Saya sebagai orang Madura awalnya juga kaget, mengapa agamanya orang Madura kok disebut NU. Padahal tidak ada agama NU yang ada agama Islam, Kristen, Budhha, Katolik, Hindu dan Konghucu.
Lantas kenapa orang-orang menganggap agamanya orang Madura itu NU? Tidak lebih itu hanya sekadar guyonan atau candaan anekdot lucu atas kagumnya tradisi amaliah NU yang begitu kental dan menjamur di Madura. Sehingga sampai ada yang mengatakan NU dengan ayam-ayamnya.
NU di Madura sudah seperti mendarah daging dalam tubuh orang Madura. Bahkan pergerakan NU saat ini begitu masif dan masuk pada pelosok desa. Seperti pelatihan Banser NU yang laksanakan di tiap kecamatan dengan mengkader anak muda milenial. Ansor yang belakangan ini juga pergerakannya nampak di tengah-tengah masyarakat. Belum lagi pengajian dan ceramah rutin bulanan kiai pesantren yang ikhlas mendatangi rumah warga secara bergiliran.
Tidak perlu menakut-nakuti apalagi mencoba membid’ah-bid’ahkan amalan-amalan dan tradisi keislaman orang Madura yang masih setia dan terus mendekat kepada ulama kharismatik sebagai pijakan utama dalam segala tindakannya.
Salah satu contoh yang sangat mencolok adalah kehati-hatiannya dalam memulai bercocok tanam yang dengan terlebih dahulu sowan ke kiai demi keberkahan hasil taninya, memulai berdagang demi kelancaran dagangannya dan lain-lain. Hebatnya, orang Madura merasa sungkan dan bersalah jika membeli motor atau apapun tapi tidak diselamati dulu sebelum dipakai karena itu akan mengurangi keberkahan.
Bukan hanya itu, hal-hal yang menjadi keraguan dan dilema dalam menjalani hidup tidak segan-segan mereka meminta petuah kepada kiai NU, bukan kepada mbah Google. Sebab mereka tidak yakin ada mbah google yang NU yang ada hanya mbah kiai yang NU. Orang Madura sangat tidak mungkin menuhankan Mbah Google yang belakangan ini kerap dijadikan senjata dan tuhan kedua oleh kelompok mabuk agama.
Ketaatan seseorang kepada kiai tidak mungkin membuat sesuatu yang bisa memancing keributan. Justru akan banyak mendedikasikan hidupnya untuk memberikan manfaat dan kebaikan. Itulah ajaran NU.
Ada kiai kampung yang terus menjaga marwah ahlussunah wal jamaah, kiai yang jauh dari gemerlap media, kiai yang ikhlas tanpa embel-embel bayaran dan gaji bulanan. Kiai yang lebih memilih terkenal di langit daripada di bumi.
Tahlil, shalawatan menjadi rutinitas yang terus dipelopori oleh kiai dan ibu nyai dan muslimat kampung di Madura. Hampir tiap malam rutinitas amaliah NU terus menggema di sudut-sudut perkampungan warga Madura. Mulai dari yasinan, perkumpulan kelompok tani yang diwadahi oleh NU. Maka teror untuk meruntuhkan dan menyerang amaliah NU tak akan pernah berhasil.
Tradisi keilmuan di pesantren Madura tidak hanya berkutat di pesantren saja, adanya Bahtsul Masail yang terus digelar di pelosok-pelosok dan masjid-masjid tiap daerah mampu membuat amunisi baru dalam memperkokoh Amaliah NU. Dan luar biasanya, para kiai sepuh, kiai muda, para santri dan kaum muda tidak segan-segan menghadirinya dan sangat antusias.
Di tengah menggelagaknya politik yang kian memanas, saling adu domba, caci maki, saling tuduh menuduh dan saling menyesatkan, bahkan sasarannya tak jarang juga mengarah kepada NU.
Justru, kiai kampung di Madura lebih memilih diam dan tak mau mengambil sikap karena yakin doa pendiri NU dan para pengurus saat ini sudah sangat dipercaya karena tak mungkin Allah memilih pengurus yang tak mampu mengemban kepengurusannya, apalagi sekelas ormas NU yang jelas memiliki tujuan mulia demi kemaslahatan agama dan negara.