Dalam pasal 156a KUHP disebutkan bahwa “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan kepada suatu agama yang dianut di Indonesia, b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Poin pertama pasal di atas jelas bahwa seseorang tak boleh melakukan penghinaan atau penodaan terhadap agama dan keyakinan tertentu yang dapat menimbulkan kemarahan dan kegaduhan secara luas di masyarakat. Munculnya pasal ini untuk memastikan agar setiap penganut agama tertentu dapat mengekspresikan keyakinannya dengan penuh hikmat tanpa ada gangguan dari penganut agama lainnya.
Mari kita perhatikan poin kedua pasal ini, yakni adanya larangan untuk mengeluarkan perasaan dan melakukan perbuatan yang bermaksud agar seseorang tidak menganut agama apapun, sesuai dengan sikap berketuhanan pada sila pertama. Pasal ini mengindikasikan bahwa setiap warga negara tak boleh menyebarluaskan secara sengaja paham-paham yang masuk kategori ateisme.
Jika agnostisisme merupakan paham yang menarik diri pada hal-hal yang serba tahu akan eksistensi Tuhan dan mencoba skeptis terhadapnya, maka ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya eksistensi Tuhan. Di Indonesia, paham ateisme umumnya disematkan pada mereka yang menganut ideologi komunis, meski dua paham ini sebenarnya tidak identik satu sama lain.
Paham agnostis mempertahankan suatu pendirian bahwa manusia memiliki keterbatasan pengetahuan atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi. Ateisme lebih ekstrem daripada itu, yakni dengan menegasikan sama sekali terhadap eksistensi dan kebenaran tertinggi yang disebut Tuhan.
Butir-butir Pancasila pada dasarnya tidak selalu mencerminkan sikap warga negara secara langsung, terbukti tidak semua agama yang disahkan oleh Undang-undang menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi sebagai ideologi pemersatu, Pancasila dimaksudkan untuk menghimpun dan mempersatukan segala jenis perbedaan dan bahkan pertentangan dalam masyarakat.
Sebagai ideologi, Pancasila tidak akan pernah menjadi suatu ketetapan yang baku sampai ada Undang-undang yang mengatur secara jelas dan tegas tentang implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Undang-undang pada prinsipnya adalah kepanjangan dan tafsir implementatif dari ideologi pemersatu.
Kembali ke soal awal, benarkah Pancasila membolehkan ateisme? Pertanyaan ini terasa sulit dan menjadi kontroversial ketika dihadapkan pada butir pertama Pancasila dan sebuah penafsiran dari Notonagoro bahwa Pancasila itu bersifat hierarkis, yakni urutan bertingkat-tingkat di mana setiap butir memberi nafas dan mengiringi butir-butir lainnya, sehingga Pancasila dipahami secara tunggal dan tak terpisah-pisah, maka ateisme adalah ketidakmungkinan.
Secara tidak langsung, bentuk normatif dari pasal 156a justru menyatakan sebaliknya, bahwa setiap individu bebas menganut agama dan keyakinan tertentu bahkan ia bebas untuk tidak menganut agama apapun selama ia tidak menganggu umat lain berupa menyebarkan paham yang tidak meyakini agama apapun seperti ateisme.
Mahfud MD pernah mengatakan bahwa tidak ada satu pasal pun yang melarang seseorang menganut paham ateis, bahkan ia menambahkan bahwa orang yang mengaku sebagai ateis dan komunis tidak pernah bisa dipidanakan. Itu artinya seseorang bebas untuk bertuhan sekaligus tidak bertuhan selama ia tak menganggu kebebasan orang lain dalam beragama.
Jika kita menarik diri pada penasfiran Pancasila yang bersifat hirarkis, maka kebolehan ateisme itu-di samping belum ada Undang-undang yang mengaturnya-bisa dilihat secara jelas melalui butir sila kedua dan keempat. Esensi dari sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah sikap humanisme yang tinggi.
Humanisme adalah paham yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik berdasarkan asas kemanusiawian. Kendati humanisme bukanlah aliran yang disepakati dalam arti yang sangat luas-sebagaimana dalam aliran filsafat-tetapi sikap humanis menjadi ciri khas manusia Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemakmuran dan kebersamaan atas nama kemanusiaan.
Sikap humanis mengandaikan bahwa manusia dapat secara independen melakukan apapun dan memperjuangkan setiap cita-cita tanpa pada saat yang sama ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Dalam hidup berbangsa dan bernegara, sikap humanis inilah yang menjadi tolak ukur untuk sampai pada harapan-harapan di masa depan. Sehingga watak humanisme bisa dikembangkan secara alami tanpa seseorang harus memiliki keyakinan terhadap Tuhan.
Sampai di sini, kita sudah dapat meraba-raba betapa dibolehkannya ateisme tidak melalu berasal dari ketiadaannya Undang-undang secara jelas, tetapi bahkan butir Pancasila menegaskan soal itu. Tentu banyak perselisihan tentang ini, tetapi kita harus tahu bahwa Pancasila selalu multi-tafsir dan ada banyak cara memahaminya selama tidak ada ketetapan pasti Undang-undang yang mengaturnya.
Butir keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawartan/Perwakilan adalah bentuk lain dari demokrasi. Jika humanisme adalah keyakinan di mana manusia dapat mencapai cita-citanya secara independen, maka demokrasi adalah mekanisme di mana manusia dapat sampai pada cita-cita itu.
Demokrasi merupakan gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Dalam sistem pemerintahan, demokrasi mengandaikan bahwa seluruh rakyat dapat berpartisipasi dan ikut serta dalam berjalannya roda pemerintahan, maka demokrasi adalah dari rakyat dan untuk rakyat. Tuhan lalu tak mendapat tempat pada sistem ini.
Pemberlakuan sistem demokrasi dalam suatu pemerintahan sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya, keadaan di mana rakyat sebagai tolak ukur dalam menetapkan setiap kebijakan menjadikan hukum agama tak berlaku menentukan kebijakan praktis, meski fungsinya masih eksis dalam hukum keperdataan.
Sekali lagi, sistem demokrasi memudahkan seseorang untuk bertuhan dan tidak sama sekali. Sebab kedaulatan ada di tangan rakyat dan bukan Tuhan. Sehingga siapapun bebas untuk memilih keyakinan mana yang menurutnya cocok dan sesuai dengan sesuatu yang telah disepakati secara bersama seperti demokrasi.
Dalam banyak bentuknya, ideologi dan sistem yang diberlakukan di negeri ini sangat membolehkan seseorang untuk menjadi ateis. Bahkan itu menjadi pilihan bebas sebagai hak yang dilindungi oleh Undang-undang. Tidaklah mungkin di atas sendi demokrasi keyakinan seseorang diintervensi oleh kelompok dan keyakinan tertentu.
Jika kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain, maka ateisme tidaklah menganggu kebebasan orang lain sebab ia bukan ancaman sebagaimana ajaran yang dianggap sesat dan memiliki misi untuk mempengaruhi orang lain. Ateisme memiliki kekuatan argumentatif untuk mempertahankan kebenarannya yang sama sekali tidak berangkat dari normativitas dan doktrinasi agama, sehingga ia bukanlah semacam keyakinan yang berbahaya.