Yang kita butuhkan hari ini adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, humanisme. Kedua sisi humanisme itu adalah intelektualitas dan sekularisme. Intelektualitas kita butuhkan untuk menghindarkan kita dari kebodohan dan sekularisme menjadi penting sebagai pemberi batasan dari apa yang selalu mungkin menenggelamkan kita dalam fanatisme.
Intelektualitas, kita tahu, adalah ciri tak terpermanai dari rasionalitas yang dijagokan humanisme sejak awal kelahirannya di Eropa modern. Sementara orang akan menggugat model rasionalisme ini sebagai tak cukup jika bukannya mengelirukan. Bagi mereka, biasanya, argumentasi bagi kritik itu adalah contoh rasionalitas Barat yang mereka anggap dekaden.
Kebodohan, dalam arti kehendak negatif atas rasionalitas, itulah yang justru dekaden. Percaya bahwa bumi datar berdasarkan teori konspirasi adalah contohnya. Setelah itu, mereka akan terseret pada kehendak negatif akan perubahan radikal ke arah primitivisme. Itu semakin menjelaskan dekadensi yang mereka alami.
Rasionalitas yang berwujud dalam intelektualitas adalah pencapaian besar umat manusia. Ia ditemukan di Barat tapi bukan khas pengalaman Barat. Seperti mobil dan demokrasi, rasionalitas bisa mumpuni di dunia timur, termasuk di republik yang semakin tidak intelek ini. Bahwa kita mengharapkan adanya ruang bagi potensi kemanusiaan kita yang lain yang tidak melulu rasional, itu tidak berarti kita harus menolak rasionalitas.
Saya menolak rasionalitas dalam berpuisi. Puisi yang ditulis dengan pikiran rasional, menurut saya, adalah contoh puisi yang buruk. Dan saya akan mengapresiasi lagu tanpa berpikir secara rasional, tinggal mendengarkan dan membiarkan seluruh diri saya hanyut dalam musikalitasnya. Tapi saya menolak untuk menerima argumen atas suatu problem ketat dengan menghanyutkan diri pada yang tidak rasional. Misalnya soal apakah bumi itu bulat atau datar dan di mana posisi saya dalam persoalan politik dan ekonomi hari ini.
Lalu sekularisme. Ini adalah kata yang kiranya jauh lebih haram bagi para kritisi humanisme Barat. Tapi apa boleh buat, ini adalah penemuan keramat rasionalisme humanis. Ketika kita menjadi manusia dalam kebersalingan satu terhadap yang lain, relasi-relasi itu membuat kita terpapar pada persoalan nilai. Bagaimana saya akan berlaku dalam hubungannya dengan kelompok lain?
Atau orang lain menjadi sahabat atau menjadi musuh, bahkan neraka dalam eksistensialisme Sartrean. Apakah ada satu nilai bersama yang dengannya orang lain menjadi dirinya, seperti juga kita, dengan mengejar kepentingan kita masing-masing berdasarkan nilai-nilai khas yang kita yakini secara pribadi, seperti agama dan ideologi? Bersilangan satu dengan yang lain tanpa harus saling menghabisi?
Sekularisme muncul dalam gejolak perang agama di Eropa dan berlaku lebih jauh dari sekedar cara untuk menghalangi agama membenarkan kebenarannya lewat politik. Ia adalah juga cara bagi kita untuk menolak fanatisme buta dalam skala publik. Politik, dalam arti le politique, datang sebagai kebohongan yang membahana. Agama di dalamnya adalah aset yang sangat berharga untuk membungkus kepentingan penuh dusta itu.
Konteks kita hari ini, menyaksikan hal itu dalam cara yang sangat telanjang, di tingkat negara maupun masyarakat sipil. Namun fanatisme tidak hanya bersangkut dengan agama, tapi juga segala bentuk kekukuhan untuk menggenggam “kebenaran” tanpa kritik dan refleksi. Tanpa akal sehat (good sense) tapi semata berlandas akal umum (common sense). Dan ketika penggenggaman ini menjadi barisan massa, kita terpana pada betapa bodohnya kita membiarkan diri hanyut dalam omong kosong yang berbahaya sebagai sebuah bangsa yang “tidak berlandaskan agama tapi juga tidak sekuler.”
Demokrasi yang kita gunakan dalam berpolitik hari ini, suka atau tidak, adalah nama lain dari mayoritarianisme. Maka ketika satu kelompok agama mendesakkan kepentingannya atas nama mayoritas pemeluknya, negara akan menjadi kambing kacang. Lalu kita menyerukan Pancasila dan kaget ketika orang-orang dari kelompok agama yang menuntut itu seketika merespons dengan garang dalam logika yang sejajar, kalau tuntutan kami bertentangan dengan Pancasila maka Pancasila bertentangan dengan agama kami. Hasilnya, perang suci di satu sisi dan Pancasila Watch di sisi lain.
Tidak, dalam konteks kita hari ini dan beberapa generasi ke depan, kita membutuhkan humanisme dengan karya gandanya yang paling indah, intelektualitas dan sekularisme. Negara kita bersandar pada Pancasila karena kita negara sekuler. Konsekuensinya, Pancasila juga bukan gagasan sakral. Dalam sekularisme rasional, tidak ada yang sakral karena sekularisme adalah juga desakralisasi. Sebentuk pemihakan atas imanensi absolut dalam berbangsa.
Tapi itu idealitas sementara realitas masih jauh panggang dari api. Maka rumusan yang menjagokan intelektualitas dan sekularisme di Indonesia hari ini mestinya adalah rumusan mencari intelektual sekuler. Dengan intelektual kita maksudkan sekaligus suasana hati masyarakat rasional pada umumnya dan para pemimpin gagasan pada khususnya.
Soal yang terakhir, saya punya pahlawan. Namanya Soe Hok Djien alias Arief Budiman. Ketika Indonesia diserbu oleh pemikiran yang “tampak sekuler” dari para intelektual Islam seperti Nurcholis Madjid, Syafii Maarif dan Abdurrahman Wahid, saya menekuni Arief Budiman yang, sejak awal, menyerukan sebentuk sekularisme yang lebih murni lewat gagasan-gagasan sosialisnya.
Bertahun lewat, setelah saya tak lagi percaya pada sosialisme, saya masih mengaguminya sebagai contoh seorang intelektual sekuler. Dan ketika gagasan tentang intelektualitas dan sekularisme menjadi demikian urgen pada hari-hari terakhir ini, bukan tanpa alasan, saya merindukannya.
Ini tidak untuk mengatakan bahwa Indonesia hari ini kehilangan tokoh intelektual sekuler tapi bahwa kita, dalam cara yang begitu paradoks, sedang kehilangan suara mereka. Intelektual sekuler bukan terutama intelektual yang menyerukan sekularisme tapi intelektual yang tak lantak melakukan intelektualisasi dalam upaya menjawab problem masyarakat hari ini dan di sini.
Dan di sinilah letak keunikan kedua gagasan humanisme ini. Melakukan yang satu akan mendorong yang lain. Mengarahkan masyarakat pada intelektualitas dengan mendidik mereka untuk berpikir rasional, ketat, reflektif, lengkap dengan kecintaan yang tak usai pada ide-ide, akan berujung pada sekularisme. Berbuat sebaliknya, melakukan sekularisasi, pasti akan mendorong kesiapan intelektual masyarakat, kecintaan mereka pada pikiran rasional, ketat, dan seterusnya, dan seterusnya.
Dalam konteks kita hari ini, strategi yang pertama itu yang harus dijalankan. Bukan karena kita harus menyembunyikan proyek sekularisasi agar tidak memancing amarah banal kelompok-kelompok yang berseberangan, tapi semata kebutuhan akibat “takdir kultural” bangsa ini yang cenderung suka menjauh dari keketatan gagasan. Dan Arief Budiman telah mengambil bagian, yang sangat besar dan penting, dalam upaya itu.
Selang beberapa tahun belakangan ini saya, dan saya kira banyak orang lainnya, mencoba menaruh harapan pada kepemimpinan intelektual Goenawan Mohamad dan Rocky Gerung. Berbeda dari para intelektual Islam yang hanya “tampak sekuler” seperti Luthfi Assyaukani atau Ulil Abshar-Abdalla, Goenawan dan Rocky lebih dekat dengan gambaran saya mengenai ideal intelektual sekuler.
Keduanya, seperti Arief Budiman, telah dan terus bekerja keras menghidupkan intelektualitas dalam gagasan-gagasan mereka. Tanpa harus bersetuju kita boleh menangguk kemuliaan menghargai gagasan dari tulisan dan pemikiran mereka. Dan keduanya, setahu saya, hingga hari ini tak pernah merasa perlu bersandar pada ideal-ideal partikular agama serta politik.
Karenanya, di hari-hari ini juga, saya boleh merasa gembira bahwa keduanya berada pada “kubu” yang berseberangan; itu mengayakan gagasan. Tapi saya juga mesti kuatir bahwa “sekularitas” dan bahkan intelektualitas mereka sedang diuji habis-habisan. Goenawan tengah terseret oleh arus “fetisisme Pancasila”, sejenis relijiusitas yang menguatirkan, sedangkan Rocky tengah tenggelam dalam pragmatisme le politique, sebentuk banalitas yang menjengkelkan.
Tapi di sinilah letak keindahan sekularisme dalam meredakan fanatisme: mereka boleh keliru sebagaimana setiap orang lainnya tanpa harus dianggap berdosa karenanya. Dan di sinilah pula letak keindahan intelektualitas dalam mengeliminasi kebodohan; mereka harus berani untuk terus merefleksikan tujuan sekaligus jalan yang mereka pilih tanpa harus merasa malu karenanya.
Walhasil, mencita-citakan masyarakat sekuler yang menjunjung intelektualitas bukanlah sebuah utopia karena ia tak bersandar pada jaminan terbentuknya masyarakat tanpa masalah. Ia bukan mimpi tolol masyarakat komunis ala Marx atau kapitalisme-demokratis di akhir sejarah Fukuyama. Ia adalah bayangan tentang sebuah Indonesia yang akan mendahulukan pemikiran orang-orang seperti Arief Budiman, Goenawan Mohamad, dan Rocky Gerung daripada para agamawan dan politisi penjual ayat dan rakyat.
Manado Juni 2017
Amato