Membaca kehidupan Yesus secara historis dari kacamata politik menampilkan wajah Yesus yang kontras dengan visi konservatif tentang Kristus yang mistis, spiritualis, dan apolitis. Di tengah kerusuhan politik dan agama di Yudea yang diduduki Romawi, Yesus muncul sebagai tokoh revolusioner yang menantang kedaulatan Roma.
Inti pesan Yesus adalah visi kemanusiaan yang inklusif. Ajarannya menjangkau kaum terbuang dan terpinggirkan serta memperingatkan bahaya keserakahan dan cinta dunia melebihi cinta kepada Tuhan. Sementara saat ini warisan ide politiknya sebagian besar dilupakan atau diencerkan oleh interpretasi kelembagaan, semangat revolusioner dari pesan dan aksi politiknya tetap hidup dalam sejarah kisah hidupnya.
Kekristenan arus utama cenderung mereduksi sisi revolusioner Yesus yang historis, dan lebih mengambarkannya sebagai tokoh spritual lemah lembut yang jauh dari watak subversif. Namun, pengadilan dan penyalibannya dalam konteks Yudea yang dikuasai Roma mengungkapkan kisah berbeda yang jelas-jelas politis dan revolusioner.
Sebagai gambaran, penyaliban hanya dilakukan oleh orang Romawi untuk para pemberontak dan budak yang melarikan diri. Orang yang disalibkan dipajang di depan khalayak ramai, tujuannya untuk mengintimidasi massa dan menegaskan kekuatan dari kekuasaan tertinggi Roma.
Yesus adalah sosok yang sangat populer di kalangan rakyat jelata, duri dalam daging bagi konglomerat kaya raya, dan pembela orang-orang yang dirampas haknya oleh penguasa. Atribut-atribut tersebut sudah cukup membuatnya memenuhi kriteria untuk menjadi ancaman potensial bagi kekuasaan kekaisaran Roma.
Parahnya lagi, Yesus adalah pemimpin gerakan rakyat mesianik. Seruannya untuk menegakkan “Kerajaan Allah” ditafsirkan sebagai tantangan langsung terhadap kedaulatan kekaisaran Romawi. Plakat bertuliskan “Raja Orang Yahudi” yang diletakkan di atas kepalanya di momen penyaliban menebalkan pandangan Romawi tentang Yesus sebagai seorang Revolusioner (Aslan, 2014).
Gagasan Politik Revolusioner Yesus
Dalam ajaran etika kuno, seperti Yunani yang banyak dianut zaman itu, perhatian moral sebagian besar terbatas pada keluarga, teman, dan mereka yang dianggap setara secara sosial. Yesus mengambil jalan radikal dengan memperluas belas kasih ke semua orang yang membutuhkan. Membantu mereka yang membutuhkan tidak dilihat sebagai sekadar kebajikan, tapi dibingkai sebagai tujuan utama dalam hidup. Kontras dengan cita-cita Yunani kuno tentang eudaimonia yang menekankan pada pengejaran kehidupan yang memuaskan dan membahagiakan diri sendiri.
Bart Erhman (2023) mendeskripsikan ajaran Yesus sebagai “Jewish ethics on apocalyptic steroids.” Sebagai seorang yahudi apokaliptik, Yesus percaya bahwa akhir sudah dekat. Kerajaan surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang melepaskan kepentingan materi, dan mengabdikan diri kepada Tuhan dengan hidup sepenuhnya dan tanpa pamrih bagi orang lain.
Diantara kritik Yesus yang paling keras salah satunya adalah kritiknya terhadap “pencinta uang” dan keserakahan manusia. Dalam Injil Lukas (16:13), Yesus menyatakan bahwa ‘tidak ada seorang hamba pun yang dapat mengabdi kepada dua tuan’ (Tuhan dan kekayaan), dengan menekankan bahwa Tuhan dan Mamon (kekayaan) adalah objek kesetiaan dan keinginan yang tidak cocok (Pickett, 2009).
Dalam bahasa Ibrani, Mamon berarti ‘uang’, dalam bahasa Aram di Perjanjian Baru, istilah ini umumnya merujuk pada kekayaan materi, uang, dan pengejaran yang dilandasi keserakahan. Dalam artian tersebut, Mamon melambangkan dunia yang digerakkan oleh kompetisi dan kepentingan pribadi yang penuh rasa tidak peduli. Pesan Yesus tentang saling ketergantungan, berbagi, dan persahabatan yang penuh kasih sangat kontras dengan panorama dunia semacam ini.
Bagi Yesus, mengutamakan pengejaran kekayaan dunia di atas kekayaan rohani bukan sekadar kegagalan pribadi, tapi merupakan masalah sistemik. Cinta kepada Mamon adalah gerbang menuju sistem persaingan yang mengutamakan previlese kaum kaya ketimbang kaum miskin. Keserakahan, kekuatan destruktif, bertentangan dengan seruan Yesus untuk kehidupan yang makmur dengan berbagi kelimpahan dan persekutuan suci.
Sikap yesus yang radikal dan inklusif menentang norma-norma agama dan budaya pada zamannya. Ia merangkul mereka yang terdiskriminasi dan terpinggirkan dalam masyarakat, berkomunikasi dengan penderita kusta, mengampuni orang berdosa, dan menyembuhkan orang lumpuh dan buta.
Kasih Yesus yang mengalir bagi mereka yang dianggap tidak berguna dan tidak berharga, yang terabaikan, terhina, dan terpinggirkan, menegaskan penolakan terhadap fanatisme kesukuan dan egosentrisme pribadi demi hubungan kemanusiaan yang universal. Seruannya jelas, bahwa liyan bukanlah musuh atau orang asing, tetapi tetangga dan teman.
Gagasan Yesus yang revolusioner menuntut belas kasih bagi yang lemah, tertindas, dan terbuang lebih diutamakan daripada kesetiaan kepada suku, adat, atau tradisi. Melalui aksi dan ajarannya, Yesus menawarkan visi tentang kasih dan inklusi yang tetap menantang dalam konteks zaman kita hari ini seperti pada zamannya sendiri.