Hal paling sulit dari bangsa yang hidup dalam negara ‘predatoris’ adalah mengakui dan melindungi sumber kehidupan (hak ulayat) masyarakat adat. Rasionalitas mendominasi pemikiran pemerintah, akhirnya ekspansi pembangunan tak terkendali.
Itu kenapa perampasan hak ulayat kerap terjadi. Sebab perilaku predatoris itu akan terus terjadi jika pemerintah hanya melulu mengutamakan pembangunan.
Tulisan ini tidak sedang bermaksud menolak pembangunan, pun satu sisi saya anggap dalam negara modern tak bisa lepas dari pembangunan – jika kemudian negara ini mengklaim dirinya sebagai negara modern. Namun perlu kiranya pemerintah menjaga keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan hak ulayat yang sudah ada, bahkan sebelum negara ini hadir.
Maka dari itu, perkenankan ulasan ini menjawab pertanyaan yang melulu dilontarkan soal mengapa perlu mengakui hak masyarakat adat? Apa masyarakat adat butuh di akui??
Ragam pertanyaan di atas perlu di jawab, sebab jika tidak, akan menyebabkan kesalahan berfikir yang terus menerus berulang menjadi sejarah, sehingga akhirnya melahirkan generasi-generasi predator sumber daya.
***
Masyarakat Adat Dalam Pusaran Negara
Rasanya pembaca bisa merefleksikan bahwa negara hanya hadir mengatur dan mengontrol sumberdaya strategis. Legislator pun cenderung gagal memahami mana hak negara dan mana hak ulayat. Soal hak ulayat pun akhirnya harus tunduk dihadapan negara.
Sengketa perihal konflik perampasan terus terdengar, mengacu dengan rilis data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sekitar 450 konflik terjadi sepanjang tahun 2016. Mayoritas muncul dari sektor perkebunan sebanyak 163 konflik, properti 117 konflik, kehutanan 25 konflik dan pertambangan sekitar 21 konflik yang bersentuhan dengan hak ulayat masyarakat adat.
Potret perampasan itu salah satunya terlihat di Mentawai. Mereka hanya menguasai 15 persen tanah adat mereka sendiri, sekitar 85 persen dikuasai oleh perkebunan sawit. Pemerintah menyerahkan hampir seluruh kawasan hutan di wilayah Mentawai kepada badan hukum usaha dalam bentuk koperasi (IPK), PT HPH, dan perkebunan sejak tahun 1969, wilayah ini kemudian di eksploitasi sumber daya alamnya selama 40 tahun.
Penguasaan atas tanah dan hutan kian menyebabkan masyarakat adat di Mentawai terpisah dari uma dan tanahnya.
Di tengah keterbatasan dan tekanan, membuat mereka melawan guna merebut hak mereka yang dirampas. Tak pelak perlawanan merebut hak mereka sendiri berujung pada kriminalisasi bahkan kekerasan. Mereka terpaksa mengikuti proses hukum di pengadilan negara dan tidak jarang mereka akhirnya harus mendekam di penjara.
Masyarakat adat dikalahkan berkali-kali oleh sistem ekonomi yang mengutamakan keuntungan bagi pemilik modal. Mereka juga dikalahkan oleh sistem hukum yang tidak menghargai tradisi dan hukum adat mereka.
Sungguh ironi, sebab ekonomi dan hukum yang seharusnya menjadi sarana untuk mencapai keadilan dengan memperlakukan semua orang sama, malah melanggengkan ketidakadilan terjadi.
Sistematis penyingkiran masyarakat adat dibuktikan melalui Inkuiri Nasional yang dilaksanakan oleh Komnas HAM pada tahun 2014 yang lalu. Dari berbagai kesaksian masyarakat adat yang diperdengarkan dalam inkuiri yang diselenggarakan di 7 region dan 1 kali di tingkat nasional itu menunjukkan bahwa melalui kebijakan, negara telah melakukan pengambil-alihan wilayah-wilayah adat untuk kemudian diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta melalui mekanisme izin konsesi.
Bahkan dalam proses Inkuiri tersebut ditemukan fakta bahwa ada juga perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah adat tetapi tidak mendapatkan izin, dan ada pula yang izinnya telah lampau waktu.
Kesaksian masyarakat adat pada Inkuiri Nasional itu menunjukkan watak predatoris negara. Haus sumber daya demi melunasi hasrat ekonomi. Wajar prahara keterasingan dan penindasan melulu di derita oleh mereka, sebab negara tak pernah menghargai keberadaan hak asal-usul masyarakat adat.
***
Kenapa Harus Mengakuan dan Melindungi Masyarakat Adat
Integrasi teritorial masyarakat adat ke dalam Indonesia sebagai persyaratan pembentukan negara di tempuh melalui proses negosiasi, mereka merelakan wilayahnya menjadi bagian dari Indonesia saat itu. Negara ini berhutang budi dengan masyarakat adat.
Alih-alih saat ini mereka dihadapkan oleh perampasan, kekerasan bahkan pelanggaran hak asasi manusia. Kehadiran negara, justru memberikan beban kepada kehidupan masyarakat adat.
Mereka bisa saja tidak mengakui negara, jika negara bersikap acuh dengan hak mereka. Sebab masyarakat adat secara historis sudah terbiasa hidup tanpa negara. Mereka punya sistem pemerintahan sendiri, pun mereka juga punya sumber daya komunal untuk menghidupi komunitas mereka.
Bahkan seharusnya komunitas masyarakat adat diposisikan sebagai kelompok masyarakat yang bersifat otonom terhadap negara. Sebab apa yang berkembang secara historis dalam hukum adat mereka, tidak ada hubungannya dengan negara.
Betapapun, suka atau tidak suka, logika perlindungan hak asal-usul harus dimulai dengan pengakuan terhadap eksistensi masyarakat adat.
Tak perlu susah, sebab sebenarnya hal itu sudah tersampaikan gamblang pada UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) dan pasal 28 I ayat (3) yang memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Namun yang menjadi masalah, peraturan dibawahnya justru mengeliminasi ketentuan undang-undang dasar khususnya soal pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.
Namun, alih-alih mengakui dan melindungi hak masyarakat adat, kebanyakan undang-undang tersebut malah ‘merampas’ hak masyarakat adat atas sumber-sumber kehidupan serta membatasi hak mereka. Sebab undang-undang yang saat ini belum sepenuhnya berpihak kepada masyarakat adat.
Nomenklatur yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat adat menjadi mandul akibat ketidakseriusan pemerintah mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.
Dampak dari kemandulan nomenklatur, hari ini sebanyak 133 komunitas masyarakat adat terancam tidak diakui oleh negara. Sebab administratif, membuat mereka menghadapi prahara ketidakjelasan.
Jika kemudian ini dibiarkan, maka boleh jadi hak-hak mereka juga secara otomatis tidak diakui dan dengan gampang di klaim oleh oknum-oknum predatoris. Itulah sebab akhirnya konflik perampasan dan perlawanan terjadi di mana-mana.