Mencari figur pemimpin bangsa pada masa depan memang tidak gampang. Figur presiden yang bakal tampil tidak bisa dijamin sama atau sekualitas dengan sosok yang dibutuhkan rakyat.
Keinginan rakyat untuk mempunyai sosok presiden ideal sesuai tuntunan zaman memang sulit direalisasikan. Presiden dambaan rakyat pada masa depan adalah sosok atau figur yang super dalam segala sisi.
Ia merupakan figur sentral yang sudah melewati masa transendental dari keserakahan duniawi. Mereka tidak lagi figur yang mengejar kekayaan. Menumpuk harta benda dan sejenisnya.
Jiwa mereka sudah kaya sehingga tidak perlu lagi menghabiskan waktu untuk mencari kaya secara material, menjadi sekuler, lantas dari hari ke hari mendemonstrasikan ketrampilan manajerial untuk mengelola keadaan yang memungkinkan bertambahnya kekayaan duniawi.
Figur seperti itu dimiliki oleh pribadi papan depan. Mereka telah melalui tahapan bosan pada kekayaan duniawi dan menganggap pengabdian untuk kepentingan sesama merupakan kebutuhan primer. Soal harta benda sudah masuk tahapan kebutuhan tersier. Nah, kalau kita punya figur pemimpin nasional semacam ini tentu rakyat bakal tata tentrem karta raharja.
Adapun kepemimpinan yang ideal adalah yang mampu memberikan apresiasi terhadap aktualisasi nilai-nilai menjelang abad ke-21: demokrasi, keadilan sosial, multi-distribusi, dan seterusnya.
Ia sebaiknya punya kecenderungan lebih sebagai negarawan. Sepak terjang dan pola kepemimpinannya memberi warna dan suasana sejuk, damai, dan memberi dorongan semangat luar biasa kepada rakyat. Memberi proteksi kepada rakyat. Yang dipimpin pun bakal menjadi pribadi-pribadi yang utuh, tidak compang-camping, tidak sekuler.
Sebagai bangsa yang memiliki tatanan adiluhung. Indonesia tentu menginginkan prototipe presiden sekualitas terbaik mungkin. Itu keinginan wajar, bukan sesuatu yang muluk. Dengan memiliki pemimpin seperti itu, bangsa ini diharapkan muncul sebagai sang pelopor perdamaian. Menjadi pelopor kemanusiaan atau nilai-nilai kandungan demokrasi dan berdimensi keadilan sosial.
Lalu, apakah sang presiden nanti bakal menempatkan filosofi budaya sebagai panglima dalam menerapkan konsep kepemimpinan? Nah, tentang ini rasanya tidak sejauh itu. Kendati memang sesudah melalui berbagai puncak keterbedayaan politik dan ekonomi, dimensi budaya akan tampil sebagai konversi zaman.
Titik busuk kekurangberadaan manusia sudah berkelanjutan, berkepanjangan, sehingga akan muncul semacam “musim semi” budaya kemanusiaan dan respiritualisme. Tampilnya figur presiden dari kalangan budayawan atau bahkan budayawan langsung memang menarik. Namun, tidak sejauh itu.
Hanya saja peran untuk aspirasi kebudayaan memang akan lebih luas lagi. Ibarat kalau masa sebelumnya biduk aspirasi kebudayaan hanya melaju sepersekian detik saja, kelak bakal lebih maju lagi. Suara dan sisi gerak kaum budayawan bakal memperoleh wilayah kreativitas lebih longgar.
Format peran kaum budayawan dalam kepemimpinan nasional tidak harus personal, mungkin interpersonal. Misalnya, pertimbangan-pertimbangan kebudayaan akan lebih diperhatikan, meski belum tenti diformulasikan secara institusional. Ini sungguh kemajuan dan tuntunan zaman yang tidak bisa dipungkiri, apalagi ditolak.
Calon presiden maupun wakilnya yang akan memimpin republik besar ini wajib di-screening sebelum tampil di singgasana kekuasaan. Sebab, ia bukan hanya sekadar pemimpin bangsa, melainkan juga menjadi teladan dari lebih dari 200 juta jiwa. Jadi, kedua-duanya harus di-screening seluruh sisi kehidupannya.
Sama halnya dengan presiden, wakil presiden juga menjadi simbol dari konfigurasi nilai-nilai ideal. Rakyat Amerika saja masih rewel soal moral pemimpinnya, padahal mereka sudah maju dalam segala hal. Untuk itulah kita wajib menerapkan screening secar ketat kepada presiden dan wakilnya.
Peran kaum profesional dalam menggolongkan figur siapa yang bakal menjadi presiden mestinya ada resultan. Jangan sampai kalangan profesional, entah itu dari kalangan bisnis, intelektual, pers, industri, atau yang lainnya yang berdiam beku, ikut-ikutan tanpa reaksi atau tanpa punya sikap mandiri.
Resultan dari mereka sangat dibutuhkan. Hanya saja sejauh ini masih tetap sulit ditentukan formula untuk memengaruhi sabda pemimpin. Formula itu belum ada sehingga sabda pemimpin seperti undang-undang tidak tertulis yang harus diikuti semua pihak, termasuk kaum profesional.
Dan kita sebagai rakyat biasa tinggal menunggu datangnya tahun 2019. Dengan sekuat tenaga dan kemampuan kita, sangat dianjurkan supaya berperan aktif dalam menyeleksi dan menggunakan akal sehat serta hati nurani dalam memilih calon presiden pilihan masing-masing. Antara Joko Widodo-Ma’ruf Amin atau Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Patut diingat pula, bagi presiden terpilih nanti, nilai-nilai luhur yang tersohor di bumi Indonesia, patut dikuasai kembali. Sebab, dalam waktu yang sangat lama nilai-nilai luhur tersebut bersemayam di dua tempat. Pertama, ada di gua persembunyian yang terletak jauh di lubuk hati nurani manusia dan masyarakat kita. Kedua, di tembok-tembok, tertempel sebagai aksesori atau hiasan. Nah, karena itu, kini kita wajib segera memunculkan ke tempat yang sesuai.