Sebelum adanya negara, semua individu memiliki kebebasan untuk berpikir dan berkehendak. Olehnya, terjadi berbagai konsekuensi yang menunjukan bentuk-bentuk yang destruktif.
Derajat yang ekstrim, oleh Thomas Hobbes (1651) disebut Homo Homini Lupus, manusia bagai serigala yang dapat memangsa manusia lainnya. Pemikiran ini yang kemudian menyemai konsepsi kekuasaan negara absolut agar ada kendali dari keinginan memangsa tersebut.
Pemikiran yang lebih moderat manusia sebagai mahluk berpikir harus difasilitasi untuk berkembang. Negara diperlukan agar hak-hak individu terlindungi. Setiap individu memiliki kebebasan untuk. Pemikiran ini tercetus oleh John Locke (1689) dan dianggap sebagai pemikiran awal dari liberalisme.
Sekilas ada perbedaan dari dasar pemikiran kedua filsuf tersebut, tapi dipersatukan oleh kesamaan, bahwa negara perlu ada. Thomas Paine (1776) dalam Common Sense, menyatakan bahwa negara adalah kejahatan yang dibutuhkan.
Paine yang terinspirasi oleh Locke mampu membangun semangat revolusi yang puncaknya adalah kesepakatan berdirinya Negara Amerika Serikat (AS) melalui Declaration of Independen pada 2 Juli 1776. AS kemudian dianggap sebagai episentrum demokrasi dunia, setelah kiprahnya melampaui pola-pola kolonial negara-negara Eropa.
Sejak awal kecurigaan terhadap negara sudah dimulai. Oleh pemikiran liberalisme, negara dianggap sebagai batasan yang perlu dihambat serta diminimalisir agar tujuan individual dari warganya yakni mengejar kebahagiaan dapat terwujud.
Kecurigaan sebagai reaksi dari pemikiran tersebut juga dimunculkan oleh kaum Marxis, negara menjadi alat yang efektif dari kepentingan kapitalis untuk mengamulasi kekayaan. Dari berbagai kecurigaan, negara-negara tetap ada, terlepas ada yang dianggap maju, berkembang, miskin dan terbelakang, serta tak sedikit yang bubar.
Semua narasi yang dikembangkan tentang negara, seakan hendak menunjukkan negara adalah entitas yang netral, berdiri di atas semua kepentingan warga negaranya. Jika merujuk pada terminologi warga negara, ada kedekatan leksikal dengan individu yang kemudian diklaim sebagai rakyat.
Lalu munculnya pertanyaan, jika negara dibutuhkan untuk ada, mengapa kemiskinan dan ketidakadilan tetap mengada? Mengapa negara dapat bertindak keras dan kejam pada satu kelompok yang bisa jadi mayoritas, namun memberi fasilitas-fasilitas istimewa untuk kelompok yang mungkin minoritas?
Frasa mayoritas dalam tulisan ini adalah rakyat biasa, yang tidak memiliki hubungan dengan kekuasaan dan cendrung menjadi korban dari kekuasaan. Sementara minoritas yang dimaksud, bukan terkait dengan ras maupun kepercayaan, tetapi orang-orang atau kelompok yang superkaya yang sering disebut dengan oligark (Winters, 2011).
Setengah atau 100% Merdeka?
Pertanyaan-pertanyaan di atas, menjadi penting untuk dikaitkan dengan kekuasaan untuk mencari jawabannya. Negara memiliki kekuasaan yang otoritatif terhadap warga negaranya. Akan tetapi perkembangan kekuasaan negara tidaklah bebas nilai. Di era modern, ketika demokrasi disepakati sebagai sistem nilai, penjabarannya kemudian cendrung bersifat teknis.
Dalam perspektif teknis, sering terjadi manipulasi representasi, kekuasaan bukan berasal dari rakyat, melainkan sekelompok orang dengan kepentingan-kepentingannya. Kelompok ini memiliki kapital untuk mempengaruhi pikiran-pikiran rakyat saat kontestasi kekuasaan terjadi.
Keburukan demokrasi adalah tidak menjamin adanya pemerintahan yang baik, namun dapat mencegah beberapa hal yang buruk dari kekuasaan. Demokrasi dapat mencegah kekuasaan absolut, walau memungkinkan didalamnya pengaruh oligarki, dinasti politik, feodalisme dan despotisme. Terutama di negara-negara yang baru lahir usai Perang Dunia II.
Pasca-perang, banyak negara-negara kolonial melepas atau terlepas wilayah koloninya. Di Indonesia, takluknya Jepang dari pasukan sekutu, dimanfaatkan oleh para Founding Fathers untuk memproklamasikan kemerdekaan. Proklamasi itu menjadi penanda eksistensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat dengan mengakhiri kekuasaan imperialisme Jepang, yang sebelumnya mengambil alih kekuasaan dari Belanda.
Pemerintahan Belanda, yang masih menganggap Indonesia merupakan wilayah kekuasaannya melakukan beberapa kali agresi militer untuk merebut kembali Indonesia. Ketidakrelaan Belanda, barangkali sama dengan negara-negara eks kolonial lainnya. Tapi perang telah memberi pelajaran mahal, karena berbiaya tinggi. Pelajaran inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk menemukan cara penaklukan lain.
Kekuasaan tidak lagi diperoleh dengan perang, melainkan kerjasama internasional dan tekanan ekonomi (Holsti, 1973). Untuk dapat mengendalikan ekonomi, dibutuhkan kepatuhan politik (stabilitas). Proposisi ini yang kemudian membuat pembenaran dari nilai-nilai liberalisme. Di sanalah kemudian demokrasi dapat ditafsir dalam bentuk-bentuk formal kelembagaan, tanpa mengindahkan substansi.
Walau diksi “demokrasi” UUD 1945 tidak tercantum, dan baru ada setelah 57 tahun kemudian (amendemen ke-4), spirit-nya dapat dirasakan. Trauma atas kekuasaan kolonial yang menganut liberalisme, dikunci dalam preambul UUD 1945, Indonesia memilih negara yang berkedaulatan rakyat.
Namun tabiat kekuasaan berkehendak lain, yang barangkali terjadi karena keterburuan teks proklamasi,…pemindahaan kekuasaaan dll, diselenggarakan dalam cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya…(Proklamasi, 1945). Pemindahan tanpa mengubah wujud dari kekuasaan, tapi hanya sebatas mengganti aktor penguasa, dari penguasa kolonial berganti ke republik.
Pada kenyataannya setelah merdeka, negara dengan segera terintervensi oleh kepentingan kekuasaan global. Rezim nasional yang menolak akan terguling. Sesekali waktu akan tampil pemimpin yang merakyat, namun agenda-agenda pro rakyatnya akan segera dijegal oleh elemen-elemen pendukung status quo (Baran, 1970). Trauma kolonialisme terancang baku dan rapi untuk tetap mengendalikan negara-negara bekas jajahan agar tergantung pada negara-negara maju.
Menurut Betrand Russel (1988), salah satu cara untuk menjinakkan kekuasaan adalah dengan pendidikan yang membebaskan dari dogma. 75 tahun NKRI mampu bertahan lebih karena dogma. Sementara ada otoritas yang memaknainya secara sepihak untuk tetap mempertahankan status quo. Reformasi 1998 seharusnya menjadi titik balik untuk menata masa depan Indonesia. Negara sudah semestinya menjalankan proyek-proyek kedaulatan bangsa yang didalamnya mencakup kemandirian dan kesejahteraan rakyat.
Eksperimentasi demokrasi substansial dapat dilakukan melalui otonomi daerah. Jika berhasil, dinamika politik dan ekonomi akan berkembang dengan mengutamakan kerjasama antar daerah. Luar negeri hanyalah faktor eksternal yang mendukung, bukan yang determinan mengatur. Ikatan emosional antar daerah, antar suku maupun ras akan semakin menguat, dengan diperbanyak kerjasama antar daerah yang memiliki varian sumberdaya yang beragam. Agar lepas dari kecurigaan, negara harus mengutamakan rakyat sebagai subyeknya