Sabtu, April 27, 2024

Mengelola Kedaulatan Ruang Udara Nasional

Agung Sulistyo
Agung Sulistyo
Analis Kebijakan dan Peneliti Hukum Internasional

Pemerintah telah mengusulkan RUU Pengelolaan Ruang Udara Nasional dalam Prolegnas Prioritas 2023. Di samping persoalan tata kelola ruang udara dalam tatanan masyarakat global, isu kedaulatan nasional pun masih terus terkemuka dan diperdebatkan. Terdapat beberapa aspek penting yang tidak boleh luput dari pembahasan RUU tersebut dalam konteks kedaulatan negara dan hukum internasional.

Dibutuhkan sistem tata kelola yang komprehensif melalui harmonisasi hukum yang dapat menjawab persoalan saat ini dan mendatang. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa pengaturan tingkat nasional bertransformasi menjadi sistem di tingkat yang lebih luas. Salah satunya adalah penyatuan sistem wilayah udara ASEAN, sehingga terjadi peningkatan kapasitas wilayah udara di dalam kawasan.

Peningkatan kapasitas harus dibarengi dengan pemecahan masalah-masalah yang ada maupun diprediksi hadir di masa mendatang. Di antaranya adalah terkait limitasi ruang udara yang berkelindan dengan konsep kedaulatan.

Dalam batas yang imajiner, demarkasi antara ruang udara dan angkasa membawa konsekuensi nyata dan vital. Delimitasi dibutuhkan untuk menentukan rezim hukum yang akan berlaku. Konsep kedaulatan melekat di ruang udara sebuah negara. Sedangkan, pada ruang angkasa berlaku prinsip common heritage of mankind yang tidak terdapat klaim kedaulatan.

Argumen tentang di mana atmosfer berakhir dan ruang angkasa dimulai sudah ada sebelum peluncuran satelit Sputnik pertama tahun 1957. Namun, lepas sekian dekade belum terjadi kesepakatan final. Di masanya, Uni Soviet selalu mengusulkan 100 hingga 110 km sebagai batas ketinggian ruang udara. Batas yang selalu ditolak oleh Amerika Serikat.

Demarkasi ruang udara-ruang angkasa terbukti selalu muncul sebagai persoalan politik. Untuk itu, COPUOS (the Committee of Peaceful Uses of Outer Space), badan PBB untuk urusan astronautika, sejak tahun 1966 tidak berhenti menyelidiki persoalan tersebut. Batas yang paling banyak diterima adalah apa yang disebut dengan Garis Karman. Meskipun tidak diterima secara universal, saat ini biasanya ditetapkan pada ketinggian 100 km.

Garis batas yang terdefinisi dengan pasti (bukan angka kisaran) akan menghindari ketidakpastian dan konflik yang berpotensi muncul di kemudian hari. Persoalan krusial di sini adalah apakah Indonesia akan berketetapan yang sama dengan pengaturan yang lebih dulu muncul? Undang-Undang Keantariksaan Indonesia telah mendeskripsikan antariksa sebagai ruang yang terletak sekitar 100-110 km di atas ruang udara atau atmosfer bumi.

Ataukah, Indonesia akan berkompromi dengan perkembangan pembahasan delimitasi yang hingga kini masih berlangsung? Untuk diketahui, proposal batas ruang udara setinggi 80 km telah banyak diusulkan. Terdapat argumen untuk mengembalikan definisi awal dari Garis Karman yang terletak antara 70-90 km, bukan 100 km. Demikian pula dengan kenyataan historis di mana orbit satelit terendah memiliki perigees 80-90 km, tidak mencapai 100 km.

Melalui pembahasan delimitasi ruang di atas dapat dimaklumkan bahwa pengaturan ruang udara nasional akan berhubungan dengan perkembangan politik global dan hukum internasional. Subyek perhatian hukumnya tidak bisa dilepaskan dari isu utama, yakni kedaulatan dan hak berdaulat negara yang memiliki ruang udara di atas wilayah teritorialnya.

Salah satu persoalan yang hingga kini masih terus diperdebatkan adalah terkait pendelegasian Flight Information Region (FIR) Jakarta ke Singapura pada ruang udara di atas wilayah Kepulauan Riau dan Natuna hingga batas ketinggian 37.000 kaki.

Mengenai hal tersebut, penulis menegaskan argumen utama bahwa penyediaan layanan lintas batas negara tidak bertentangan dengan gagasan kedaulatan negara. Sebaliknya, pendelegasian merupakan tindakan pelaksanaan kedaulatan, karena negara mempunyai kebebasan penuh untuk menunjuk pihak ketiga yang diinginkan dan menentukan waktu pelaksanaan. Bahwa, dalam konteks penerbangan, kedaulatan akan mengacu pada kompetensi eksklusif suatu negara dalam menjalankan kekuasaan administratif, legislatif, dan yudikatif di wilayah udara nasionalnya.

Dalam pengelolaan ruang udara bagi penerbangan sipil, kedaulatan nasional perlu dipahami secara konsisten dengan realitas politik, ekonomi, dan sosial. Fokusnya adalah pada lalu lintas penerbangan global yang harus berjalan tanpa hambatan. Sehingga, dasarnya adalah kinerja, bukan batas negara. Kinerja yang dimaksud diukur berdasarkan kriteria keselamatan dan efisiensi operasional, termasuk efektivitas biaya.

Penegasan terkait kedaulatan negara yang melekat di ruang udaranya termuat pula dalam Convention on International Civil Aviation (Konvensi Chicago) 1944. Konvensi ini menetapkan banyak prinsip, termasuk di antaranya tentang kedaulatan teritorial, wilayah udara nasional, kebebasan laut, dan kebangsaan pesawat udara.

Kedaulatan sebuah negara tidak muncul sepihak dan hanya dalam dimensi hak, melainkan erat dengan definisi kewajiban negara. Pasal 28 Konvensi Chicago menerjemahkan implementasi hak dan kewajiban tersebut dengan tidak mewajibkan negara untuk menyediakan sendiri layanan navigasi udara di wilayah mereka. Sebaliknya, pasal ini justru menekankan keharusan bagi negara untuk mengambil langkah-langkah yang tepat untuk memastikan kepatuhan dalam hal keselamatan dan efisiensi operasional, sebagaimana standar dan praktik yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).

Keberhasilan pelaksanaan ketentuan tersebut terdapat di seluruh wilayah dunia. Bentuk pendelegasian yang dapat diambil sebagai contoh, adalah FIR antara Amerika Serikat dan Kanada; pendelegasian wilayah udara Tonga dan Samoa kepada Selandia Baru; sebagian wilayah udara Skotlandia yang didelegasikan ke penyedia layanan navigasi udara Denmark; pengalihan tanggung jawab penyediaan ATS Spanyol yang didelegasikan kepada Portugal; dan masih banyak contoh lainnya.

Meskipun kedaulatan negara merupakan prinsip dasar dalam hukum internasional, namun gagasan tentang kedaulatan tetaplah dinamis dan terus berkembang seiring perkembangan lingkungan global. Pada era liberalisasi di bidang jasa penerbangan saat ini, yang benar-benar terjadi adalah evolusi peran kedaulatan nasional.

Sebagai kesimpulan, pendelegasian dalam sistem pengoperasian navigasi udara tidak bisa diartikan sebagai pendelegasian kedaulatan. Sebagaimana principle of fee consent, kedua negara menyepakati hak dan kewajiban dalam sebuah bentuk perjanjian internasional. Perjanjian yang dilakukan dalam rangka kerja sama pengoperasian navigasi penerbangan hanya bersifat pengelolaan.

Akhir kata, pengelolaan ruang udara nasional harus berkembang dengan semangat mengatasi permasalahan wilayah udara global yang semakin padat, seraya menjaga langit Indonesia yang lebih aman.

Agung Sulistyo
Agung Sulistyo
Analis Kebijakan dan Peneliti Hukum Internasional
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.