Kemacetan di Ciputat bukanlah suatu hal yang baru. Warga Tangsel, mahasiswa UIN Jakarta, hingga pedagang di Pasar Ciputat pasti sepakat bahwa macet di kawasan ini sudah jadi rutinitas yang seolah tak ada ujungnya. Setiap pagi dan sore, jalan-jalan utama seperti jalan Ir. H. Juanda, jalan Ciputat Raya, dan jalan RE Martadinata berubah menjadi lautan kendaraan yang bergerak pelan bagai seekor kura-kura.
Pertanyaannya, bagaimana kita, sebagai warga yang terjebak dalam ketidakpastian ini, bisa tetap memanage waktu? Apakah mungkin kita merencanakan aktivitas saat realita di jalan sering kali tidak bisa di prediksi?.
Kemacetan: Antara Takdir atau Kebijakan yang Belum Sesuai
Kemacetan di Ciputat bukanlah sekedar soal banyaknya kendaraan pribadi. Ada faktor lain yang menyebabkan kemacetan, seperti tata kota yang semrawut, trotoar yang dijadikan sebagai tempat berjualan pedagang kaki lima, Transjakarta dan juga angkot yang suka berhenti seenaknya, serta minimnya opsi transportasi umum yang nyaman. Wacana revitalisasi terminal dan penataan pasar sudah lama bergaung, tapi kenyataannya jalan di tempat. Ketika pemerintah abai, rakyat harus pintar mencari cara menyiasati situasi. Maka lahirlah kebiasaan unik, seperti memulai aktivitas dari subuh demi menghindari macet.
Strategi Warga Urban Ciputat
Di tengah situasi ini, beberapa strategi adaptif bisa kita lakukan. Pertama, menyusun jadwal dengan buffer time extra. Jika normalnya perjalanan dari Pamulang ke UIN Jakarta butuh 20 menit, warga Ciputat tahu betul bahwa saat jam sibuk bisa molor menjadi 50 menit. Maka menyisipkan waktu cadangan setidaknya 30 menit menjadi suatu kewajiban.
Kedua, manfaatkan teknologi navigasi. Aplikasi seperti Google Maps atau Waze bisa jadi senjata andalan untuk mencari tahu keadaan lalu lintas dan juga untuk mencari jalur alternatif, meskipun tidak jauh berbeda, tetapi minimal kita bisa memilih kemacetan yang lebih bersahabat.
Ketiga, mengatur prioritas aktivitas. Alih-alih memaksakan semua agenda harus selesai di luar rumah, beberapa aktivitas bisa dialihkan menjadi daring. Sebagian warga bahkan memilih bekerja atau belajar dari kafe yang dekat dengan lokasi tujuan demi menghindari bolak-balik jam rawan.
Keempat, memanfaatkan kemacetan sebagai waktu produktif. Ini mungkin terdengar klise, tetapi mendengarkan audiobook, podcast, ataupun penjelasan materi mata kuliah bisa membuat waktu di jalan tak sepenuhnya sia-sia.
Warga Berstrategi, Pemerintah Berbenah
Tentu, segala strategi ini hanya upaya jangka pendek. Warga memang bisa beradaptasi, tetapi pemerintah tak boleh terus membiarkan kemacetan menjadi takdir harian. Seharusnya pemerintah bisa menyelesaikan kemacetan ini. Langkah serius perlu diambil, seperti pembenahan trasportasi umum, pengaturan jam operasional kendaraan barang, hingga penertiban PKL di jalur vital.
Kemacetan di Ciputat adalah cerminan urbanisasi tanpa perencanaan yang matang. Jika dibiarkan, bukan hanya waktu saja yang terbuang, tetapi juga kualitas hidup warga yang terus tergerus.
Penutup
Mengatur waktu di tengah kemacetan Ciputat memang terasa mustahil, tetapi di kota yang sibuk ini, warga harus tetap cerdik membaca situasi. Berharap suatu hari nanti, kita bisa menikmati Ciputat yang bebas akan kemacetan tanpa perlu medengar deru klakson dan asap kendaraan setiap pagi dan sore. Karena hidup di kota seharusnya bukan soal bertahan, tetapi soal berkembang.