Sabtu, April 20, 2024

Mengejar Cinta yang Halal

redyantino susilo
redyantino susilo
Pemerhati Lini Masa Instagram

Saya percaya, setiap yang kita lakukan akan memiliki dampak bagi orang lain; langsung maupun tidak langsung. Apalagi, jika kita adalah seorang pesohor atau tokoh publik. Hal-hal yang kita lakukan bisa saja memengaruhi lebih banyak orang. Tak terkecuali dengan pernikahan.

September yang lalu, publik turut bersuka cita atas pernikahan Anandito Dwis dan Anisa Rahma. Tak terhitung berapa banyak teman-teman saya sendiri yang turut mengunggah ulang foto pernikahan pasangan tersebut, dilengkapi dengan ungkapan betapa bapernya mereka.

Bayangkan saja, pasangan yang mulanya sama-sama tergabung dalam sebuah proyek film pendek di kanal Youtube berjudul Singlelillah garapan Kang Abay, bersepakat melanjutkan hubungan mereka di dunia nyata. Kisah mereka berdua tak ubahnya Song Song Couple yang dipertemukan lewat Descendants of The Suns atau Brad Pitt dan Angelina Jolie di Mr. & Mrs. Smith.

Virus-virus baper yang ditebarkan pasangan Anandito dan Anisa tak hanya disebabkan oleh cinlok mereka. Tetapi juga bagaimana keduanya, yang dalam hitungan waktu singkat berani melangkah ke jenjang pernikahan. Sesuatu yang bahkan tak semua pasangan yang telah bertahun-tahun berpacaran sanggup melakukannya. Hal ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh pasangan selebgram Natta Reza dan Wardah Maulina yang menikah tahun 2017 yang lalu.

Kalau kita mau melihat jauh ke belakang, tren menikah tanpa pacaran ini sebenarnya sudah lama kita ketahui dari dongeng-dongeng Disney seperti Snow White dan Beauty and The Beast. Sosok pangeran di kedua dongeng tersebut langsung melamar sang pujaan hati, alih-alih mengajak pacaran.

Dongeng yang menjelma ke dalam dunia nyata memang indah sekali, bukan?

Baik pasangan Anandito dan Anisa, maupun Natta dan Wardah, kini sama-sama menjadi panutan dan inspirasi bagi kalangan milenial muslim yang mendambakan cinta halal berbingkai pernikahan tanpa pacaran.

Menikah Tanpa Pacaran

Menikah tanpa pacaran sepertinya telah jadi tren positif sekaligus impian kalangan muda-mudi muslim masa kini. Kampanyenya selaras dengan kampanye semangat berhijirah dan gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang digagas oleh La Ode Munafar.

Sayangnya, ada beberapa masalah dalam tren ini. Pertama, kampanye menikah tanpa pacaran ini secara implisit telah memberikan motivasi delusif; menenggelamkan dalam dongeng-dongeng indahnya cinta pascapernikahan. Ini dikarenakan beberapa narasinya yang cenderung kepada hal-hal positif yang didapat dari pernikahan, mengabaikan hal-hal pokok yang mestinya dipersiapkan juga dalam pernikahan seperti kesiapan mental dan finansial. Ironisnya, kampanye gerakan ini kebanyakan menyasar kepada generasi muda usia produktif di bawah 30-an yang kebanyakan merupakan pelajar atau mahasiswa yang belum memiliki penghasilan sama sekali.

Masalah selanjutnya, ialah tentang pemaknaan dari hijrah itu sendiri. Bahwa proses perbaikan diri menjadi pribadi yang lebih agamais haruslah menikah, dan menikah cukuplah dengan modal pemahaman agama saja.

Tentu publik masih mengingat kisah Taqy Malik dan Salmafina yang dulu sempat jadi panutan menikah muda di kalangan milenial. Sang lelaki yang merupakan penghapal Al-Qur’an dan dapat dipastikan memiliki pemahaman ilmu agama yang baik saja, pernikahannya berujung pada perceraian.

Ini memang tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur bahwa ilmu agama tidak cukup dalam menjalani bahtera rumah tangga. Tetapi bisalah kiranya dijadikan satu catatan kecil untuk pertimbangan lagi bahwa ilmu agama hendaknya tidak dijadikan satu-satunya modal dalam pernikahan.

Menikah menyempurnakan separuh agama,” seringkali dijadikan dalih bahwa menikah adalah bukti totalitas dalam berhijrah. Sebagai ibadah yang mestinya dijalankan dengan totalitas pula, pernikahan mestinya dipersiapkan jauh lebih matang ketimbang ibadah yang lain.

Baik memang, memfokuskan diri pada satu ibadah dan persiapannya. Namun mesti pula disadari bahwa ada banyak sekali urusan pokok dalam beragama yang mestinya dijadikan sorotan pula dalam berhijrah. Tidak melulu soal menikah. Tentu akan banyak sekali hal terlewatkan jika proses berhijrah hanya diisi dengan belajar fiqih munakahat (fiqih pernikahan).

Lihat saja betapa menjamurnya akun-akun hijrah yang kontennya didominasi tentang cinta dan pernikahan. Dengan ilustrasi grafis yang menawan, kata-kata indah yang kadang dilengkapi pula dalil terkait bahwa pernikahan adalah sebenar-benarnya bukti cinta. Bahwa pernikahan lebih baik daripada pacaran yang diharamkan oleh agama. Konten semacam ini jelas saja menimbulkan bias dari hijrah. Apakah hijrah ialah perubahan kehidupan ke arah yang lebih baik atau hanya sekadar pergantian status dari lajang ke menikah?

Ketika menikah jadi antitesis dari pacaran seperti yang selama ini digencarkan, seyogianya ia memberi penjelasan lebih rinci nan masuk akal. Tak hanya menjabarkan sisi negatif dari pacaran yang cenderung digeneralisasi, apalagi cuma dengan menyodorkan premis pacaran=haram, menikah=halal. Sebab pada kenyataannya, menikah adalah antitesis dari membujang atau tidak menikah. Sebagaimana lawan dari pacaran ialah jomlo, bukan menikah.

Pemahaman tentang makna pernikahan juga harusnya tak sekadar halalisasi seks. Ia adalah penyatuan dua insan sekaligus dua keluarga. Ibadah muamalah yang berkaitan dengan hablumminannas; hubungan antarmanusia. Hubungan antarmanusia seharusnya bisa lebih luas, toh? Pernikahan hendaknya pula dijadikan sebagai pondasi awal membangun masyarakat dan bangsa. Sebab sejatinya, membangun peradaban diawali dari bagaimana kita membangun keluarga sendiri.

Masalah lainnya, tentang penyempitan makna taaruf yang diartikan sebatas tahap perkenalan sepasang lelaki dan perempuan yang ingin melanjutkan ke pernikahan. Ketika disebutkan kata taaruf, yang terlintas hanyalah tentang prosesi perkenalan dengan bakal calon pasangan. Padahal, taaruf sendiri memiliki makna perkenalan yang sifatnya sangat luas dan ini memang dianjurkan dalam Islam.

Jika kita melihat pada acara Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), kata taaruf juga disandingkan dengan kata pawai sebagai agenda perkenalan kontingen yang akan bertanding (Pawai Taaruf). Belum pernah, kan, kegiatan pawai taaruf MTQ berlanjut dengan prosesi khitbah lalu pernikahan?

Akan sangat disayangkan jika  taaruf atau perkenalan hanya dilakukan untuk mengenal calon pasangan saja.

Yang Muda, Yang Berkarya

Sungguh baik sebenarnya ketika generasi muda hari ini disibukkan dengan kegiatan memperbaiki diri. Akan lebih baik, lagi jika niatan memperbaiki diri ini juga untuk tujuan lebih mulia seperti memperbaiki bangsa ini. Tak sebatas karena keinginan untuk kelak mendapatkan pasangan yang juga sibuk memperbaiki diri.

Semangat muda seharusnya lebih diarahkan pada kegiatan yang mampu membangun masyarakat dan bangsa. Bukan hanya fokus untuk mencari pasangan saja. Jadikan orientasi hidup tak cuma untuk mencari pasangan hidup. Memaksimalkan usia produktif dengan kegiatan yang bermanfaat, baik bagi diri pribadi, maupun untuk orang banyak.

Apakah salah menjadikan pernikahan sebagai impian? Tentu saja tidak. Sangat bagus malahan jika memiliki keinginan menikah, terlebih menikah di usia muda (bukan usia dini). Saat menikah dijadikan impian hidup, semoga ia tak jadi satu-satunya impian yang kita miliki.

redyantino susilo
redyantino susilo
Pemerhati Lini Masa Instagram
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.