Kamis, April 25, 2024

Menerobos Dominasi, Imajinasi Kebebasan Sipil

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal

Sistem demokrasi tidak sepenuhnya tanpa masalah. Di lain pihak, demokrasi selalu menempatkan kebebasan sipil sebagai bagian integral dari agenda demokratisasi. Karena itu, demokrasi selalu menjadi pilihan beberapa negara, salah satunya Indonesia, karena dinilai mampu mengakomodasi semua kepentingan dari berbagai elemen.

Tidak boleh lupa, demokrasi selalu menyediakan ruang bagi setiap warga negara dalam mengekspresikan kebebasan, yang termanifestasi melalui kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum, demonstrasi, mengakses kesejahteraan sosial yang disediakan negara, dan lain sebagainya. Artinya, pada taraf ini, konseptualisasi demokrasi selalu diarahkan pada kepentingan semua warga.

Negara, dalam negara demokrasi harus mendaraskan berbagai produk kebijakan, hukum, politik, ekonomi, budaya, kesehatan, pendidikan dan sektor lain, demi kepentingan negara, yakni rakyat. Karena itu, negara yang tidak menyediakan ruang demokrasi dalam bentuk kebijakan yang pro rakyat, tidak lain merupakan negara yang tidak demokratis. Sebab, negara dengan watak seperti ini tidak mampu memahami konseptualisasi nilai-nilai demokrasi, berikut praktik-praktiknya.

Persis problem ini kita alami selama kurang lebih 32 tahun masa kepemimpinan presiden Soeharto. Banyak studi mengemukakan bahwa, kepemimpinan Soeharto kental dengan aroma otoriterian, serta menguatnya kepentingan oligarki (Hadiz, 2005). Watak otoriterianisme rezim Soeharto ditandai dengan upaya pembungkaman aktivis demokrasi, sekaligus mengebiri media sebagai saluran informasi.

Tidak boleh lupa juga, Soeharto dengan lihai juga menekan dan mengamputasi pergerakkan beberapa Partai Politik (Parpol), seperti PPP dan PDI, karena dinilai akan menganggu kepentingan elektoralitas Golkar. Ini tentu saja harus dilihat sebagai upaya rezim dalam menenggelamkan nilai-nilai demokrasi, seraya membangun hegemoni negara yang otoriter dan subversif.

Tidak heran, situasi pada masa kepemimpinan Soeharto selalu dianggap mengkhawatirkan bagi para aktivis, pers, mahasiswa dan kelompok-kelompok yang pro demokrasi. Rezim pada saat itu menghendaki dominasi total, dengan menggembosi kebebasan sipil. Kondisi ini yang mengakibatkan demokrasi pada masa Soeharto tidak tumbuh signifikan, alih-alih bayang-bayang otoriterianisme negara menghantui.

Pasca Reformasi

Realitas politik dan penegakkan hukum di masa Soeharto yang tidak fair, ditambah praktik korupsi dan krisis moneter yang menghantam ekonomi negara, membuat langkah progresif kian kencang dalam usaha menumbangkan rezim Soeharto. Gerakkan masyarakat sipil kala itu, tidak berhenti hanya pada kepentingan menggusur Soeharto dari tampuk kekuasaan kepresidenan. Melainkan, memiliki agenda membangun kembali tatanan demokrasi yang remuk pada era Soeharto.

Masyarakat sipil (civil society) tentu menginginkan agar agenda demokrasi tumbuh dan setiap warga negara memiliki kesempatan dan kesetaraan yang sama dalam bidang politik dan penegakkan hukum (rule of law). Gerakkan itu akhirnya mendapat angin segar, ketika Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Sampai disini demokrasi telah kita raih.

Buktinya, kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum telah dilindungi UUD, siapa saja bebas mendirikan partai politik serta mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, gubernur, bupati. Tidak sebatas itu, rakyat sudah bisa mengakses kesejahteraan sosial, sekaligus mendapat perlindungan hukum. Semua ini dan berbagai kebebasan sipil yang bisa kita nikmati hari ini, sejauh pembacaan saya, merupakan perjuangan yang kita imajinasikan sebelumnya tentang adanya kebebasan sipil yang lebih baik di masa pasca Soeharto.

Tetapi, sekali lagi, apakah demokrasi pasca reformasi tidak lagi terjerat dalam dominasi dari berbagai aktor? Jika kita lacak praktik demokrasi pada masa sekarang ini, watak dominasi masih menjadi problem struktural dan institusional dari agenda demokratiasi. Buktinya, oligarki politik masih menjadi problem yang sulit kita tandingi. Beberapa studi juga sebetulnya mengakui bagaimana rezim pasca reformasi masih tetap di dominasi oligarki (Hadiz dan Robison, 2014, Winters, 2011, 2014).

Tidak hanya itu, kebebasan sipil kian mengalami upaya peremukan dan pelemahan. Misalnya, sebagian orang yang kerap di kriminalisasi dengan menggunakan UU ITE, merupakan bukti bagaimana dominasi dan watak otoriterian masih terwariskan, menghantui dan memboncengi institusi dan aktor-aktor negara. Ini tentu sangat bermasalah bagi masa depan demokrasi.

Belum lagi praktik korupsi yang kian mempertontonkan masa depan demokrasi dan institusi negara yang kian redup. Persoalan demokrasi dan institusi di Indonesia, sejauh saya amati, tidak bisa terlepas dari problem struktural dan manajemen institusi yang belum optimal. Tidak boleh lupa, warisan otoriterian Orde Baru menambah kerumitan persoalan struktural dan institusi di Indonesia.

Pada akhirnya, demokrasi akan tetap tumbuh dan mengalami dinamika yang lebih sulit kedepan apabila kita berhenti berimajinasi tentang kebebasan sipil.

Berimajinasi kebebasan sipil adalah bagian dari upaya memikirkan demokrasi seraya mengambil sikap membentuk komitmen mempertahankan demokrasi dengan mengamputasi dominasi. Tentu ini terlalu abstrak, kita perlu aksi, misalnya, dengan membereskan problem struktural sekaligus manajemen institusi. Ini langkah bagus bagi perbaikan demokrasi di masa depan.

Arsi Kurniawan
Arsi Kurniawan
Minat pada isu Agraria, Pembangunan, Gerakan Masyarakat Sipil, dan Politik Lokal
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.