank konvensional dan bank syariah. Dengan kata lain, perbankan syariah juga diakui keberadaanya dan bisa memberikan kontribusi pada perekonomian di Indonesia. Tentunya keberadaan perbankan syariah disambut oleh segmen warga Indonesia, apalagi di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam.
Istilah dual banking system berlaku juga di negara Indonesia, dimana sistem perbankan nasional memperbolehkan sistem perbankan ganda. Sistem ini menganut suatu faham yang memperbolehkan perbankan melaksanakan aktivitas secara konvensional maupun memakai prinsip syariah. Jadi, bisa kita jumpai di negara Indonesia terdapat hal tersebut misal ada bank AAA dan bank AAA Syariah.
Berbicara terkait kegiatan perbankan syariah tentu tidak terlepas juga dengan risiko yang melekat pada aktivitasnya. Maka dalam menangani itu dikenallah istilah manajemen risiko, yang menurut Bank Indonesia merupakan serangkaian metodologi dan prosedur yang dipakai dalam melakukan identifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang muncul dari seluruh kegiatan usaha yang dilaksanakan bank.
Penerapan manajemen risiko secara integrated menjadi kebutuhan utama sehingga semua pihak bisa terlibat pada pelaksanaan manajemen risiko. Dan risiko pada perbankan bisa disebabkan beberapa hal misal peningkatan kompetensi, lingkungan peraturan, dan lain sebagainya.
Dilansir dari Jurnal Mitra Manajemen (2018) karya Rheza Pratama, menyatakan secara historis dalam penerapan manajemen risiko bank sudah dimulai sejak tahun 1992 sedangkan perbankan dengan prinsip syariah yang lahir pada tahun yang sama, maka hal tersebut menjadi tantangan dengan karakteristik yang berbeda. Sehingga cara yang efektif dan efisien berupa mengadopsi sistem manajemen risiko bank konvensional dengan penyesuaian karakteristiknya, hal tersebut dilakukan Bank Indonesia (BI) sebagai regulator di Indonesia.
Risiko pada perbankan konvensional terdapat 8 jenis sedangkan bank syariah mempunyai 10 jenis berupa pengabungan antara risiko bank konvensional serta risiko imbal hasil dan investasi (Dikutip dari karya Rivai dan Islam pada buku Islamic Risk Management for Islamic Bank , 2013).
Berikut ini penjelasan terkait risiko yang terdapat pada bank syariah. Risiko kredit merupakan risiko yang muncul jika counterparty mengalami kegagalan dalam pemenuhan kewajiban baik berdasarkan waktu ataupun jumlahnya. Risiko pasar sebagai risiko yang timbul pada instrument dan aset yang dilakukan perdagangan di pasar uang sedangkan risiko likuiditas merupakan risiko yang muncul pada manajemen perbankan karena tidak cukupnya likuiditas untuk persyaratan operasional bisnis tersebut.
Selanjutnya, risiko operasional merupakan bentuk risiko baik secara langsung atau tidak langsung karena ketidakmampuan dari proses, internal, human, dan sistem ataupun kegiatan eksternal sedangkan risiko hukum sebagai risiko yang muncul dari adanya ketidakpastian tindakan hukum. Kemudian, risiko strategi adalah risiko yang disebabkan ketidaktepatan dalam pengambilan keputusan strategi yang dilaksanakan dan gagal dalam antisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Risiko kepatuhan merupakan risiko karena perbankan tidak mematuhi atau melaksanakan aturan dari regulator. Berikutnyam risiko reputasi merupakan risiko yang berada pada perilaku yang tidak bertanggung jawab sehingga bisa merusak kepercayaan nasabah. Dan dua risiko ini yang terdapat pada bank syariah berupa risiko imbal hasil (risiko sebab perubahan tingkat imbal hasil yang dibayar perbankan pada nasabah sebab perubahan tingkat yang diterima perbankan dari penyaluran dana sehingga bisa mempengaruhi perilaku nasabah dana pihak ketiga) dan risiko investasi (risiko sebab perbankan menanggung kerugian usaha nasabah yang dibiayai pada pembiyaan bagi hasil).
Bank syariah dituntut dalam melakukan pengelolaan risiko yang dialami berdasarkan pada dua ketentuan berupa syariah dan perbankan. Hal ini dikarenakan kondisi perbankan yang beragam maka penerapannya disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan dari banknya.
Aspek yang penting untuk penerapan manajemen risiko berupa kecukupan prosedur dan metodologi pengelolaan risiko sehingga aktivitas perbankan bisa dikendalikan dengan batas yang bisa diterima serta memberika keuntungan bagi perbankan. Selanjutnya, pada buku yang berjudul manajemen risiko karya Mamdu Hanafi (2014) menyatakan proses yang dilaksanakan dalam manajemen risiko adalah:
Identifikasi risiko
Hal ini dilaksanakan dengan melakukan identifikasi risiko yang dihadapai dengan menelusuri sumber-sumber risiko sampai dengan kemungkinan ada peristiwa yang tidak diinginkan perbankan.
Evaluasi dan pengukuran risiko
Tahap ini dilaksanakan dengan memahami karakteristik risiko dengan lebih baik, artinya jika mendapatkan pemahaman lebih baik maka risiko lebih mudah dikendalikan.
Pengelolaan risiko
Pengelolaan harus dilaksanakan, jika organisasi gagal dalam mengelolanya maka yang didapat bisa cukup serius. Dan risiko ini bisa dikelola dengan berbagai macam cara, semisal diversifikasi, menghindari, atau risk financing.
Jadi, perbankan syariah harus mempunyai manajemen risiko dalam melakukan kegiatan yang dilakukan. Adanya berbagai macam risiko yang terdapat pada perbankan syariah harus dihadapi dengan memanajemen risiko yang baik, mulai dari kegiatan identifikasi sampai pengelolaannya.