Beberapa bulan lalu, ramai diperbincangkan di media sosial dan sejumlah pemberitaan media terkait sebuah video peristiwa mundurnya seorang menteri di Inggris. Kejadian itu mengejutkan, lantaran alasan mundur menteri tersebut karena terlambat hadir saat akan mengikuti rapat.
Sementara berbanding terbalik dengan di Indonesia, saat seorang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang setidaknya sudah dua kali melanggar etik, justru menolak untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Michael Bates, Menteri Negara untuk Departemen Pembangunan Internasional Inggris, menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya sesaat setelah dirinya datang terlambat menaiki podium meskipun hanya satu menit dalam sebuah pertemuan bersama anggota parlemen di Inggris.
Berdasarkan sejumlah pemberitaan dimedia massa, hal tersebut dilakukan karena dirinya merasa malu dan tidak sopan ketika tidak ada saat untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan penting Ruth Lister, dari Partai Buruh soal kesenjangan pendapatan.
Tindakan yang dilakukan oleh Michael Bates tersebut bukan tidak mendapat penolakan dari anggota parlemen dan peserta rapat yang hadir. Sebagian dari mereka menganggap permintaan maaf yang telah disampaikan dirasa sudah cukup, namun tidak menurut Bates yang tetap mengajukan pengunduran dirinya sebagai menteri.
Meskipun akhirnya pengunduran tersebut ditolak oleh Perdana Menteri Inggris, namun tindakan yang dilakukan atas kebesaran jiwa melepaskan jabatan patut diapresiasi dan menjadi contoh bagi para pejabat–pejabat di negara lain termasuk di Indonesia.
Pasalnya apa yang dilakukan sang menteri dari Inggris tersebut setidaknya menunjukan kepada masyarakat di Indonesia, bahwa sebuah jabatan seyogyanya adalah amanah dan hal tersebut patut dipertanggung jawabkan dengan baik. Mengingat dalam isu yang beberapa bulan belakangan berkembang, justru di Indonesia ada jabatan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan posisi paling terhormat ternodai oleh praktik pelanggaran etik oknum hakimnya.
Arief Hidayat, Hakim yang juga menjabat ketua MK diminta banyak pihak untuk mengundurkan diri. Permintaan tersebut berdatangan dari berbagai pihak, seperti masyarakat melalui petisi online yang telah ditanda tangani lebih dari 15 ribu orang.
Permintaan mundur Ketua MK Arief Hidayat juga datang dari 75 Profesor dari sejumlah perguruan tinggi (14/2). Bahkan hingga kini jumlah Guru besar yang mendesak Arief untuk mundur terus bertambah jumlahnya. Tak hanya para Guru besar, lebih dari 160 civitas akademisi Jogja untuk MK juga mendesak hal serupa.
Munculnya banyak penolakan terhadap Arief Hidayat sebagai hakim dan ketua MK dianggap sesuatu yang wajar. Hal tersebut merupakan bentuk kepedulian banyak pihak sebagai upaya menjaga marwah dan kewibawaan Mahkamah Konstitusi. Sebagai penjaga konstitusi di Indonesia, pertaruhan kredibilitas setiap hakim di dalamnya menjadi sesuatu yang sangat menentukan. Terlebih kita ketahui, dalam beberapa tahun belakangan, persepsi publik terhadap MK tidaklah memuaskan.
Hasil survei LSI pada 2015 mengatakan, kepercayaan publik terhadap MK hanya sebesar 59, 1 persen, terpaut jauh dibandingkan dengan KPK 74,9 persen, maupun terhadap Presiden 81,5 persen. Kondisi tersebut terjadi tak lain karena beberapa kali MK didera berbagai persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Diantaranya, peristiwa yang juga menyita perhatian dan meruntuhkan wibawa MK yakni ketika hakim sekaligus Ketua MK, Akil Mochtar tertangkap tangan KPK karena menerima suap. Kemudian yang juga menambah persepsi negatif publik dengan kasus yang sama, hakim MK Patrialis Akbar juga tertangkap tangan KPK ketika menerima suap. Tidak heran ketika hasil survei yang dilansir tersebut menunjukan rendahnya kepercayaan publik terhadap MK.
Sehingga menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi MK untuk memperbaiki diri dimata masyarakat sebagai lembaga terhormat dan berwibawa. Namun belum usai dengan upaya tersebut, lagi – lagi ada perilaku tak terpuji dilakukan oleh hakim bahkan sekaligus Ketua MK Arief Hidayat.
Menjadi wajar ketika banyak pihak yang meminta Arief untuk mundur, mengingat setidaknya sudah dua kali terbukti melanggar etik dikenai sanski. Pertama soal katebelece kepada Jaksa Agung muda Pidana Khusus, dan kedua pertemuan dengan politisi dan anggota DPR yang ditengarai berkaitan dengan pemilihan ketua MK.
Terakhir pada (1/3) lalu, laporan dugaan pelanggaran etik terhadap ketua MK kembali dilayangkan oleh kelompok masyarakat sipil dari Tangerang (TRUTH). Jika ditotal sedikitnya sudah ada tujuh laporan dugaan pelanggaran etik yang ditujukan kepada ketua MK, termasuk yang sudah terbukti dan dijatuhi sanksi.
Meski banyak pihak yang merasa kecewa atas sanksi ringan yang dijatuhkan kepada Arief karena pelanggaran yang terbukti terkahir kemarin, namun paling tidak hal ini membuka mata publik untuk menilai etika dan moral Arief Hidayat serta kinerjanya pun yang tidak memuaskan. Pemberian dua kali sanksi oleh Dewan Etik membuka jalan kepada Arief dan mengetuk nuraninya untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai hakim dan ketua MK.
Seharusnya Arief Hidayat mengambil contoh Arsyad Sanusi, Hakim MK yang pada 2011 memutuskan mengundurkan diri dengan terhormat dari jabatannya, karena anggota keluarganya bertemu panitera pengganti yang ada di bawahnya.
Jabatan hakim Mahkamah Konstitusi bukanlah jabatan biasa, bahkan jika dibandingkan dengan jabatan menteri di Inggris misalnya, posisi hakim tetap dianggap lebih terhormat. Apalagi MK menuntut sosok yang tak hanya memiliki kompetensi cakap dibidang hukum, tetapi juga integritas yang tinggi.
Hakim MK dikatakan juga sebagai seorang negarawan yang tentu lebih bijak dalam tindakan. Sebagai langkah untuk memperbaikai citra dan menjaga marwah MK, kebesaran jiwa untuk mengundurkan diri menjadi keniscayaan yang sangat berarti bagi bangsa. Kalau seorang menteri di Inggris saja rela mengundurkan diri karena hanya merasa malu, tentu bagi seorang hakim seperti Arief Hidayat seharusnya mengundurkan diri untuk menjaga titah marwah MK.