“Mereka yang pandai memanfaatkan teknologi dan informasi itulah yang akan jadi pemilik masa depan.” Kata-kata itu diucapkan oleh seorang siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia di Jambi.
Siswa sekolah di Sumatra itu beruntung mendapat pendidikan “literasi digital” yang membuat mereka tidak kalah dari rekannya di Jakarta yang sering dianggap sebagai barometer kualitas pendidikan di Indonesia.
“Literasi digital” pada dasarnya menerapkan perkembangan internet untuk pengembangan diri siswa, yang diterapkan sebagai program unggulan di Madrasah Insan Cendekia.
Literasi merupakan kemampuan baca, tulis, dan berhitung. Tak hanya melek aksara, literasi juga mencakup melek teknologi, berpikir kritis, dan peka terhadap situasi dan persoalan yang terjadi di masyarakat.
Informasi dan pengetahuan yang mengalir dan membanjiri kita, tidak serta membuat kita menjadi generasi yang literat. Timbunan informasi, menurut Tim Nichols dalam buku “The Death of Expertise”, sering menimbulkan masalah baru yaitu munculnya orang-orang yang serba tahu, merasa diri sudah ahli, dan tak mau mendalami, menguji, dan mengevaluasi pengetahuan secara kritis.
Problem literasi di Indonesia menurut beberapa penelitian yang dilakukan para akademisi yaitu kurangnya minat baca, penjiplakan, berita hoaks, hingga kesalahpahaman antarwarga terkait informasi yang mereka akses. Misalnya informasi yang keliru tentang Covid-19 dan vaksin.
Pembenahan dari kondisi di atas harus dilakukan lewat pendidikan formal di sekolah, sekolah memiliki anggaran, fasilitas, guru, dan siswa yang akan meningkatkan kemampuan literasi. Apa yang digadang-gadang oleh pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika lewat gerakan “makin cakap digital” masih berorientasi pada bagaimana publik menggunakan media sosial, videografi, dan digital marketing.
Dalam pidato Presiden Jokowi melalui peluncuran gerakan literasi digital nasional, ada beberapa program yang relevan dengan literasi digital yaitu pembangunan infrastruktur digital, ekonomi digital, dan pemerintahan digital. Sementara itu perlu ada kolaborasi Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk meningkatkan kemampuan literasi bagi siswa di sekolah.
Siswa di sekolah terutama tingkat SMA saat ini adalah generasi native digital. Keaktifan mereka dalam dunia cyber, menurut Hootsuite Digital Report, sangat tinggi: ada 73,7 persen masyarakat Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 8 jam 52 menit. Sebagian dari populasi ini adalah remaja yang masih duduk di bangku SMA.
Sebelum siswa menjelajah ruang virtual literasi digital yang kompleks seperti yang dikampanyekan oleh pemerintah, siswa harus diajarkan dulu bagaimana literasi informasi sebagai bekal untuk memahami literasi digital secara tepat dan proposional.
Kita bisa mengacu pada enam model literasi informasi yang dikembangkan oleh Michael B. Eisenberg dan Robert E. Berkowitz yang dikenal dengan The Big 6. Diantaranya sebagai berikut;
Pertama, perumusan masalah yaitu siswa bisa memetakan masalah dan mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan. Kedua, strategi pencarian informasi yaitu menentukan dan memilih sumber informasi yang akurat dan terbaik. Ketiga, lokasi dan sumber, yaitu mengalokasi sumber secara intelektual dan menemukan informasi dalam sumber tersebut. Keempat, pemanfaatan informasi mulai dari membaca, mendengar, dan berhitung, serta merumuskan intisari informasi yang dibaca. Kelima, sintesis yaitu mengorganisasikan informasi dari berbagai sumber, dan menggambarkan ulang informasi tersebut. Keenam, evaluasi yaitu melakukan evaluasi secara kritis terkait proses dan hasil aktivitas literasi.
Beberapa hal tadi mulai diperkenalkan di Madrasah Insan Cendekia Jambi. Siswa yang kami teliti menceritakan pengalaman mereka mulai dari kemampuan mengakses informasi dari berbagai sumber seperti link e-book, jurnal, dan media online.
Siswa juga mampu beradaptasi dengan perubahan literasi dari buku teks ke digital, metode dan media pembelajaran digital. Mereka punya semangat, kemandirian belajar, inisiatif dan rasa ingin tahu tentang materi yang diberikan oleh guru.
Beberapa siswa juga menceritakan kami memanfaatkan literasi digital sebagai sarana kompetisi akademik di kelas, olimpiade, dan persiapan untuk masuk ke perguruan tinggi ternama di Indonesia.
Program lain yang wajib diikuti siswa di MAN Insan Cendikia adalah menyusun karya ilmiah, karya tulis yang dihasilkan berbentuk mini riset. Karya ini mereka susun setelah mendapatkan materi bagaimana mengakses informasi, membaca, dan mengorganisasikan informasi untuk disusun menjadi argumen ilmiah.
Penerapan literasi digital di sekolah unggulan di Jambi itu salah satu contoh yang bisa kita tiru sebagai gambaran literasi digital di sekolah, kita perlu memperluas pengembangan tersebut tak hanya bagi sekolah unggulan, namun juga bisa merata ke semua sekolah, terutama sekolah yang ada di pelosok negeri. Digitalisasi literasi sekolah diharapkan mampu menjadi suluh untuk ketertinggalan literasi kita, di lain sisi tentu juga dapat meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri.