Senin, Oktober 7, 2024

Menganalisis Hot Girls Wanted: Pornografi dalam Dunia Siber

Eliesta Handitya
Eliesta Handitya
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.

Ruang virtual (cyberspace) seolah memiliki dimensi berbeda dengan kehidupan nyata sehari-hari. Menganalisis film dokumenter Hot Girls Wanted (2015) yang diproduseri oleh Rashida Jones, bagi saya menarik untuk melihat hubungan antara gender, pornografi, dan internet dalam era teknologi seperti saat ini.

Dokumenter ini mengulik bagaimana industri film porno ‘rumahan’— atau lebih tepat disebut ‘amatiran’ memproduksi pornografi berbasis internet seperti video streaming berbayar. Bagai menonton proses dibalik layar dari pembuatan video porno, Hot Girls Wanted mengajak kita untuk melihat bagaimana di Amerika Serikat, para wanita muda usia 19-25 tahun dipekerjakan dalam industri hiburan pornografi.

Mewawancarai para bintang porno “amatir”, film ini menarasikan bagaimana beberapa tahun belakangan, permintaan video porno daring meningkat tajam. Lonjakan permintaan pasar ini kemudian ditanggapi oleh industri porno amatiran untuk menciptakan produk video streaming berbayar di jejaring virtual. Film ini berhasil memunculkan isu sosial yang dekat— bahkan menjadi bagian dari kehidupan kita saat ini: Pornografi dan Internet.

Menjadi bintang porno, menurut mereka adalah pengalaman unik. Menariknya, meskipun dilabeli sebagai aktris porno, para aktris ini memisahkan diri dari terminologi pekerja-seks. Mengutip penggalan dari seorang aktris porno dalam Hot Girls Wanted, seseorang mengatakan bahwa ia tidak pernah melihat dirinya sebagai “Pekerja Seks Konvensional” sebab dalam industri pornografi, pemeran sesungguhnya tidak pernah melakukan hubungan seks sungguhan.

Kontrol terhadap terhadap tubuh lantas menjadi isu problematis. Seksualitas yang seringkali dihubungan dengan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan, dalam konteks pornografi menjadi tidak berlaku. Pada tataran kehidupan riil, rasanya lebih mudah menuding bentuk relasi kuasa, ketimpangan, atau eksploitasi yang terjadi. Contohnya, ketika bicara soal prostitusi, mudah untuk memunculkan narasi tentang siapa-menguasai-siapa, atau siapa-mengeksploitasi-siapa.

Sementara dalam konteks pornografi, dunia virtual dan kehidupan nyata seolah memiliki dinding pemisah yang jelas. Keduanya seolah eksis dalam tataran dimensi ‘kehidupan’ yang berbeda. Realitas virtual seolah menjadi dunia alternatif yang palalel dengan kehidupan ‘nyata’. Mengeksploitasi seksualitas dalam kehidupan sehari-hari— mungkin tidak dapat dibenarkan dalam norma dan nilai umum di masyarakat, tetapi konsumsi terhadap pornografi seolah dapat dimaafkan mengingat keberadaannya sebagai virtual— dimensi yang dianggap berbeda dari kehidupan nyata .

Hiper realitas terus direproduksi oleh media massa, membangun pemaknaan bahwa seksualitas dalam lingkup virtual (dalam hal ini pornografi) dan kehidupan nyata sehari-hari adalah suatu hal yang sama sekali berbeda. Dunia virtual telah menciptakan kerancuan sebab tidak mengenal batas sistem norma dan hierarki sosial yang jelas di dalamnya.

Ketiadaan batas tersebut kemudian mengaburkan konsep tentang siapa-yang-dieksploitasi dan siapa-yang-mengeksploitasi. Membedah relasi kuasa, kini tidak lagi semudah menuding subjek atau objek secara gamblang. Sistem berlapis harus dikorek untuk tahu : siapa memperdaya siapa?

Kemudian saya jadi membolak-balik alam pikir, tentang relasi kuasa yang terus dilanggengkan oleh mekanisme permintaan dan penawaran pasar tapi lucunya semakin dikaburkan oleh kepiawaian media, sehingga tampang siapa-siapa yang di- atau meng-eksploitasi dalam konteks pornografi ini seolah hilang begitu saja. Blur.

Segalanya nampak menjadi common sense— kelihatan wajar-wajar saja. Pornografi seakan menjadi fenomena yang taken for granted. Pornografi di lihat sebagai alat pemuas kebutuhan seksual yang tidak perlu dikhawatirkan dampaknya secara sosial. Setiap orang yang mengonsumsi video porno melalui  jejaring virtual tetap bisa menjalani hari-harinya seperti biasa tanpa mendapatkan stigma rigid maupun sanksi normatif tertentu dari mengonsumsi pornografi.

Jika pun ada, efek sosialnya tidak akan sesignifikan saat seseorang mengekspresikan hasrat seksualnya secara nyata. Melakukan prostitusi dan menggunakan jasa prostitut— misalnya. Virtual rape menjadi hal yang belum bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, meskipun dalam tataran wacana telah menuai pro dan kontra.

Sebagai bagian dari perkembangan teknologi informasi, menurut Wilson dan Peterson (2002) dalam artikelnya mengenai komunitas daring, realitas virtual dianggap telah menciptakan reproduksi kultural yang berhasil membentuk kebudayaan baru yang sama sekali terpisah dari kehidupan sosial yang nyata.

Batasan rigid seperti gender, ras, dan hierarki, nilai dan norma semakin kabur— bahkan menjadi tidak berlaku dalam tatanan ‘sistem’ masyarakat virtual. Sebuah percakapan yang cukup menyentil di salah satu scene dalam film mengatakan, “everyone watches porn” malah terus membuat saya bertanya-tanya.

Jika laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, bahkan orang tua mengonsumsi pornografi, lantas siapa yang patut disalahkan dalam fenomena industri pornografi semacam ini? Masyarakat patriarkis kah? Industri pornografi kah? Media massa? Internet? Atau— mungkinkah kita mempersalahkan mekanisme pasar? Semakin sulit nampaknya untuk membedah konsep relasi kuasa dalam era disruspi teknologi seperti yang sedang terjadi saat ini.

Referensi :

  1. Hall, Stuart. 2001. “Encoding/Decoding.” Media and Cultural Studies 163-173.
  2. Wilson, Samuel M., Peterson, Leighton C. 2002. The Anthropology of Online Communities. Pp. 449-467. Annual Review of Anthropology, Vol. 31.
  3. http://time.com/4764003/rashida-jones-hot-girls-wanted/ diakses pada Rabu, 5 September 2018 pukul 15.30 WIB 
Eliesta Handitya
Eliesta Handitya
Penulis adalah mahasiswa S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.