Sabtu, April 20, 2024

Meneropong ‘Kemalasan’ Para Akademisi Indonesia

Rizqy Amelia Zein
Rizqy Amelia Zein
Peneliti Psikologi Politik, Universitas Airlangga, Surabaya. Alumni School of Social and Political Science, University of Edinburgh.

 

Sejumlah peneliti dari Pusat Penelitian Kehutanan Internasional atau CIFOR meneliti kondisi lahan gambut di Desa Tanjung Leban Kabupaten Bengkalis, Riau, Senin (16/5). CIFOR meneliti plot permanen di tiga tutupan lahan yang berbeda untuk pemantauan jangka panjang pada dinamika sirkulasi karbon lahan gambut yang direstorasi melalui penanaman dan pembasahan kembali, pada kawasan gambut yang sebelumnya terbakar. Parameter yang diamati meliputi cadangan karbon, kedalaman gambut, fluktuasi muka air, produk primer neto, dan perubahan elevasi permukaan. ANTARA FOTO/FB Anggoro/foc/17.

“Para dosen di Indonesia malas,” begitu kesimpulan yang dirumuskan akibat minimnya jumlah penelitian para dosen di Indonesia yang terpublikasi di jurnal internasional bereputasi. Diantara negara di kawasan ASEAN, kita sangat jauh tertinggal, sehingga hal ini mendorong pemerintah untuk membuat instrumen kebijakan, yaitu Permenristekdikti No. 20/2017 yang belakangan memicu kontroversi.

Permenristekdikti No. 20/2017 yang sedang gencar disosialisasikan oleh Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) memantik diskusi yang menarik di kalangan akademisi, karena terkesan kita tergopoh-gopoh dan panik begitu ketahuan tertinggal. Wajar apabila peraturan yang baru saja diberlakukan ini disikapi dengan kegelisahan, meskipun tak sedikit pula yang memilih menanggapinya dengan optimisme.

Tak bisa dielakkan, bila kita mencoba membandingkan produktivitas dan kontribusi peneliti Indonesia pada perkembangan keilmuan arus utama dengan negara-negara tetangga, memang ada kesan kita sangat tertinggal. Perlu dicatat bahwa publikasi ilmiah memang tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya indikator kualitas penelitian yang dihasilkan oleh akademisi, namun merupakan cerminan dari kontribusi seorang akademisi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Melalui tulisan ini, saya mencoba ‘membaca’ fenomena ini dari sisi yang berbeda.

Harga diri bangsa

Selain ketertinggalan kita secara kuantitas, menurut saya yang paling memprihatinkan adalah persoalan mengenai narasi tunggal. Selama ini sudah lazim di komunitas akademik internasional, penelitian-penelitian tentang Indonesia, terutama yang menjadi acuan utama, justru lebih banyak ditulis oleh orang asing.

Saat saya menyelesaikan tesis tentang identitas nasional, justru saya lebih banyak membaca dan mengacu pada karya-karya Indonesianis, yang ironisnya bukan orang Indonesia sama sekali. Saya mengagumi Robert Elson, Marcus Mietzner dan Elizabeth Pisani; punya banyak sekali tulisan Martin van Bruinessen; melahap artikel-artikel yang ditulis oleh Edward Aspinall; dan membaca tuntas dua buku karya Ben Anderson.

Ironisnya, saya tak kenal karya Des Alwi atau Taufik Abdullah, hanya dengar sekelebat namanya saja. Bahkan sejarawan setelah era beliau berduapun saya tak mengetahui sama sekali. Diantara sekian puluh referensi yang saya acu, hanya satu-dua yang ditulis oleh orang Indonesia, meskipun yang dibahas adalah persoalan bangsa Indonesia.

Yang menjadi kegelisahan saya, mengapa ‘kok bangsa ini seakan enggan menuliskan cerita tentang dirinya sendiri? Kalaupun ada, mengapa sulit sekali dicari dari sumber yang mudah diakses?

Saya tidak menyukai narasi tunggal. Bagi saya, narasi tunggal adalah awal mula prasangka. Saya kuatir apabila membayangkan narasi mengenai bangsa kita hanya, ‘sewarna’ dan ditulis oleh orang-orang itu saja. Padahal narasi hanya masuk akal apabila dituliskan sendiri oleh aktor yang menghayati laku kehidupannya sendiri.

Tak berlebihan apabila Elizabeth Pisani kemudian mengkritik bahwa Indonesia adalah “the biggest invisible thing on earth,” karena meskipun nyatanya bangsa ini bangsa yang besar, kedigdayaan itu tak menggema. Gaduh di dalam tapi seolah tak ada suaranya di luar. Semua hanya karena kita kurang terbiasa meneliti dan menulis.

Padahal, bersama dengan kegiatan menulis, sebenarnya kita sedang melakukan refleksi–menghayati pengalaman dan mengambil hikmah dari hal-hal banal yang biasa kita hadapi sehari-hari. Kurangnya refleksi inilah yang membuat bangsa kita lebih menyukai yang ‘tampak,’ daripada hal-hal substantif. Mudah terpukau dengan materi dan titel yang mentereng daripada kebestarian.

Oleh karena itu, ketika Kemenristekdikti mengeluarkan peraturan ini saya optimis bahwa mungkin inilah saatnya kita membuktikan bahwa orang Indonesia bukan sekedar objek. Para ilmuwan Indonesia harus lebih percaya diri dengan kemampuannya. Memosisikan diri kita lebih dari sekedar ‘tukang ambil data,’ tapi peneliti profesional dengan keahlian yang setara dengan peneliti kelas dunia. Bahkan, kita seharusnya lebih banyak aktif berbicara dan berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan global. Kita harus segera mengakhiri inferioritas akut ini.

Menghargai proses

Bukan rahasia umum apabila menerbitkan tulisan di jurnal internasional bereputasi memang tidak mudah, apalagi di jurnal high-ranked yang sangat kompetitif. Namun kita tak boleh lupa, sesuatu yang kualitasnya baik, tak mungkin bisa dicapai dengan usaha yang begitu-begitu saja. Saya sepakat bahwa karya ilmiah lainnya, seperti buku teks, opini di media massa, atau karya-karya yang lain tidak boleh dikerdilkan. Tetapi, tanpa bermaksud mengecilkan artinya, dampak ilmiah antara keduanya tidak sama, sehingga tak bisa begitu saja disetarakan.

Proses menerbitkan sebuah naskah ke jurnal ilmiah bereputasi harus menempuh jalan panjang bernama peer review. Meskipun keampuhan peer review dalam menjamin kualitas terbitan masih dipertanyakan, tentunya karya yang dipoles oleh ‘tangan banyak orang’ lebih bisa dijamin kualitasnya daripada tidak diperiksa sama sekali.

Padahal, penerbit buku teks tidak mereview naskah seketat reviewer jurnal ilmiah bereputasi yang bisa sangat kejam dengan berkali-kali mengembalikan naskah. Audiens jurnal internasional juga lebih luas daripada buku teks berbahasa Indonesia, sehingga ripple effectnya lebih besar, karena lebih mudah diakses.

Buku teks juga melalui proses penerbitan yang terlalu lama, karena naskahnya membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk ditulis. Penulis buku tekspun biasanya sulit meluangkan waktunya untuk melakukan revisi atau pengayaan atas buku yang sudah terbit. Sulit untuk mengikuti fluktuasi tren dalam sains hanya dengan mengandalkan buku teks, sehingga kita jangan cepat puas ketika sudah menerbitkan buku teks.

Berusaha menerbitkan hasil penelitian di jurnal internasional bereputasi, menurut saya, membutuhkan lebih dari sekedar kecendekiaan. Implikasinya, Permenristekdikti ini ibarat melahirkan kawah candradimuka yang menempa ilmuwan dengan academic ethos. Saat meneliti, ilmuwan sesungguhnya sedang belajar mengasah kepekaan atas persoalan sehari-hari. Menyelesaikan naskah untuk dipublikasikan melatih ketajaman daya nalar sekaligus bentuk tanggung jawab moral.

Dari penolakan editor dan reviewer, kita belajar tentang determinasi. Saat umpan balik dan koreksi dari reviewer datang, kita belajar tentang kerendah-hatian. Ketika pendapat yang bertentangan dengan keyakinan kita muncul, kita belajar tentang kebesaran hati. Proses ini melahirkan akademisi yang lengkap; kaya gagasan disertai dengan arête atau kebajikan moral.

Saya teringat suatu pepatah Yunani kuno yang disitir dosen Filsafat Ilmu saya semasa kuliah S1 dulu. Verba volant, scripta manent – yang terucap akan hilang, yang tertulis akan abadi. Menulis sesungguhnya adalah pekerjaan untuk mencapai keabadian. Pramoedya Ananta Toer juga mengingatkan bahwa tak berfaedah ilmu setinggi langit, apabila si empunya ilmu menolak menuliskan pemikirannya. Ia akan hanyut dalam arus sejarah, lenyap ditelan gelombang peradaban.

Pun saya tidak menampik bahwa ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Kemenristekdikti, misalnya; mengatasi keterbatasan sumber dana penelitian, mengurai ruwetnya sistem pelaporan dana penelitian; dan menata beban kerja dosen dan rasio-dosen mahasiswa yang masih tidak ideal.

Saya optimis, persoalan-persoalan diatas telah dipetakan dan sedang dibenahi secara bertahap. Meskipun saya sepakat bahwa semua produk kebijakan pemerintah harus dikritik dan dikaji secara terbuka sebagai wujud kontrol sosial, namun kritik yang baik bukankah yang ‘melampaui’ dan bukan sekedar menegasi?

Rizqy Amelia Zein
Rizqy Amelia Zein
Peneliti Psikologi Politik, Universitas Airlangga, Surabaya. Alumni School of Social and Political Science, University of Edinburgh.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.