Senin, April 29, 2024

Mengadopsi Bercerita, Metode Dakwah Asyik Al-Qur’an

Wafiq Ulin
Wafiq Ulin
Mahasiswa aktif UIN Sunan Ampel Surabaya, yang fokus studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir

Sering kita mendengar beberapa dai dalam menyampaikan materi dakwahnya dengan cara bercerita, namun tidak sedikit pula mereka menyampaikan materi tanpa cerita sama sekali sebagai isi dari ceramahnya. Keduanya memiliki tujuan yang sama yakni tersampaikannya pesan-pesan agama kepada masyarakat yang luas. Lalu manakah yang disukai banyak orang dari kedua cara tersebut? Dan manakah yang lebih baik?

Menurut studi yang dilakukan oleh the Ohio state University dan University of Oregon Amerika serikat, pada tahun 2021, ketika mendapat cerita yang menarik, otak akan menjadi lebih aktif, otak juga akan menghubungkan karakter yang ada di dalam cerita dengan diri mereka sendiri, sehingga mereka akan terhanyut dalam cerita yang sedang dibayangkan sampai mereka merasa asyik dan lupa dengan sekitarnya.

Orang yang mendapatkan pesan “Harus sabar dalam menghadapi cobaan”; akan memiliki pengalaman psikologis yang berbeda ketika mendapatkan cerita “Perjalanan rumit kehidupan seseorang yang mendapatkan banyak cobaan dan hatinya teguh serta terus bersabar sembari berdoa, lalu ia menemukan jalan keluarnya”, kemudian dilanjutkan dengan pesan tentang kesabaran. Karena cerita itu, ia akan memvisualisasikan dirinya sebagai orang dalam cerita.

Oleh karenanya, kebanyakan orang ketika mendengar ceramah akan lebih minat jika terselip cerita dalam isi ceramah itu. Terlebih jika pengajian dilakukan saat orang-orang telah lelah setelah menjalankan banyak aktivitas, sehingga otak mereka pada saat itu akan malas untuk diajak berpikir keras, sebagaimana pengajian yang kebanyakan dilakukan pada saat malam hari.

Ketika seorang dai menyampaikan materi tanpa ada satu pun cerita, yang semuanya hanya berupa teori dan penjelasan, terkadang tidak semua orang bisa menangkap apa yang ia sampaikan, dikarenakan materi dan pesan terlalu tinggi untuk kadar berpikir seseorang. Sehingga menyebabkan mereka bosan dan enggan mendengarkan, hal ini juga terkesan monoton.

Kecerdasan dan kadar berpikir orang itu berbeda-beda, namun apabila dalam penyampaian itu terdapat cerita yang mewarnainya, tentu berpeluang semuanya akan bisa menangkap apa yang disampaikan, bahkan anak kecil sekalipun. Hal tersebut bertujuan untuk menyesuaikan isi materi kepada semua yang hadir pada majelis saat itu, sebagaimana perkataan sayidina Ali bin Abi Thalib:

خَاطِبُوا النَّاسَ عَلَى قَدْرِ عُقُوْلِهِمْ

“Bicaralah kepada manusia sesuai kemampuan intelektualnya”.

Berceramah sambil bercerita merupakan metode dakwah yang diadopsi dari Al-Qur’an. Ketika menyampaikan konsep tentang suatu hal, Al-Qur’an menyampaikan dalam bentuk materi pada suatu penggalan ayat dan di ayat lain disampaikan dalam bentuk cerita, dengan tujuan mengambil ibrah, suri teladan dan meneguhkan hati.

وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنۢبَآءِ ٱلرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِۦ فُؤَادَكَ ۚ وَجَآءَكَ فِى هَٰذِهِ ٱلْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud 120)

لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal”.

Ketika ingin menanamkan rasa syukur, dalam Al-Qur’an disampaikan perintah untuk bersyukur sebagaimana dalam surah Al-Baqarah ayat 152:

فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِى وَلَا تَكْفُرُونِ

“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku”.

Selain itu, pada ayat lain menceritakan rasa syukur seorang hamba kepada Tuhannya, seperti kisah Nabi daud dan Nabi Sulaiman yang diberi banyak anugerah oleh Allah Swt, dalam surah al Naml 15:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ وَسُلَيْمٰنَ عِلْمًاۗ وَقَالَا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ فَضَّلَنَا عَلٰى كَثِيْرٍ مِّنْ عِبَادِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan sungguh, Kami telah memberikan ilmu kepada Dawud dan Sulaiman; dan keduanya berkata, ‘Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari banyak hamba-hamba-Nya yang beriman”.

Ketika disampaikan perintah bersabar di dalam Al-Qur’an, sebagaimana dalam surah Ali Imran 200:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اصْبِرُوْا وَصَابِرُوْا وَرَابِطُوْاۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung”.

Al-Qur’an juga menyampaikan kisah hamba yang bersabar, sebagaimana kisah Nabi ayub yang disinggung sedikit dalam surah Al-Anbiya’ 83:

وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرّٰحِمِيْنَ

“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, ‘Ya Tuhanku, sungguh aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.”

Ketika dalam Al-Qur’an disampaikan perintah untuk ikhlas dalam beribadah sebagaimana dalam surah Az-Zumar 11:

قُلْ اِنِّيْٓ اُمِرْتُ اَنْ اَعْبُدَ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ

“Katakanlah, ‘sesungguhnya aku diperintahkan agar menyembah Allah dengan penuh ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.”

Al-Qur’an juga menyampaikan kisah hamba yang sangat ikhlas dalam menjalankan perintah Allah, sebagaimana kisah Nabi Ismail dan Nabi Ibrahim dalam kisah penyembelihan, yang tertuang dalam surah As-Shafat ayat 102:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Bisa disimpulkan, metode dakwah terbaik Adalah dengan mengadopsi metode dakwah yang diajarkan Al-Qur’an yakni dengan bercerita. Dengan menceritakan para nabi, orang-orang saleh atau orang-orang yang durhaka, lalu mengambil ibrah baik buruknya suatu perbuatan dan akibat yang mereka dapatkan. Dari cara penyampaian ini bisa menarik beberapa manfaat yang sangat banyak di antaranya adalah menarik perhatian, mempengaruhi emosi, membekas dalam jiwa, menstimulasi otak, menanamkan keteladanan terhadap suatu tokoh dan pengetahuan tentang sejarah.

Wafiq Ulin
Wafiq Ulin
Mahasiswa aktif UIN Sunan Ampel Surabaya, yang fokus studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.