Kamis, April 25, 2024

Menenun Kebangsaan, Memahami Kebhinekaan

Hendra Mas Martayana
Hendra Mas Martayana
Penulis I Ik ben Een Vrijmaan

Tulisan singkat ini diinspirasi oleh hasil diskusi saya dengan mahasiswa dari berbagai jurusan. Segala isi kepala, mulai eksakta, teknik hingga humaniora saya kuliti, dan tulisan pendek yang hadir di hadapan pembaca ini adalah wujudnya.

Sebagai seorang dosen yang concern di bidang humaniora dan ilmu sejarah pada khususnya, saya tidak hanya dituntut memiliki integritas moral sehingga bisa dijadikan panutan normatif, namun juga diharapkan memiliki kemampuan dalam menularkan spirit gagasan kritis, terutama berkaitan dengan fenomena kebangsaan yang akhir-akhir ini sempat terkoyak.

Beberapa waktu belakangan ini kita disuguhi oleh berbagai peristiwa yang mencerminkan semakin menguatnya etnosentrisme dan primordialisme agama. Kondisi ini seharusnya menyadarkan kita dari lamunan panjang bahwa negara bangsa yang telah berdiri hampir 73 tahun ini rentan terhadap perubahan

Peradaban-peradaban besar yang lahir, tumbuh dan mati silih berganti menjadi bukti bahwa tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. Lalu, yang menjadi pertanyaan, akankah Indonesia bertahan 1000 tahun lagi?, atau jangan-jangan bubar beberapa tahun mendatang ketika energi lebih banyak dipakai melenyapkan satu dengan lainnya.

Indonesia adalah sebuah realitas majemuk. Secara horisontal, struktur sosialnya ditandai oleh kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku, agama, dan bahasa. Secara vertikal, bisa dilihat sebagai segregasi sosial antara lapisan atas dan lapisan bawah yang tercipta melalui benturan ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Kemajemukan mengakibatkan Indonesia selalu berhadapan dengan konflik yang berlarut-larut. Konflik yang terjadi tidak saja berdimensi horiontal, melainkan juga vertikal-struktural. Keadaan ini semakin diperparah pula oleh dampak negatif globalisasi. Sentuhan budaya global menyebabkan budaya lokal mengalami disorientasi dan dislokasi.

Meskipun konflik berusaha diobati oleh upaya integrasi, namun dalam sebuah interaksi sosial tidak dengan sendirinya berjalan lancar. Hal ini disebabkan masalah persatuan pada entitas yang multietnik dengan struktur sosial yang majemuk penuh dengan ambivalensi.

Penampilannya menggambarkan keseimbangan, keselarasan dan harmoni, namun isinya penuh dengan intrik, ketidakpuasan, pertentangan, paradoks, etnosentrisme, primordialisme, stereotipisme, dan konflik sosial.

Ada 5 hal pokok yang bisa saya ketengahkan untuk menjawab persoalan mengapa konflik laten itu cenderung menjadi dendam yang tidak berkesudahan. Pertama, benih permusuhan adalah warisan masa lalu -persatuan sejati dalam bentuk identitas nasional Indonesia tidak sungguh ada dan hanya sebatas utopia.

Di era Orde Lama, interes politik-ideologi telah memecah belah bangsa bukan berdasarkan etnis maupun agama, melainkan dalam bentuk persaingan politik antarkelompok nasionalis, agama dan komunis.

Di era Orde Baru, setelah semua kepentingan politik disatukan dalam partai politik yang jumlahnya tiga, pengelompokan pun terulang berdasarkan ekonomi. Di era reformasi, setelah identitas ekonomi dan politik tidak bisa menjadi tali pengikat yang kuat, Indonesia kembali ke ikatan lama yang secara laten masih bertahan terus, yaitu ikatan etnik dan agama.

Kedua, sesat pikir terhadap “the others” – Ia dilihat sebagai musuh yang harus disingkirkan daripada kenyataan yang harus dirawat, bahkan cenderung menjadi watak abadi. Pola pikir ini bisa menyergap ideologi dan keyakinan apa pun ketika yang bersangkutan menemukan ruang dan kesempatan menunjukkan dominasi dan hegemoninya.

Ketiga, menguatnya mentalitas split tolerance (penyimpangan toleransi). Masyarakat sulit membangun toleransi yang hakikatnya merupakan pesan kuat keyakinan atau nilai-nilai lokal, namun di sisi lain begitu toleran dengan praktik-praktik korupsi dan manipulasi yang ada di sekitarnya. Dalam perspektif sosiologi politik, split tolerance ini merupakan warisan dari masyarakat yang sedemikian lama hidup dalam politik hipokrit konservatif permisif, alih-alih politik kritis.

Keempat, politisasi gaya baru – praktik intoleransi dalam bentuk kekerasan SARA merupakan implikasi dari politisasi Orde Baru yang belum sepenuhnya sirna. Dalam bidang agama, sikap intoleran merupakan buah dari politisasi negara terhadap agama melalui pelabelan “agama resmi” dan “agama tidak resmi”. Di masa lalu, politisasi agama oleh negara diwujudkan dalam persekutuan untuk menghasilkan politik koersif, membredel aliran, sekte, dan bahkan buku-buku yang dianggap “sesat”.

Dalam perspektif teori konspirasi,  politisasi agama gaya baru dilakukan dalam bentuk yang lebih lunak dan kasat mata. Negara tidak lagi bertindak keras secara langsung, melainkan diperankan oleh sekelompok massa yang menjadi hakim. Ironisnya, bukan melindungi dan mencegah, negara justru melakukan pembiaran praktik kekerasan itu berlarut-larut.

Kelima, pemahaman agama sebatas teks – suburnya intoleransi beragama merupakan implikasi dari masih minimnya praktik beragama secara kontekstual. Para penganut agama masih terjebak dalam pola dogmatik sehingga mereka tidak semakin cerdas memaknai semantika keagamaan.

Kebenaran dimaknai sekadar “teks” dan melupakan “konteks”. Hasilnya, tindakan keagamaan menjadi serba kaku. Kebenaran pun menjadi serba tekstual dan tunggal. Dominasi pada teks ajaran agama (ortodoksi) membuat keberagamaan timpang karena mengabaikan pengalaman beragama (ortopietas) dan praksis beragama (ortopraksis).

Solusi preventif sekaligus kuratif yang bisa ditawarkan adalah sinergitas antara dialog aktif dan pendidikan multikultur. Dialog yang dimaksud bukanlah berdebat untuk mencari siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan memberikan ruang bagi setiap kelompok untuk berekspresi.

Orang yang tidak dapat menerima perbedaan, alih-alih lebur dalam dialog dengan orang lain, pada hakikatnya gagal memahami diri dan sesamanya. Dialog hanya akan menjadi substansi “palsu” jika tanpa dilandasi oleh sikap mental yang baik. Hal itu hanya mungkin dilakukan melalui pendidikan.

Kriteria tersebut ada pada pendidikan multikultur. Melalui pendidikan multikultur, individu diajak untuk melihat contoh konkrit bahwa kebudayaan tidak statis, melainkan proses yang terus menjadi (being). Unsur-unsur riil pendidikan multikultur bisa ditemukan pada pendidikan kewiraan, kepramukaan, PKN, sejarah, budi pekerti, dan agama.

Sinergitas dialog dengan pendidikan multikultur tidak ubahnya impelementasi teori ke dalam praktik. Pengarus-utamaan dua hal pokok itu ke dalam Kurikulum Nasional akan menghasilkan apa yang menjadi “tagline” Presiden Jokowi sebagai “Revolusi Mental”.  Generasi Y dan Z (baca : milenial), calon pemimpin bangsa diharapkan tidak lagi terpenjara oleh dendam dan konflik yang bisa mengoyak tenun kebangsaan Indonesia di masa depan.

Hendra Mas Martayana
Hendra Mas Martayana
Penulis I Ik ben Een Vrijmaan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.