Selasa, Oktober 8, 2024

Menatap Masa Depan Sekolah Kejuruan di Era Industri 4.0

fauwazar
fauwazar
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya & Presidium Alumni ISPE INDEF

Aneh rasanya apabila institusi yang bertujuan untuk mengurangi pengangguran dengan pendidikan kejuruan (spesialisasi), justru memberikan sumbangsih pengangguran tertinggi dari pada institusi lainnya. Ironisnya, institusi tersebut sudah memiliki standarisasi pendidikan kompetensi yang dibutuhkan di pasar tenaga kerja kelas bawah yang justru terjerembab di jurang pasar tenaga kerja.

Missmatch masih menjadi perkara rumahan yang harus dihadapi pemerintah. Perubahan industri yang semakin cepat tidak di imbangi dengan perubahan kurikulum yang memadai, sehingga ketertinggalan institusi pendidikan tak terelakkan, bak orang tua berkepala 6 yang mengikuti kompetensi maraton dengan anak muda, tertinggal jauh.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, pendidikan menengah baik SMA dan SMK menjadi kontributor utama TPT. Pada lulusan kejuruan (SMK), sebesar 11,24 persen melonjak dari bulan Februari tahun ini yang sebesar 8,92 persen. Kenaikannya tidak tanggung-tanggung, kurang lebih 3 persen dalam jangka waktu kurang lebih 6 bulan. Kabar baiknya angka tersebut turun jika dibandingkan dengan Agustus tahun lalu yang sebesar 11,41 persen.

Berdasarkan Brief Notes yang dirilis oleh Lembaga Demografi FEB UI (2017), tingkat pengangguran tertinggi berasal dari jurusan Teknik Komputer dan Informatika sebesar 24,53 persen, Teknik Otomotif sebesar 17,94 persen, Teknik Perminyakan sebesar 14,67 persen, Teknik Elektronika sebesar 13,27 persen dan Teknik Furnitur sebesar 12,88 persen.

Menariknya hampir seluruh jurusan tersebut merupakan ranah eksakta atau hitung-hitungan, yang berarti SDM kejuruan kurang mampu memahami hitung-hitungan, dan numerik.

Ketenagakerjaan di Industri 4.0 (I.4)

Industri 4.0 atau I.4 menuntut ektensifikasi penggunan robot, komputerisasi dan digitalisasi memberikan dampak serius kepada pekerjaan dan keahlian (Sǖmer, 2018). Beberapa peneliti telah menguji dampak dari teknologi pada pekerjaan dan keahlian.

Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa teknologi melengkapi keahlian dari tenaga kerja dan menyebabkan pencabangan keahlian yaitu yang rendah (Skillless) dan keahlian yang kompleks (Advance Skill) yang pada akhirnya menciptakan bias antara tenaga kerja yang berada di Negara berkembang.

Dalam mengantisipasi itu semua pemerintah Indonesia telah membuat Road Map (Peta Jalan) yang berjudul Making Indonesia 4.0. Road Map tersebut memuat strategi industri nasional dalam menjawab tantangan I.4. Pemerintah akan memfokuskan pada 5 sektor yaitu industri makanan dan minuman, tekstil, otomotif, elektronika, dan kimia (sektor riil).

Kenyataan pahit yang harus diterima adalah hampir sebagian besar tenaga kerja bekerja di sektor riil sehingga pemerintah harus berpatroli selama 24 jam non-stop. Sektor pertanian sebesar 35,93 juta orang (26,69 persen), perdagangan sebesar 28,17 juta orang (23,28 persen) jasa masyarakat sebesar 20,48 juta orang (16,92 persen) (BPS, 2017).

Berkaca dari kejadian krisis moneter (krismon) tahun 1998, krisis sistem keuangan yang terjadi di Amerika Serikat berimbas pada sektor keuangan Indonesia, krisis tersebut bersifat sistemik yang berdampak kepada melemahnya sektor riil dan menyebabkan inflasi meningkat lebih dari 70 persen dan terjungkalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga -13 persen.

I.4 akan memaksa para pekerja memiliki keterampilan tinggi dan berpendidikan baik (Golden and Katz, 2007) sehingga tidak hanya menuntut keterampilan seorang teknisi motor yang sebatas mengganti bagian-bagian mobil/motor melainkan menguasai sistem komputer yang dimiliki mobil/motor tersebut (sebagian mobil/motor telah menerapkan sistem komputerisasi).

Secara tidak langsung I.4 akan mempolarisasi para tenaga kerja yang memiliki skill tinggi dan skill rendah, pilihan logis bagi mereka yang termarjinalkan di pasar tenaga kerja adalah berwirausaha.

Menggali Potensi Daerah

Ide penyesuaian antara keterampilan SMK dan potensi suatu daerah menjadi solusi logis hari ini. Jika sistem ini diterapkan maka pemerintah daerah harus paham potensi yang dimiliki daerahnya. Setelah itu berkordinasi dengan SMK yang berada di daerah tersebut dan memfokuskan pada pengembangan keterampilan di bidang sesuai potensi daerah. Akan tetapi saat ini setiap pemda masih memiliki pekerjaan rumah dasar yang harus diperbaiki sebelum menerapkan sistem tersebut.

Pertama, sistem pendataan pemerintah. Data merupakan jantung dari sebuah pengambilan kebijakan, maka sistem pendataan harus ditingkatkan oleh masing-masing pemda yang dalam hal ini konteks I.4 tidak dapat dihindari, resiko transformasi global menuntut pemerintah mengaplikasikan sistem komputerisasi guna membantu keakuratan data dari hulu hingga hilir.

Kedua, ketidakmerataan infrastruktur. Infrastruktur menjadi kunci penting aksesbiltas jalur distribusi. Pemerataan infrastruktur yang baik akan mengurangi biaya ekonomi yang tinggi (High Cost Economy). Nyatanya pemerataan infrastrukutr masih jauh dari harapan. Bahkan perbaikan infrastruktur dilakukan oleh pemda pada tahun-tahun politik, sehingga menjadi alat kampanye untuk terpilih kembali menjadi kepala daerah.

Ketiga, stok modal. Modal merupakan salah satu instrument pertumbuhan ekonomi. Minimnya stok modal akan menghambat proses pertumbuhan ekonomi daerah. Selain itu ketertinggalan teknologi mesin akan menimbulkan inefisiensi produksi yang berimbas tingginya biaya produksi dan berdampak pada rendahnya penawaran serta permintaan di pasar barang.

Keempat, regulasi. Tumpang tindih regulasi menjadi masalah diberbagai daerah. Ketidakjelasan regulasi membuat investor enggan berinvestasi. Deregulasi harus dilakukan sehingga carut-marut regulasi dapat direduksi. Kemajuan teknologi perlu dimanfaatkan untuk mengurangi regulasi seperti dibuatnya pintu satu portal berinvestasi yang menghubungkan dinas penanaman modal tiap daerah.

Sistem penyesuaian potensi dan keterampilan SMK merupakan solusi logis yang dapat di aplikasikan, walaupun mungkin akan sukar dilakukan. Efek jangka panjang apabila sistem ini diaplikasikan adalah hidupnya ekonomi suatu daerah berbasis potensi lokal. Sehingga integrasi antar wilayah berdasarkan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif menciptakan spesialisasi dengan memanfaatkan sumber daya alam dan sosial (Ananda, 2018).

I.4 tidak hanya memaksa transformasi para tenaga kerja dengan spesialisasi mereka melainkan juga memaksa setiap wilayah memiliki spesialisasi sumber daya. Daerah-daerah yang memiliki SDA yang tinggi harus didorong untuk membangung daerah berbasis SDA mereka sendiri.

Daerah yang strategi untuk menjadi sentra industri harus didorong untuk mengoptimalkan produksi industri. Begitu juga dengan daerah yang berbasis pada sektor jasa harus di dongkrak paksa untuk membangun daerahnya. Acapkali pemda justru berbondong-bondong menjadikan daerahnya sebagai kawasan industri, yang pada akhirnya daerah tersebut kehilangan potensi terbesarnya.

Terakhir, pendidikan merupakan ujung tombak pembangunan sebuah bangsa. Tingginya pengangguran yang berasal dari SMK menjadi bukti bahwa pendidikan kita masih sangat minim. Bukti juga bahwa SMK secara tidak langsung, tidak dapat mengisi kebutuhan industri terlebih jika kita hadapkan di I.4. Research and Development  harus terus dielaborasi dan kolaborasi oleh seluruh pihak. semua demi pembangunan berkualitas.

fauwazar
fauwazar
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya & Presidium Alumni ISPE INDEF
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.