Kamis, April 18, 2024

Mengapa Banyak Orang Tidak Suka dengan Filsafat?

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Sebelum berangkat ke Mesir saya pernah ditawari oleh salah seorang ustad di pondok untuk sekolah filsafat di salah satu kampus ternama di Jakarta dengan beasiswa dan tanpa biaya. Namun, ketika itu, saya putuskan untuk menolak.

Bukan saja karena saya tidak tertarik, tetapi juga karena bayangan saya tentang ilmu filsafat itu sedemikian suram dan penuh dengan ketakutan; takut sesat, murtad, kafir, sudah begitu yang dipelajari juga tidak jelas.

Karena itu dulu tak pernah terbetik sedikit pun dalam benak saya untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu ini. Pergi ke Mesirpun niatan saya ingin mempelajari ilmu tafsir, karena ketika itu saya sering membaca buku-buku pak Quraish Shihab, dan saya cukup dibuat kagum oleh tulisan-tulisan beliau.

Tapi, setelah menginjakkan kaki di Mesir, pandangan saya berubah total ketika melihat rekam jejak Syekh Ahmad Thayyib, Grand Syekh al-Azhar, yang ternyata juga pernah sekolah di jurusan filsafat. Bahkan beliau pernah mengenyam pendidikan di Barat. Tapi orangnya tetap terlihat saleh, santun, rendah hati, ditambah dengan kapasitas keilmuan yang cukup mengagumkan.

Secara intelektual terlihat gagah, tapi secara spiritual juga mampu menjadi teladan. Itulah kesan yang saya tangkap dari kepribadian beliau. Buku-buku filsafat yang beliau tulispun ketika itu perlahan-lahan mulai saya baca. Dan pada akhirnya, pandangan saya tentang filsafat berubah total. Berarti, pikir saya waktu itu, yang salah itu bukan filsafatnya, melainkan orangnya.

Sampai sekarang saya kira masih banyak orang-orang yang memiliki pandangan negatif tentang ilmu filsafat. Mengapa bisa begitu? Berikut pengamatan saya sekaligus beberapa jawaban yang mudah-mudahan bisa merubah pandangan negatif Anda tentang ilmu yang pernah menjadi saksi bisu di balik kemajuan peradaban Islam itu.

Pertama, filsafat itu adalah ilmu yang rumit dan sulit. Buktinya orang-orang yang bergelut dengan filsafat kerap mengutarakan kata-kata dan teori yang sulit dimengerti oleh banyak orang. Mereka kerap mengigau dengan “bahasa-bahasa setan”. Ini keluhan pertama. Kenyataan pertama ini memang sulit untuk kita tolak. Memang kenyataannya seperti itu.

Tapi, kalau boleh jujur, yang kerap membuat sulit itu sebenarnya bukan gagasan filsafatnya, melainkan cara penyampaian orangnya. Filsuf itu sudah terbiasa dengan hal-hal yang rumit. Konsekuensinya, hal-hal yang mudahpun suka mereka sampaikan dengan bahasa-bahasa yang sulit. Padahal filsafatnya itu sendiri seringkali berupa persoalan-persoalan mudah.

Tapi, sayangnya, kemudahan itu kerap diperumit oleh orang-orang yang gemar memperumit kemudahan, atau orang-orang yang memang tidak mampu memermudah hal-hal yang bersifat rumit. Kalaupun benar-benar rumit, yang saya rasakan selama ini, kerumitan itu pada akhirnya akan berakhir dengan kenikmatan. Ya, kalau dikonsumsi secara rutin, filsafat itu sejujurnya bisa menjadi candu.

Kalau Anda sudah kecanduan dengan hal-hal yang sulit, maka Anda akan terlatih untuk menyelesaikan hal-hal yang seringkali terasa rumit. Kebiasaan dalam menyelesaikan hal-hal yang sulit itu pada akhirnya juga dapat membantu Anda untuk menyelesaikan problem-problem kehidupan yang kadang tidak kalah sulit.

Anggaplah filsafat itu sulit. Tapi, kesulitan itu akan membantu mendewasakan cara berpikir Anda. Jika cara berpikir Anda matang dan dewasa, maka cara pandang Anda dalam memandang hidup ini juga akan berbeda dengan orang-orang biasa. Kesengsaraan terbesar dalam hidup ialah ketika orang tidak mampu memaknai hakikat hidup.

Dan filsafat—begitu juga Agama—berusaha menuntun Anda untuk memikirkan hakikat itu. Jika hakikat hidup itu sudah Anda pahami dengan benar, maka Anda akan hidup bahagia. Bukankah kebahagiaan itu sesuatu yang mulia dan menjadi impian semua manusia?

Kedua, belajar filsafat itu tidak menjanjikan pekerjaan yang jelas. Padahal, kerjaan seorang filsuf adalah sebaik-baiknya pekerjaan. Kalau Anda seorang Muslim, saya mau tanya: Apa coba perintah Tuhan pertama yang tertera dalam kitab suci kita? Semua Muslim tahu bahwa jawabannya adalah membaca. Iqra. Tapi membaca apa? Membaca apa saja. Al-Quran tidak menyebutkan objek bacaan tertentu.

Yang penting, kata al-Quran, membaca itu harus bismi rabbika (dengan nama Tuhan-mu). Harus disertai dengan semangat untuk mencari rida Tuhan. Merenung dan mengamati realitas juga bagian dari aktivitas membaca. Bukankah itu yang menjadi kerjaan utama seorang filsuf? Dan bukankah pekerjaan ini senafas dengan tuntunan kitab suci al-Quran?

Setelah membaca, filsuf bertugas untuk menuliskan apa yang sudah dia baca. Saya mau tanya lagi: Dalam al-Quran ada banyak sumpah. Apa sumpah pertama yang Tuhan turunkan dalam kitab suci kita? Sebagian ahli tafsir berkata bahwa yang menjadi sumpah pertama itu ialah sumpah atas nama pena (walqalam).

Dan mereka mengatakan bahwa jika Tuhan sudah bersumpah dengan sesuatu, itu artinya, antara lain, Tuhan ingin menunjukan keagungan sesuatu yang dia jadikan sebagai sumpah itu.

Bukankah menulis itu juga kerjaan utama seorang filsuf? Dan bukankah tradisi menulis itu merupakan salah satu tonggak terpenting dalam membangun peradaban umat manusia? Tidakkah itu menunjukkan bahwa filsafat sangatlah penting dalam mencerahkan lanskap kehidupan kita?

Ketiga, filsafat itu sesat. Pandangan ini sudah pasti tidak akan keluar dari seorang pembelajar sejati. Tapi, kalaupun benar filsafat itu sesat, untuk membuktikan kesesatannya Anda harus berfilsafat.

Untuk membuktikan kesesatan filsafat Anda harus punya argumen. Dan ketika argumen itu disusun, sebetulnya, sadar atau tidak, Anda sedang berfilsafat untuk menyesatkan filsafat.

Jadi, pada akhirnya, pembuktian akan kesesatan filsafat itu sendiri menuntut Anda untuk mempelajari filsafat. Sebab, kalau tidak, tuduhan Anda hanya akan menjadi gombalan yang tak perlu mendapatkan perhatian.

Orang yang memandang filsafat sebagai ilmu yang sesat pada umumnya tidak bisa membedakan antara filsafat sebagai sebuah ilmu, dengan filsafat sebagai sebuah produk pemikiran. Padahal itu dua hal yang berbeda.

Sebagai sebuah ilmu, filsafat itu bertujuan positif. Menuntun manusia untuk berpikir dengan benar, mencari kebenaran, mencintai kebijaksanaan, dan dengan itu semua diharapkan agar manusia dapat menemukan titik kebahagiaan.

Apa yang salah dengan itu? Tidak ada. Yang sering melahirkan gagasan-gagasan menyimpang itu sebenarnya bukan karena filsafatnya, melainkan kembali pada kesalahan cara orang yang menggunakannya.

Filsafat itu hanyalah alat. Dengan alat itu Anda bisa jadi orang saleh dan beriman, dan dengan alat itu pula Anda bisa menjadi orang sesat bahkan mengingkari keberadaan Tuhan. Demikian, wallahu ‘alam bisshawab.

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.