Kamis, April 25, 2024

Menebak Arah Rekonsiliasi Pasca Putusan MK

Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali
Pecinta kopi, buku dan sastra. Penulis yang belum tenar.

Riuh, rendah pesta politik masih terasa hingga detik ini. Masyarakat masih terus disajikan oleh berita-berita terkait Pemilihan Umum 2019 utamanya terkait dengan sidang sengketa hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK).

Berbagai segmen peristiwa silih berganti datang dan menumbuhkan ‘sengketa’ bagi pendukung dua kubu baik di tingkat atas maupun tingkat akar rumput. Salah satu yang sedang hangat diperbincangkan adalah terkait rekonsiliasi politik pasca putusan MK yang akan dibacakan pada Jumat (28/6/19) mendatang.

Secara simbolis, rekonsiliasi merupakan upaya melebur titik didih politik elite untuk menciptakan stabilitas suasana batin kebangsaan di akar rumput. Dalam artian, dengan adanya rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo diharapkan mampu mengembalikan marwah Kebhinekaan yang menjadi dasar terbentuknya bangsa yang majemuk ini. Ada harapan besar di balik rekonsiliasi tersebut meskipun harapan itu tidak mudah terwujud di tengah carut-marut Pemilihan Presiden sejak awal hingga detik ini.

Sejatinya, rekonsiliasi tersebut sudah berjalan dengan ditandai oleh tanda-tanda alam yang barangkali juga sudah dirasakan masyarakat terutama di kalangan akar rumput. Banyak anggota keluarga yang sebelumnya bersebrangan selama pilpres mulai hidup rukun kembali.

Kehidupan masyarakat juga telah kembali normal meskipun di dunia maya perdebatan sengit pendukung kedua kubu masih cukup panas. Pada level tertentu bahkan telah tumbuh rasa ‘legowo’ dari sebagian pendukung Prabowo yang menyatakan akan menghormati apapun keputusan MK. Hal serupa juga terlihat dari pernyataan Prabowo yang mengimbau pendukungnya untuk lapang dada apa pun putusan akhir MK. Satu sinyalemen kuat bahwa rekonsiliasi tinggal menunggu waktu.

Banyak pihak berspekulasi soal cara rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Pertama,tawaran model rekonsiliasi yang berupa power sharing dengan konsesi sejumlah menteri kabinet kepada Prabowo.

Sepintas lalu, tawaran itu tampak solutif. Namun, jika ditelaah lebih mendalam, justru langkah tersebut akan menimbulkan potensi konflik baru karena mereduksi islah menjadi sebatas jatah kekuasaan politik. Bagi pendukung militan Prabowo yang sudah sejak awal berharap besar kepadanya, bisa jadi rekonsiliasi politik model power sharing dianggap sebagai sebuah ‘penghianatan’ besar. Hal tersebut tidak lepas dari panasnya politik yang sudah  merambah kepada ranah agama.

Para pendukung militan itu tentu sangat berharap meskipun kalah di MK, Prabowo tetap konsisten dengan sikapnya untuk menjadi pihak oposisi. Tanda-tanda itu sudah sejak awal terlihat ketika ada sebuah perkataan “hanya kecurangan yang bisa mengalahkan Prabowo-Sandi”. Terlebih lagi Persatuan Alumni (PA) 212 masih bersikukuh untuk hadir melaksanakan aksi massa di depan gedung MK saat pembacaan putusan hasil sengketa Pilpres Jumat mendatang.

Kedua, tawaran rekonsiliasi yang substantif normatif. Tawaran ini berupa mengakomodasi semua agenda politik strategis Prabowo sebagai bagian agenda politik Jokowi ke depan. Meskipun pada akhirnya koalisi Prabowo memilih untuk tetap menjadi oposisi, tawaran ini masih sangat mungkin diwujudkan.

Hal tersebut tidak lepas dari visi dan misi kedua kubu yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi demi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Sebuah visi dan misi yang nyaris selalu muncul di setiap Pemilihan Presiden sejak tahun 2004 lalu.

Kesaamaan visi dan misi bisa dijadikan langkah awal untuk bisa mewujudkan rekonsiliasi yang subtantif normatif. Hanya saja, apakah kedua kubu akan sepakat untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara ini?

Mampukah kedua kubu mengesampingkan ego sekaligus kepentingan politik serta mengubur dalam-dalam dendam yang tertanam sejak tahun 2014 lalu? Mengingat persaingan yang terjadi tidak hanya sebatas antara Prabowo dan Jokowi namun juga pada koalisi partai bentukan masing-masing kubu. Tentu masih hangat ketika Partai Demokrat dan Parti Amanat Nasional (PAN) mulai merapat ke kubu sebelah pasca pengumungan hasil perhitungan suara oleh KPU.

Terlepas dari rekonsiliasi model apa yang akan digunakan oleh kedua kubu, sistim demokrasi yang dianut oleh bangsa ini menjadikan fragmentasi politik akan tetap terjadi. Pihak oposisi akan selalu ada terutama menjelang pemilihan presiden lima tahun mendatang. Sebuah keniscahyaan ketika akan ada pihak di kubu pemerintahan yang mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dibuat. Justru hal tersebut memang harus terjadi demi terciptanya keseimbangan berdemokrasi serta mencegah munculnya pemerintahan yang otoriter dan diktaktor.

Demokrasi tumbuh berkembang karena adanya heterogenitas, bukan keseragaman yang monolog. Ujian demokrasi terletak pada seberapa jauh pluralitas dalam segala hal dikelola secara produktif. Salah  satu hal yang paling penting dan harus dilakukan adalah dengan menghapus stigma anti-Islam versus anti-Pancasila, radikal versus moderat. Jika kedua stigma itu masih dijadikan kendaraan politik kedua kubua, menjadi hal mustahil untuk menciptakan kebersamaan demi memajukan bangsa ini.

 Ilustrasi Jokowi dan Prabowo (Foto: antaranews.com/ddn)

Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali
Pecinta kopi, buku dan sastra. Penulis yang belum tenar.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.