Jumat, Maret 29, 2024

Menelisik Tradisi Kawalu Suku Baduy

rahmaliaintan
rahmaliaintan
Universitas Gadjah Mada

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 13.400 lebih pulau. Oleh karena itu, suku-suku di Indonesia juga beraneka ragam—tradisi (adat) dan budaya—seiring dengan banyaknya pulau yang ada. Seiring dengan perubahan zaman, beberapa suku di Indonesia masih berusaha menjaga keaslian tatanan sosialnya yang telah turun temurun.

Salah satunya, Suku Baduy. Suku Baduy yang dikenal juga dengan sebutan Urang Kanekes berada di bawah kaki Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten (Khomsan dkk, 2012). Suku Baduy terdiri dari dua bagian besar, yaitu: Baduy Luar  dan Baduy dalam. Secara sederhana, perbedaan keduanya berdasarkan pada bagian “kelonggaran/kebebasan” dalam menjalani keseharian.

Baduy Luar diizinkan menggunakan elektronik, sandal, transportasi, dan pakaian bebas. Dilihat dari letaknya, Kabupaten Banten merupakan daerah yang cukup dekat dengan ibu kota. Namun, tatanan kehidupan Suku Baduy dan masyarakat ibu kota terlihat jauh berbeda.

Suku Baduy masih memegang teguh tradisi dan budaya leluhur di era modern ini. Sayangnya, seringkali Suku Baduy terasa tidak menjadi bagian dari Indonesia karena adanya persepsi di masyarakat umum bahwa tradisi dan budaya suku “pedalaman” tidak relevan di era modern.

Dalam konteks ini, ditarik satu benang merah bahwa sejatinya baik Suku Baduy maupun masyarakat lainnya merasakan satu hal yang sama yaitu rasa persatuan. Hal ini terlihat dalam tradisi turun temurun Suku Baduy Dalam, yaitu Kawalu.

Maka dari itu, tim mahasiswi Fakultas Ilmu Budaya UGM yang berjumlah tiga orang: Charistya Herandy (Antropologi Budaya), Aisyah Suki Pratiwi (Sastra Prancis), dan Rahmalia Intan Sulistiyawati (Sastra Prancis) melalui dana hibah dari Kemenristekdikti; melakukan penelitian lapangan ke suku Baduy—berfokus pada Baduy Dalam. Penelitian kami menggunakan metode observasi partisipan dan wawancara mendalam.

Dalam keseharian, kami memilih wawancara dalam bungkus obrolan santai dengan masyarakat Baduy. Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan yaitu dari tanggal 23 April 2019-23 Mei 2019.  Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka pandangan baru di masyarakat umum mengenai keteguhan suku Baduy dalam menjunjung kesatuan Negara Indonesia.

Tradisi Kawalu: Doa untuk Negeri

Tradisi Kawalu disebut juga sebagai bulan suci bagi suku Baduy. Tradisi ini dilakukan selama tiga bulan setiap tahunnya (pada bulan Kasa, Karo, Katiga), lebih tepatnya di daerah Baduy Dalam. Kawalu diisi dengan doa-doa untuk memohon keselamatan alam dan manusia.

Dalam pelaksanaannya, masyarakat suku Baduy berpuasa sehari tiap bulannya. Selama Kawalu berlangsung, turis lokal ataupun mancanegara, pejabat daerah, dan pejabat Negara tidak boleh memasuki wilayah Baduy Dalam;  terdiri dari Desa Cibeo, Desa Cikawartana, dan Desa Cikeusik.

Tradisi Kawalu juga dimaksudkan sebagai  upacara untuk berdoa meminta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar negara ini diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Berangkat dari sinilah,  kami melihat adanya nilai nasionalisme di dalam Tradisi Kawalu yang dapat diangkat sebagai pendukung dari integrasi nasional.

Hal ini dikarenakan suku Baduy Dalam terkesan “jauh”, “pedalaman”, “primitif” seakan bukan bagian dari Indonesia. Namun, bukan berarti tidak dapat terintegrasi, sebaliknya, justru dalam tradisinya terdapat kecintaan dan kesetiaan pada negeri—yang juga menjadi pendukung dari integrasi di lingkup nasional.

Nasionalisme dalam Tradisi Kawalu

Masyarakat Baduy memiliki pandangan dan keyakinan mengenai keterkaitan alam-manusia-tradisi, maka dari itu “keamanan, kedamaian, dan kesejahteraan” dalam tradisi ini berorientasi dan dimaksudkan agar negara terhindar dari bencana alam. Mereka meyakini bahwa tradisi kawalu ini bukan hanya untuk memohon terhindar dari bencana alam, namun juga mencegah/menjauhkan bencana alam dari manusia (negara).

“Bila tidak dilakukan (kawalu) akan terjadi bencana alam. Kawalu terus dilakukan untuk menjalankan tanggung jawab suku Baduy dalam menjaga seluruh bangsa (negara Indonesia), seluruh jelma, seluruh buana (hutan), dan lain-lain.” (Percakapan dengan Ayah Sain, 11 Mei 2019, Desa Cikeusik)

Masyarakat Suku Baduy juga meyakini bahwa mereka diberi tanggung jawab suci dari Yang Kuasa berupa “Setangkup lemah”; artinya “seluruh makhluk dan alam yang ada di bumi (tanah:lemah) ini”. Semuanya itu dititipkan dan diamanahkan pada suku Baduy sehingga harus dijaga melalui pelaksanaan tradisi—khususnya kawalu.

Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak”, yang artinya gunung tak boleh dihancur, lembah tak boleh dirusak. 

Selain itu, kedua nilai ini juga berkaitan dengan permohonan akan terhindarnya konflik antar umat indonesia—baik yang berbeda etnis maupun keyakinan. Hal ini juga dikatakan oleh beberapa narasumber kami “masing-masing agama harus kuat dan tetap ada di Indonesia; suku Baduy mendukung dan menghargai semua keyakinan (agama)”.

Tradisi Kawalu: Strategi Pendukung Integrasi Nasional

Pada tulisan Heddy Shri Ahimsa-Putra yang berjudul “Integrasi Nasional dan Ancaman yang dihadapi”—dalam Kuliah Umum Koentjaraningrat Memorial Lecture VX/2018—secara singkat, menelaah pandangan Koentjaraningrat mengenai hadirnya integrasi nasional dalam proses yang terus berlangsung melalui  transformasi kebudayaan yang memperkuat kesatuan bangsa dengan tetap mempertahankan eksistensi kebudayaan-kebudayaan suku bangsa.

Menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra (2018), integrasi nasional dapat kita definisikan sebagai situasi di mana segenap anak bangsa dan kolektivitas yang mereka bentuk tetap sepakat berada dalam sebuah negara kesatuan, NKRI. Melemahnya semangat integrasi yang disertai oleh menguatnya loyalitas maupun solidaritas kesukubangsaan (apalagi yang berdimensi politik) dan etnisitas tidak jarang dapat menggiring suatu bangsa yang majemuk kepada muara disintegrasi (Poerwanto, 1998).

William Liddle (1970) mengidentifikasikan penghalang dalam integrasi nasional; yaitu yang berakar pada dimensi pembelahan horizontal, yaitu perbedaan suku bangsa, ras, agama, dan geografis.

Oleh karena itu, loyalitas dan solidaritas nasionalisme harus lebih kuat dibandingkan semangat primordial. Alih-alih mempertentangkan nilai-nilai dari budaya suku tertentu dengan nilai-nilai nasionalisme demi kepentingan integrasi, lebih baik menemukan benang merah dari keduanya.

Kesukubangsaan atau keanekaragaman suku penting untuk dipahami, dikaji, dan ditelisik lebih dalam bagi negara dengan penduduk plural, agar keanekaragaman suku bangsa dapat dikembangkan sebagai strategi nasional ke arah terwujudnya integrasi nasional (Koentjaraningrat, 1993).

Dalam hal ini, Tradisi Kawalu dapat menjadi satu contoh dan pengujian strategi dalam kaitannya dengan integrasi nasional. Tradisi Kawalu nyatanya telah memiliki nilai-nilai nasionalisme tersendiri yang juga dihidupi oleh masyarakat Baduy. Selanjutnya, perlu ada pengenalan mengenai Tradisi Kawalu ke pada masyarakat luas. Pengenalan yang diperlukan bukan hanya sebatas publikasi namun, memperkenalkan nasionalisme yang diangkat dalam Kawalu.

rahmaliaintan
rahmaliaintan
Universitas Gadjah Mada
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.