Kini kita tengah berada dalam situasi yang sarat emosionalitas beragama dalam bingkai kehidupan berbangsa. hari ini kita disuguhkan suhu politik yang kian memanas jelang pileg dan pilpres 2019 yang hanya menunggu hitungan pekan dan hari.
Tensi dan eskalasi hiruk pikuk politik mulai meninggi dari masing-masing calon dan pendukungnya. Di sisi lain, nampak ada ancaman sekaligus tantangan tersendiri bagi kehidupan bangsa dalam bingkai kerukunan umat.
Memaknai situasi hari ini, paling tidak ada tiga dimensi penting untuk memaknai bersama dengan pikiran jernih. Pertama, atmosfir politik ini terus menghangat karena hari ini kelanjutan dari rangkaian pemilukada serentak 2018 kemarin.
Tercatat, tak kurang sebanyak 171 daerah akan berpartisipasi pada ajang pemilihan kepala daerah tahun lalu. Dari 171 daerah tersebut, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang itu masih menyisakan letupan-letupan emosionalitas berdemokrasi di kalangan sebagian umat. Dan itu perlu disikapi dengan bijak dan arif oleh capres dan cawapres serta caleg.
Kedua, tahun politik hendaknya dimaknai titik balik rekonsiliasi. Momentum ini selaiknya dijadikan sebagai kekuatan setiap elemen bangsa untuk bersatu padu. Mengantarkan bangsa ini ke arah yang lebih baik, maju dan bermartabat.
Selama ini, disadari atau tidak telah terjadi disparitas kepentingan yang kemudian memunculkan perpecahan di kalangan umat dan kehidupan berbangsa. Kerukunan acapkali umat terciderai oleh segelintir kepentingan elit dan intrik politik oportunis.
Berbicara kerukunan umat, penulis meyakini itu sebagai embrio sekaligus modal dasar untuk membangun peradaban mulia sebuah bangsa. Kerukunan umat menjadi pertaruhan terakhir maju mundurnya sebuah negara. Tak ada kehidupan masyarakat yang harmonis, damai, aman, tenteram, dan maju tanpa diawali terciptanya kerukunan di dalam tananan sosial.
Ketiga, tahun politik 2019 hendaknya juga dimaknai sebagai momentum untuk mengembalikan wajah damai agama, khususnya Islam. Jika di tahun-tahun sebelumnya kita dipertontonkan aksi anarki, kekerasan, dan intoleransi yang mengatasnamakan agama.
Maka di tahun politik ini kita selaku umat Islam berkewajiban mengembalikan Islam dimaknai secara generik. Oleh karenanya, diperlukan sebuah terobosan intlektual (intellectual breaktrough) untuk mengembalikan jati diri bangsa yang ramah dan santun dengan tagline teologi rahmatan lil alamin.
Teologi Rahmatan lil Alamin
Berbekal teks normatif agama, Alquran, seyogianya dipahami sebagai sebuah doktrinitas yang universal. Alquran menjadi hudan li al-nass wa bayyinat min al-huda wa furqan, dan keberadannya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi aspek kehidupannya. (Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’I, 2000: 27).
Melalui teks-teks suci Alquran, sejatinya Allah menegaskan akan pentingnya teologi yang di sebut teologi rahmatan lil alamin. Istilah ini sengaja penulis pilih untuk menampilkan dan mengedepankan ciri Islam sebagai agama yang damai, penuh kasih, anti kekerasan, dan menyapa semua makhluk –terlepas dari perbedaan asal usul agama dan keyakinan. Hal ini tentunya berdasar pada firman Allah swt: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Qs. Al-Anbiya/21:107).
Jika kalimat rahmatan lil alamin disinergikan dengan kata Islam yang berarti patuh dan berserah, jelas kata itu kian menegaskan dengan amat gamblang bahwa teologi rahmatan lil alamin adalah keniscayaan yang mutlak. Agaknya inilah yang menjadi kunci peradaban Islam di sepanjang sejarahnya dan akan terus menjanjikan di masa depan.
Teologi rahmatan lil alamin sejatinya bertujuan mengukuhkan kelembutan dan pengutamaan khusnuzan atau prasangka baik. Konsekuensi dari argumen ini adalah penolakan mutlak tindakan kekerasan, sekalipun dengan dalih menegakan amar ma’ruf nahyi munkar. Praktik teologi rahmatan lil alamin pun telah dianjurkan Rasulullah Saw, seperti termaktub dalam hadits: “Barangsiapa tidak mengasihi dan menyayangi manusia, maka dia tidak dikasihi dan tidak disayangi Allah”. (HR. Bukhari).
Konsep teologi rahmatan lil’alamin menyaratkan dua aspek. Pertama, Islam perlu dimaknai sebagaimana adanya Islam itu secara generik yang bermakna kedamaian dan keselamatan bagi seluruh makhluk. Jadi, orang yang mengaku beragama Islam seyogianya dia mesti mampu menebar benih-benih perdamaian dan jaminan keselamatan bagi siapa saja yang berada di sampingnya. Tak peduli dia berbeda suku, ras, bangsa, ataupun keyakinan maka umat muslim wajib memberikan garansi hidup aman dan nyaman.
Kedua, teologi rahmatan lil alamin perlu ditarik ke dalam dimensi sosial. Mendekatkan perspektif transendetal dan kehidupan dunia dengan memberikan ruang yang luas bagi proses sosial, maka konsepsi rahmatan lil’alamin menemukan momentum dalam kehidupan dunia. Konteks sosial kemasyarakatan memang menjadi lahan subur bagi implementasi dan pengembangan konsepsi rahmatan lil’alamin.
Beragama (Islam) seharusnya mendorong setiap pemeluknya untuk dapat melahirkan sikap toleran, empati dalam perspektif sosial kemasyarakatan. Inilah pantulan dari gagasan rahmatan lil’alamin yang ditawarkan oleh Islam sebagai agama yang mengusung nilai-nilai universal. Sebagai individu kesadaran sosial dalam masyarakatnya yang dilandasi oleh moralitas sosial yang berangkat dari perspektif agama dan nilai sakral masyarakatnya yang terinternalisasi dalam kesadaran dirinya. Inilah yang mendorong loyalitas individu di dalam masyarakatnya di mana mereka berada.
Ala kulli hal, menyongsong tahun politik mestinya dibarengi optimisme bahwa ruang dan kesempatan memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara masih terbuka lebar. Centang-perenang kehidupan masyarakat saatnya dirajut kembali dengan benang kerukunan. Jalinan harmonisme kehidupan bermasyarakat penulis yakini bisa dijembatani dengan mengetengahkan Islam sebagai doktrinal rahmatan lil alamin. Islam yang mampu menjadi pembawa kedamaian dan keselmatan bagi siapapun dan dimanapun, itulah makna generik Islam. Wallahu a’lam bishawab.