Sudah 63 tahun berlalu, sebuah konferensi besar melibatkan negara-negara di dua benua, Asia dan Afrika. Terekam dalam sejarah, 29 negara hadir di kota kembang, untuk membahas perdamaian dunia dan kerja sama Internasional. Hari bersejarah yang berlangsung 18 April 1955, mengukuhkan Indonesia sebagai negara yang berpengaruh dalam memperjuangkan perdamaian dunia.
Konferensi Asia Afrika atau yang disingkat KAA, digelar pada saat yang genting. Di mana masih banyak negara yang menjerit karena peperangan, membutuhkan dorongan semangat dan tambahan kekuatan moral bagi pejuang bangsa-bangsa di Asia Afrika. Dari penyelenggaraan konferensi tersebut, lahirlah Dasasila Bandung, suatu pernyataan politik yang tercantum prinsip-prinsip dalam menjaga perdamaian dunia.
Melalui sepuluh poin yang disepakati negara Asia-Afrika, mereka yang hadir membulatkan suara. Bahwa kedamaian adalah hak semua bangsa, dan hak bagi semua manusia di seluruh muka bumi.
Demi mengingat momen bersejarah puluhan tahun lamanya, di tahun 2015, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi meresmikan hari Solidaritas Asia-Afrika. Pemerintah memutuskan tanggal 24 April diperingati guna mengukuhkan kota Bandung sebagai ibukota Asia-Afrika.
Namun bagi saya, sejatinya hari solidaritas Asia-Afrika lebih dari sekedar pengukuhan kota Bandung. Melainkan pengingat bahwa kita sebagai bangsa pertama yang merdeka setelah perang dunia kedua, pernah berkomitmen menjaga perdamaian dunia. Itu artinya, kita siap membela perdamaian yang saat ini dirampas dari pelukan masyarakat Afrika.
Lihat bagaimana Benua Hitam tersebut begitu nelangsa dirundung duka. Tidak terhitung lagi jumlah penduduk yang harus meregang nyawa karena kelaparan dan gizi buruk. Bahkan beberapa tahun lalu, jagad dunia maya dihebohkan dengan sebuah foto yang diabadikan Kevin Carter. Foto yang diambil tahun 1994 itu memperlihatkan seorang anak yang tubuhnya sangat kurus, mati karena kelaparan. Yang membuat hati lebih merana, disamping jasadnya terlihat seekor burung gagak bersiap menerkam memakan tubuh sang anak.
Belum kering air mata menangis melihat kelaparan di Afrika. Mereka juga harus mengangkat senjata melawan bangsanya sendiri. Banyak dari mereka yang harus berkalang tanah ketika tank membombardir pusat kota, ketika rudal pesawat menghujam bumi. Bahkan ketika saudara menodongkan senjata tepat di kepala. Republik Afrika Tengah, Somalia, Republik Demokratik Kongo, dan Libiya adalah contoh kecil dari hancurnya sebuah negara karena peperangan melawan bangsanya sendiri. Sebuah cerminan bahwa perdamaian dunia belum sepenuhnya ada.
Sejujurnya, Indonesia memiliki hutang besar kepada Afrika. Disaat Belanda tak hilang akal mempengaruhi dunia, membolak-balikan fakta. Mesir hadir sebagai negara pertama yang mengakui secara penuh, negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tepatnya tanggal 22 Maret 1946, Kairo memandang Indonesia sebagai saudara karena mayoritas warganya adalah muslim.
Pengakuan Mesir terhadap Indonesia diperkuat dengan ditandatanganinya Perjanjian Persahabatan antara Indonesia dengan Mesir di Kairo. Menjelang ditandatanganinya Perjanjian tersebut Duta Besar Belanda melakukan protes sebelum ditandatanganinya perjanjian tersebut. Menanggapi protes tersebut PM Mesir tidak bergeming dan tetap konsisten mengakui Indonesia.
Sebetulnya hubungan mesra Indonesia sudah lama terjalin, bahkan saat Indonesia masih disebut Nusantara. Sejak berabad-abad yang lalu, sekitar abad ke-7 sampai abad ke-13, saat pelaut asal Indonesia mencapai beberapa negara di Benua Afrika seperti Zanzibar, dan Madagaskar. Lewat para pelaut, hubungan disegala bidang terbentuk, meliputi perdagangan dan pertukaran budaya.
Bahkan di Afrika Selatan, seorang pribumi menancapkan namanya sebagai salah satu pahlawan. Dia adalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati atau biasa dikenal dengan sebutan Syekh Yusuf Almaqassari Al-Bantani lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 3 Juli 1626. Lewat beliau, Afrika Selatan mengenal Islam, dan saat ini sisa peninggalannya dapat kita saksikan dengan berkunjung ke kampung Makkasar di pust kota Cape Town.
Melihat hangatnya sejarah hubungan Indonesia dan Afrika, kita seharusnya lebih sadar. Sadar bahwa mereka yang disana, walaupun berjarak puluhan jam perjalanan udara adalah saudara kita, yang patut dibela, dan dibantu. Kesengsaraan yang sat ini kita hadapi, tidak sebanding dengan luka yang dirasakan masyarakat Afrika. Peringatan hari solidaritas Asia-Afrika menjadi momentum yang kuat untuk mengawal janji, yang telah disepakati 63 tahun yang lalu. Janji untuk memperjuangkan kehidupan yang damai bagai seluruh umat manusia.
Kita sebagai bangsa yang besar, justru disibukkan dengan “adu domba”. Adu domba antar agama, adu domba antar etnis bahkan adu domba atar penguasa. Kita lupa, bahwa ribuan kilometer jauhnya dari Nusantara.
Jutaan orang menangis meraung memohon iba, menggantungkan asa dari pertolongan bangsa seperti kita. Namun apa mau dikata, nyatanya panggung politik lebih asik daripada ikut berduka oleh hilangnya rasa iba. Pikiran kita terpaku oleh berita penistaan agama, tanpa peduli bahwa ada sebuah benua yang dinistakan kehidupannya.