Si Anu mendadak rajin ke Mesjid. Mobil angkutan umum itu direm mendadak. Si Polen meninggal mendadak. Apa yang sidang pembaca bayangkan jika mendengar kata mendadak?
Mendadak itu kejadian yang tiba-tiba, tidak diduga. Dalam prakteknya, mendadak ini kontras berbeda jika dibandingkan dengan kebiasaan sebelumnya. Misalnya, jika si Anu mendadak rajin ke Mesjid, bisa dipastikan sebelumnya dia jarang atau bahkan tidak pernah ke Mesjid.
Di saat mobil angkutan umum direm mendadak menggambarkan kalau sopir tidak memperkirakan ada kambing lewat di depan, sehingga dia harus menekan pedal rem secara mendadak.
Begitu juga jika si Polen meninggal mendadak. Tiba-tiba, tidak ada tanda-tanda sebelumnya, seperti sakit misalnya.
Nah, bagaimana pula jika ada sekelompok orang mendadak Pancasila? Maksud saya begini. Selama ini Anda tidak mengakui Pancasila sebagai dasar kita bernegara, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, bahkan menganggapnya Thogut. Tapi Tiba-tiba, Anda mendadak mengatakan siapapun yang ingin merubah Pancasila adalah musuh negara, ibarat mobil tadi, saya pun terkejut mendadak.
Kalau kita bandingkan dengan beberapa peristiwa mendadak tadi, dapat diduga, tidak dimulai dengan perencanaan, tiba-tiba, tidak disangka, sekonyong-konyong.
Demikian halnya dengan sekelompok orang yang akhir-akhir ini mendadak pancasilais.
Sekelompok masa di akhir Juni 2020 menggelar aksi unjuk rasa untuk mendesak DPR dan Pemerintah menghentikan pembahasan Rancangan Undang Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP).
Mereka membangun narasi, jika ada upaya untuk mengubah Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Menurut mereka, ini perbuatan makar yang harus segera dibinasakan.
Ops, tunggu dulu. Sekilas, narasi yang mereka bangun sangat pancasilais, bahkan cocok disebut Front Pembela Pancasila. Kita harus mendukung demo berjilid-jilid untuk melawan rencana DPR dan Pemerintah itu.
Kalau perlu, setelah demo, untuk menjaga ukhuwah harus kita bentuk satu organisasi non profit: Persaudaraan Alumni 246. Isinya kumpulan orang Indonesia yang pro demo Pancasila.
Saya tidak membahas isi RUU HIP itu, yang sampai saat ini belum saya pelajari dengan tuntas. Namun menarik mencermati “ancaman” yang dialami Pancasila karena upaya pengkerdilan Pancasila menjadi Trisila dan seterusnya Ekasila.
Kalau kita mendengar saja tanpa membaca sejarah lahirnya Pancasila, diksi Tri dan Eka memang betul mengkerdilkan. Bayangkan saja, dari lima sila, menjadi tiga sila, lalu tinggal satu sila. Ini namanya korupsi sila, dan harus kita lawan bersama-sama.
Tapi tunggu dulu. Anda jangan terkecoh dengan narasi itu. Biar fair, apakah Anda pernah membaca pidato Sukarno (selanjutnya saya sebut Bung Karno) pada sidang BPUPK 1 Juni 1945?
Jika sudah, lanjutkan membaca tulisan ini, jika belum, demi kemaslahatan umat, tolong Anda baca dulu, biar kita berada dalam frekuensi yang sama.
Dalam sidang itu, Bung Karno menjawab pertanyaan ketua sidang Mr. Radjiman tentang dasar Indonesia Merdeka.
Bung Karno menjawabnya dengan kalimat “Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam Bahasa Belanda: “Philosofische grondlag” daripada Indonesia Merdeka.”
Bagaimana mengenai korupsi sila tadi? Begini. Masih dalam pidato itu, Bung Karno menawarkan kepada peserta sidang kalau lima kebanyakan, dapat diperas menjadi tigasila, kalau masih banyak, akan diperas menjadi satusila: Gotong Royong.
Nah, kan mulai tau sejarahnya Pancasila itu. Jadi, perkara Pancasila, Trisila, Ekasila itu bukan korupsi sila, apalagi hendak menjadikan Indonesia sebagai negara Komunis, kejauhan, Om!
Karena dalam pidato itu, Bung Karno juga menyetir berbagai dasar negara lain, diantaranya adalah Ibnu Saud di Saudi Arabia, Nazisme Hitler di Jerman, San Min Chu I negara Tiongkok.
Untuk Indonesia, dasarnya bukan monarki seperti Arab, Komunis seperti Cina atau Nazi Jerman. Tapi dasar yang dapat diterima oleh semua kelompok.
Kalau kata Bung Karno, dasar yang dapat disetujui oleh Yamin, yang disetujui oleh Ki Bagus, yang Ki Hajar setujui, yang Sanusi setujui, yang Abikusno setujui, dan Lim Koen Hian setujui.
Dalam perjalanan bangsa ini, Pancasila sudah merajut nusantara hampir 75 tahun. Pastilah, generasi kita sekarang tidak merasakan bagaimana pergulatan kebangsaan yang terjadi dalam perumusan dasar Indonesia Merdeka itu.
Orde baru juga sudah menafsirkan Pancasila sesuai selera kekuasaan. Bahkan, Pancasila dijadikan dasar untuk melemahkan manusia yang lain. Pancasila bukan lagi menjadi dasar bernegara, tapi menjadi alasan membinasakan.
Terhadap Pancasila ini, untuk mengetahui sejarahnya secara utuh mau tidak mau memaksa kita untuk membuka dokumen aslinya. Biar kita dapat merasa, meraba seperti apa yang dimakud oleh penggali Pancasila itu sendiri. Bicara Pancasila, itu artinya kita bicara tentang pidato Bung Karno 1 Juni 1945.
Tapi kan, penggali Pancasila bukan hanya Bung Karno, ada yang menyebut nama M. Yamin.
Baik. Dalam hal ini, saya menyetir tulisan Mahbub Djunaidi dalam bukunya Humor Jurnalistik, Mahbub dengan lugas menulis, bahwa yang menggali Pancasila adalah Bung Karno, bukan Yamin.
Menurut Mahbub, hal tersebut diakui sendiri oleh Yamin dalam seminar Pancasila, 16 Februari 1959 di Yogyakarta. Yamin, menurut Mahbub, secara teoritis menghubungkan Pancasila dengan teoritise, antitese, dan sintese-nya Friedrich Hegel, bukan menggali.
Wah, ternyata bisa panjang urusannya. Memang, tidak bisa instan. Untuk menjadi alim fikih, harus mondok sekian lama di pesantren. Untuk ahli tata negara, harus sekolah Hukum sekian lama.
Jangan karena suka sama Via Vallen, si pedangdut tersohor itu, lantas kita mendadak suka dangdut. Tapi sukailah dangdut karena musik dan liriknya mudah dimengerti oleh semua kalangan, mulai rakyat jelata hingga sosialita.
Begitu juga untuk paham Pancasila, tidak bisa mendadak. Harus membaca sekian naskah. Jangan sekonyong-konyong Pancasilais, apalagi mendirikan Front Pembela Pancasila, jangan!