Kamis, April 25, 2024

Mengapa Koperasi Nelayan Sulit ‘Move On’?

denun
denun
Blogger, pekerja LSM

Datanglah ke pesisir Jawa Barat, ke kompleks Pangkalan Pendaratan Ikan di Karawang, Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, Cirebon, Indramayu hingga Pangandaran. Hampir semua lokasi tersebut terpasangi iklan rokok ‘Coklat Kita’. Di dalamnya ada informasi nama koperasi, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), logo kabupaten dan nama produk rokok.

Di dalamnya ada informasi nama koperasi, Tempat Pelelangan Ikan (TPI), logo kabupaten dan nama produk rokok. Perusahaan rokok telah teramat baik berbakti mempromosikan koperasi dan TPI. Sayangnya, lebih banyak koperasi nelayan yang sekarat, mati segan hidup tak mau.

Semangat pengurus dan anggota tak sekencang perusahaan rokok itu. Di Garut, poros pesisir Tasikmalaya, Pangandaran, kita akan lihat papan itu terlihat mentereng di sisi jalan tetapi di sebelahnya, poster struktur dan daftar pengurus limbung, dokumen berserakan di kantor, tiada denyut, kecuali semilir angin Pantai Selatan yang bikin gigil.

“Koperasi tak aktif setelah rencana pembangunan dermaga tambat labuh batal,” kilah anggotanya.

Tak seragam

Situasi memiriskan tersebut juga terjadi di beberapa koperasi di Cirebon, Sukabumi bahkan Pangandaran. Sebagian besar pengurus mengeluhkan kepatuhan anggota dalam mengembalikan pinjaman dari koperasi, mengeluhkan lemahnya modal serta belum memperoleh bantuan Pemerintah karena tak bisa lolos seleksi yang menurut mereka superketat.

Di Garut, di kawasan Rancabuaya, meski jumlah kapal nelayan mencapai 100-an unit dan pasar ikan tak pernah sepi tapi pintu koperasi tak lagi terbuka untuk waktu yang lama. Menurut pengurusnya, persoalannya adalah sulitnya menumbuhkan minat berkoperasi (lagi).

Pinjaman anggota mandek hingga uluran bantuan kapal dari Pemerintah pun tak lagi membuat mereka berminat menerimanya.Tapi ada juga yang bisa keluar dari belitan persoalan.

Di Pangandaran, beberapa koperasi nelayan yang pernah dirundung susah bisa keluar dari selimut persoalan. Sebutlah KUD Minasari. Mereka berhasil mengelola toko nelayan, berbisnis produk olahan laut, menyewakan excavator dan meraup fee dari pengelolaan TPI.

“Asetnya miliaran,” kata Bupati Pangandaran saat ditemui penulis, di suasana Ramadhan bulan Juni lalu. Tetangganya, KUD Minapari juga berhasil mengepakkan sayap usaha melalui toko nelayan, ada produk olahan laut, penyewaan excavator dan pengelolaan Pangkalan Pendaratan Ikan.

Dengan itu mereka bisa memperoleh uang cash dari penyewan mobil angkut berpendingin serta excavator bantuan Pemerintah. Di Karangsong, Indramayu, performa koperasinya mentereng. Ada Koperasi bernama Mina Sumitra yang mengelola TPI, melaksanakan unit usaha Simpan Pinjam Anggota dan Toko Barang Alat Penangkapan (BAP). Menyewakan trais, mengelola Mina mart, melayani penyediaan es, BBM.

Di Eretan, Kandanghaur, ada KUD Misaya Mina yang berhasil bertahan dengan toko serba ada, Pengelolaan TPI dan mengadopsi alat tangkap ikan purse seine.  Sementara di Karawang, Kopel Samudra Mulya, di Karawang, koperasi ini melesat di usaha toko nelayan, simpan pinjam dan pengelolaan TPI.

Mengapa berhasil? 

Keberhasilan Koperasi di Karangsong, Pangandaran hingga Karawang karena mereka berhasil terhubung dengan Pemerintah dan investor.

Minasari yang kita kenal saat ini pernah kolaps sebelum diinjeksi modal oleh tokoh masyarakat setempat di tahun 2010-an lalu berturut-turut dibantu Pemerintah Daerah dan Pusat. Mereka mendapat sokongan dana dan atensi penguatan kapasitas, hal yang tak bisa diakses koperasi nelayan lainnya.

Koperasi di Karangsong yang mengelola dana miliaran merupakan buah sentuhan anggota DPR-RI aktif. Minasari di Pangandaran karena tangan dingin, Bupati Pangandaran saat ini. Di Karawang, Koperasi Mulya Samudera merupakan wahana kelola anggota DPRD setempat.

Sesuai data Kementerian Koperasi dan UMKM, 2016, pada sepuluh tahun sebelumnya, jumlah koperasi nasional tahun 2005 sebanyak 134.963, yang aktif 94.818, tidak aktif 40.145 dengan jumlah anggota terdaftar 27.286.784.

Menurunnya jumlah atau banyaknya koperasi tidak aktif atau tidak bisa ‘move on’ dapat dikaitkan dengan beberapa temuan penulis di sepanjang pesisir Jawa Barat. Lebih banyak yang tidak aktif atau merana dalam penantian bantuan selain yang disebutkan berhasil di atas.

Penyebabnya, di antaranya, adanya kompetisi yang hebat dengan bank, serbuan praktik leasing, pegadaian, atau lembaga keuangan lainnya yang semakin jauh ke pesisir. Hal tersebut membuat koperasi yang ada kesulitan mengakses modal anggota dan memenuhi ekspektasi mereka mengelola sumber daya yang ada.

Kedua, tidak membuminya semangat berkoperasi karena rapuhnya fondasi inisiatif. Warga berkoperasi karena iming bantuan Pemerintah semisal kapal ikan atau demi bantuan sarana prasarana produksi budidaya di tambak, baik melalui peran orang-orang tertentu, politisi dan birokrat kunci.

Prestasi koperasi nelayan seperti Pangandaran, Karangsong Indramayu hingga Karawang yang banyak ditopang eksekutif dan legislatif di Pemerintahan bisa dipantau eksistensinya saat tak lagi berkuasa. Meski ini merupakan model ideal dalam pengalokasian sumber daya. Pemerintah, koperasi dan ‘fasilitator’ bisa memediasi proses kolaboratif.

Alasan ketiga adalah berkaitan kapasitas pengurus yang tak mampu mengelola kompleksitas anggota. Dengan kata lain, pengelola sulit beradaptasi atas perubahan eksternalnya karena keterbatasan kapasitas. Penyuluh koperasi atau usaha perikanan yang ada tak mampu memberi layanan maksimum karena keterbatasan sumber daya.

Di salah satu koperasi, seorang pengurus mengaku tak bisa menolak permintaan anggota koperasi untuk dia menjadi ketua meski dia sendiri mengaku kelabakan menjadi ‘manajer usaha’ dengan spesifikasi kompetensi tingkat tinggi yang diminta Pemerintah. Mereka menyepakati pernyataan visi tetapi tak sadar kalau mereka tak punya kapasitas merealisasikannya.

Sebagian besar pengurus menyatakan bahwa mereka sangat berharap adanya bantuan dari Pemerintah untuk menambah modal dan adanya sarana parasarana produksi.

Dari 20 koperasi yang penulis kunjungi, ada 15 yang terlihat kesulitan ‘move on’. Padahal, koperasi-koperasi ini harusnya jadi tumpuan di tengah dominasi pemilik modal, gurita korporasi dan birokrasi yang membatasi kreasi.

Nelayan-nelayan skala kecil di pesisir Sukabumi, Tasikmalaya hingga Pangandaran tidak bisa bersaing atau disandingkan nelayan-nelayan besar di Pantai Utara yang telah punya armada melebihi 100 groston, yang bisa merambah laut paling jauh hingga ke timur. Di Pantai Selatan Jawa, mereka hanya punya maksimum rerata 5 groston untuk jarak tempuh 10 mil.

Diperlukan langkah-langkah strategis demi menguatkan organisasi berbasis ekonomi ini, bukan semata dari atas, top down tetapi dari kiri, kanan, dari bawah. Jika ingin koperasi maju (di tengah booming Bumdes) maka warga harus menangkap urgensi berkoperasi, jawaban atas masa depan mereka yang mulai samar karena krisis multidimensi.

Hal tersebut tentu saja membutuhkan fasilitasi pihak ketiga, hal yang tak bisa disandarkan ke Pemerintah yang sudah sangat teknokratik, top down dan sarat kepentingan proyek jangka pendek ini.

Siapa kompeten?

denun
denun
Blogger, pekerja LSM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.