Jumat, Oktober 11, 2024

Mengembalikan Esensi Kuasa Rakyat

Rizki Armanda
Rizki Armanda
Rizki Armanda -Staff Peneliti di HTN DISTRIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Akhir akhir ini masyarakat indonesia dibuat jengah dengan berbagai macam pemberitaan yang menguras energi dan pikiran. Pemberitaan yang memicu emosi hilir mudik bersaut-sautan tidak habisnya membuat rakyat geram mulai dari pemberitaan pembunuhan, pemerkosaan, pencurian hingga yang sekarang sedang panas tentang praktik korupsi yang mewabah di kementerian keuangan.

Baru baru ini, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Ham, Mahfud MD ikut angkat suara juga. Ia mendapatkan informasi, bahwa praktik pat gulipat tilep uang rakyat di Kementerian Keuangan mencapai 300 Triliun menurut data akumulasi sejak tahun 2009 sampai 2023.

Sontak hal itu membuat geram rakyat indonesia karena mereka sadar sebagai warga negara yang baik, mereka dikenakan wajib pajak oleh pemerintah. Rakyat yg sudah memberikan kepercayaan pada pemerintah sebagai pemangku kebijakan dibuat marah karena malah melakukan malpraktik dan tidak mencerminkan perilaku moral yang baik. Tentu hal ini dianggap sebagai pengkhianatan terhadap kepercayaan publik yg esensinya adalah untuk mengantarkan rakyat pada kesejahteraan.

Esensi kekuasaan

Berbicara mengenai kekuasaan, kita akan dibawa pada ranah yang cukup pelik dalam mengartikannya. Orang orang banyak mengartikan kuasa pada pemahaman kekuasaan yg bersifat represif apalagi bila disandingkan dengan kata “politik”

Menurut Foucault kuasa diartikan sebagai suatu strategi dalam relasi antar manusia yang disebutnya sebagai relasi-relasi kuasa. Pada dasarnya, ia menjelaskan bahwa kuasa muncul dari bawah dan tidak bersifat represif. Esensi dari kuasa bukanlah muncul dari dominasi dan represi.

Kuasa lahir dari interaksi antara interpersonal manusia yang memunculakan relasi-relasi antara mereka. Kuasa tidak bekerja melalui kekerasan, intimidasi, tekanan maupun represi melainkan bekerja melalui regulasi dan normalisasi. Dari sinilah Foucault menjelaskan lebih lanjut kuasa mengalami institusionalisasi yang disebut pemerintah (government).

Dalam praktik pemerintah yang ideal, sebagai representasi rakyat,  pemerintah dimaknai sebagai pemimpin yg memiliki kuasa untuk menjalankan fungsinya dalam konsepsi yang kita sebut sebagai kontrak sosial. S

Sebagaimana dijelaskan oleh filsuf modernisme, Thomas Hobbes, kontrak ini diwujudkan sebagai bentuk konsensus untuk menyerahkan kepercayaan rakyat pada kepemimpinan demi menjaga stabilitas, kesejahteraan dan keamanan. Seorang pemimpin wajib untuk melaksanakan hukum dan aturan yang telah disepakati dalam perjanjian. Apabila ia berlaku menyimpang maka rakyat boleh menurunkannya sebagai pemimpin karena ia dinilai tidak cakap dalam menjaga amanah dan kepercayaan rakyat apalagi bilamana kebijakan yang dikeluarkannya merupakan kebijakan yang dinilai menindas, merusak dan merugikan rakyat tersebut.

Berkenaan dengan hal ini, Foucault menjelaskan makna kekuasaan dalam paradigma praktik pemerintahan yang buruk sebagai kekuasaan yang berkaitan erat dengan dominasi dan represi karena kuasa ini selalu menuntut korban atau target.

Defisit Rasionalitas Kepemimpinan

Mahfud menjelaskan bahwasannya ada 460 pegawai kemenkeu yang terlibat dalam praktik korup yang merugikan negara mencapai angka 300 Triliun sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.com. Bila kita lihat dari jumlah korupsi dan pegawai yg terlibat, kita bisa menilai bahwa praktik ini bukanlah sebuah kejahatan atas dasar kekhilafan namun kejahatan yang sistematis. Hilir mudik isu mengenai motif korupsi mencuat mulai dari isu memperkaya diri dengan mengakali regulasi peraturan perundang-undangan perpajakan dengan pengusaha, politik balas budi, tuntutan kerja setoran untuk gang mafia pajak dan seterusnya.

Terlepas dari motif malpraktik korup ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya pemerintah mengalami dekadensi moral dan terjadi masalah dalam budaya lingkungan Kemenkeu  yang defisit akan rasionalitas kepemimpinan (governmental rasionality)

Menanggapi situasi kritis ini, rakyat bereaksi dengan sporadis dengan cara mengkritik Kemenkeu habis-habisan. Aib, kesalahan dan malpraktik pejabat pajak dikuliti satu demi satu untuk kemudian disorot oleh media sehingga memicu respon dari berbagai pihak. Beberapa nama dari pejabat pajak yang bermain mulai muncul ke permukaan dan mulai diproses hukum.

Kekuatan Rakyat, Solusi Alternatif Pemberantasan Korupsi

Setidaknya ada 3 faktor penting untuk memulai pemberantasan korupsi. Pertama, Kemauan yang kuat (political will) dari pemangku kebijakan. Kedua, Independensi dan penguatan lembaga anti korupsi. Dan ketiga, penerapan birokrasi dan pelayanan pubik yang bersih.

Jon S.T. Quah melihat efektifitas pemberantasan korupsi diawali dengan budget yang mencukupi bagi pemangku kebijakan yang berurusan langsung dengan pemberantasan korupsi. Langkah ini dimaksudkan sebagai keseriusan pemerintah dalam menangani korupsi. Di sisi lain, hal ini juga dimaksudkan untuk mengembangkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia yang akan berurusan langsung dengan penanganan korupsi.

Melihat kasus yang mencuat di masyarakat, kita sudah mafhum bahwasannya pejabat yang berurusan dengan praktik korupsi di kemenkeu mendapatkan gaji yang lebih besar daripada pejabat di kementerian lain. Namun, mengapa pada nyatanya praktik korupsi masih mewabah sekalipun gaji yang mereka dapatkan sudah lebih dari cukup? Hal ini terjadi karena adanya wabah praktik korupsi yang membudaya dan hilangnya kemauan politik yang kuat (political will) untuk memberantas praktik korupsi di kemenkeu. Wajar saja bila rakyat merespon dengan geram atas semua yang terjadi.

Dalam fenomena ini, kita bisa katakan keresahan (angst) rakyat sudah memuncaki emosi yang tidak bisa terbendung lagi. Inilah yg disebut sebagai kekuatan rakyat (people power). Gerakan ini merupakan gelombang besar untuk memicu reformasi dan transformasi kekuasaan ke arah yang lebih baik. Seyogyanya, gerakan seperti ini terus dibudayakan sebagai gerakan dengan fungsi pengawasan (check and balance) untuk meningkatkan kinerja pemerintah ke arah yang lebih baik.

Peran inilah yg mampu melawan penetrasi politik kekuasaan yang dominan. Untuk mereduksi politik kekuasaan, rakyatlah satu satu nya kekuatan terbesar untuk melawan dominasi kekuatan politik kekuasaan. Kuasa rakyat tetaplah kekuatan yang abadi sehingga untuk mereformasi suatu lembaga, justru rakyatlah yg harus mengambil peran paling besar untuk mengawal cita ini. Rakyat pula lah yang menjadi batu uji terhadap tingkat rasionalitas kepemimpinan (governmental rasionality) agar terciptanya pemerintahan yang bersih dari korupsi dan dominasi kekuasaan.

Rizki Armanda
Rizki Armanda
Rizki Armanda -Staff Peneliti di HTN DISTRIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.