Sabtu, April 20, 2024

Menelisik Budaya Pragmatis dalam Dunia Perguruan Tinggi

Mu'min Boli
Mu'min Boli
Penulis Buku "Generasi Transisi dan Turbulensi Politik (Catatan Kritis Anak Bangsa)".

Pendidikan tinggi Indonesia di abad 21 ini mengalami transformasi yang begitu signifikan. Di bawah kepemimpinan “Mas Menteri” Nadiem Makariem dengan gebrakan kebijakan “merdeka belajar” bagi pendidikan tinggi bertajuk “kampus merdeka” cukup merubah wajah pendidikan tinggi saat ini.

Kebijakan kampus merdeka ini diantaranya: pembukaan program studi baru, sistem akreditasi perguruan tinggi, perguruan tinggi negeri badan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi.

Kebijakan ini menurut Mas Menteri adalah tahap awal unutk melepaskan belenggu agar perguruan tinggi lebih mudah bergerak dan terintegrasi dengan dunia industri. Seiring berjalannya program merdeka belajar yang sudah berlangsung sampai episode ke-19 “Rapor Pendidikan Indonesia” juga dengan polemik revisi Undang-Undang (UU) 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang mana nantinya revisi UU Sisdiknas ini bakal melebur tiga UU menjadi satu; UU Sisdiknas itu sendiri, juga UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen serta UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, nampaknya wajah pendidikan nasional kita masih suram dan belum menunujukan wajah cerah nan ceria yang filosofis dan mempunyai konsepsi yang paten berlandaskan konstitusi.

Terlepas dari itu semua, dalam essay kali ini, penulis ingin lebih spesifik mengulas perihal kebijakan kampus merdeka yang cenderung pragmatis. Hal ini perlu kita bongkar sebab banyak asumsi liar yang berkembang di masyarakat bahwa kuliah adalah investasi masa depan atau kuliah identik dengan mencari kerja. Namun, benarkah cara berpikir yang demikian? Mari kita ulas secara sistematis dan konstruktif sehingga asumsi liar itu bisa kita dekati secara akademis.

Industrialisasi Pendidikan Tinggi

Infiltrasi ideologi pasar (baca: Neoliberalisme) dalam dunia pendidikan merupakan biang kerok sehingga dunia pendidikan kita kehilangan falsafah kultur nasionalisnya. Akibatnya, ada pergeseran makna pendidikan, ini bisa diafirmasi dengan munculnya anggapan kuat di masyarakat kita bahwa dengan berpendidikan tinggi maka akan semakin mudah menuju kesuksesan karena pekerjaan yang layak akan segera dituai.

Miris memang! Pendidikan kini hanya dimaknai secara sempit sebagai medium investasi masa depan yang gemilang. Selanjutnya, akibat infiltrasi ideologi pasar ini pula institusi pendidikan yang seharusnya otonom telah menjadi sasaran empuk para stakeholder dan shareholder (baca: investor) yang jahil untuk mencari pundi-pundi kekayaan lewat skema komersialisasi pendidikan. Dan nahasnya lagi dunia pendidikan didesain sehingga link and match dengan dunia industri dalam program kampus merdeka.

Pandangan masyarakat yang sudah terstigamtisasi akut bahwa dengan berpendidikan tinggi maka pekerjaan yang layak akan menghampiri, ini tak lain dan tak bukan adalah imbas industrialisasi dalam dunia pendidikan sehingga budaya pragmatis menjadi nilai yang sakral dan diagungkan.

Berangkat dari itu maka muncul pertanyaan, apakah memang institusi pendidikan kita selama ini betul-betul tunduk dan patuh terhadap korporasi? Link and Match ini adalah konsep yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Namun kenyataannya, program ini terlihat seperti hubungan timbal balik antara penjual dengan pembeli: sekolah mencetak tenaga kerja, negara menjualnya, perusahaan industri membelinya. Artinya, sekolah atau kampus hanya dianggap sebagai modal untuk meraih pekerjaan lewat ijazahnya. Disamping itu juga, tingkat pengangguran justru kian bertambah.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2021 sebesar 6,49 persen. Terdapat 21,32 juta orang (10,32 persen penduduk usia kerja) yang terdampak COVID-19. Terdiri dari pengangguran karena COVID-19 (1,82 juta orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena COVID-19 (700 ribu orang), sementara tidak bekerja karena COVID-19 (1,39 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (17,41 juta orang).

Tentu, kuranglah bijaksana jika kita melihat pengangguran dan kemiskinan sebagai fenomena yang diakibatkan oleh kesalahan individu yang malas sekolah, malas kerja, dan bodoh secara akademik.

Melihat hal tersebut, pemerintah seakan menjadi mesias dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan lewat program kampus merdeka yang konsepnya Link and Match dengan dunia indsutri yang mana nantinya hak belajar tiga semester di luar program studi atau setara dengan 20 SKS, disamping itu program ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan industri sehinngga pengangguran berkurang dan kemiskinan teratasi. Harus dicatat bahwa kemiskinan hari ini merupakan kemiskinan struktural yang tidak dapat dipisahkan dengan peran pemerintah serta akibat dari beberapa kebijakan, termasuk dimudahkannya investasi di bidang industri.

Hal ini diperparah dengan program Link and Match yang mengintegrasikan pendidikan dengan perusahaan berbasis kapitalisme atau kepemilikan alat produksi secara pribadi. Jadi jangan pernah lagi ada anggapan bahwa kemiskinan adalah akibat kita saja yang malas bekerja dan bodoh secara akademik, serta tidak memiliki soft skill maupun hard skill, tapi kemiskinan dan kesenjangan social adalah akibat system social yang eksploitatif dan lebih memberikan karpet merah bagi mereka yang punya privilese.

Corporate Values dan Academic Values

Ada sebuah postulat jenaka dikalangan para akademisi dedengkot bahwa “sebuah perguruan tinggi yang tidak mengikuti arus pasar, maka perguruan tinggi itu sakit”. Ini sebuah pernyataan yang tentunya terkesan superior dan menegasikan ruang lingkup realitas akademik yang dialektis dan ilmiah.

Di sisi lain juga, seolah-olah dan seakan-akan memposisikan korporasi lah rantai produksi tertinggi yang membelenggu institusi pendidikan. Ini sungguh menyesatkan dan perlu dirukiah pernyataan ini dengan pertanyaan, Apakah yang perlu menjadi nilai utama atau standing point dari institusi pendidikan? nilai korporasi ataukah nilai akademik?

Jika pertanyaan itu dijawab maka sekiranya begini jawabannya. Nilai korporasi tentu ditopang oleh ideologi pasar, sedangkan nilai akademik adalah pranata dari institusi pendidikan itu sendiri. Ideologi pasar jelas berbeda dengan ideologi pendidikan. Ideologi pendidikan lebih mementingkan nilai etis-humanistik, sedangkan ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai pragmatis-materialistik dan menekankan kompetisi dibanding kolaborasi.

Ketika ideologi pasar atau nilai-nilai korporasi yang mendominasi dunia perguruan tinggi maka pendidikan kita akan menekankan penguasaan teknik-teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja. Inilah masalah yang hampir kita temui disebagian perguruan tinggi di negeri ini, dimana program kampus merdeka yang seharusnya menjamin kebebasan akademik, malah  adalah salah satu program yang diselaraskan dengan kebutuhan pasar, walhasil kemerdekaan seperti apa yang dimaksud pun menjadi ambigu.

Akhirnya, asumsi berpendidikan atau bersekolah sama dengan mencari kerja adalah akibat pengaruh budaya pragmatisme. Harus diingat! mencari kerja adalah bagian dan lagi-lagi bukan tujuan utama kaum terdidik.

Mu'min Boli
Mu'min Boli
Penulis Buku "Generasi Transisi dan Turbulensi Politik (Catatan Kritis Anak Bangsa)".
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.