Tanah adalah anugerah Tuhan Yang Maha Esa dan memiliki hubungan erat dengan kehidupan manusia. Karena pada dasarnya untuk melengkapi kebutuhan primer dalam kehidupan semisal kebutuhan papan, manusia membutuhkan tanah agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi untuk menunjang kehidupan.
Begitu pentingnya tanah sebagai kebutuhan dasar manusia, sehingga bukan hal yang asing jika setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasai tanah. Bahkan akibat dari hasrat tersebut dapat memicu atau menjadi peluang timbulnya suatu sengketa tanah di dalam masyarakat. Sehingga bukanlah hal yang tabu didengar rasanya sering terjadi konflik yang diakibatkan oleh adanya sengketa tanah, baik itu itu sesama warga sendiri ataupun dengan pihak pemerintah semisal yang terjadi di Indonesia.
Di Indonesia sendiri misalkan, seringkali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut menimbulkan konflik antar sesama anggota masyarakat (konflik horizontal) maupun antara masyarakat dengan negara yaitu pemerintah (konflik vertikal). Tidak sedikit dari kejadian konflik yang terjadi akibat sengketa tanah di Indonesia berujung pada tindakan kriminal bahkan dari sisi pemerintah sendiri banyak melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat akibat tidak mau memberikan tanahnya kepada pemerintah.
Jika dipandang dari perspektif sejarah sekalipun, permasalahan mengenai tanah di Indonesia pada zaman sekarang tidak bisa lepas dari konflik yang telah terjadi sejak masa-masa lampau silam. Misalkan, sejak zaman orde baru sudah tidak asing lagi dengan konflik agraria. Konflik agraria ternyata banyak disebabkan akibat adanya kesenjangan atau ketidakserasian terkait sumber-sumber agraria, khususnya kesenjangan dalam penguasaan, persepsi dan konsepsi serta hukum dan juga kebijakan yang saling bertentangan.
Hingga pasca reformasi 1998, ternyata permasalahan reformasi agraria masih juga belum memiliki perubahan yang signifikan. Hal itu dapat dilihat pada berbagai kasus sengketa tanah di berbagai tempat seperti kasus pembebasan tanah oleh pemerintah ataupun kasus pendudukan tanah-tanah perkebunan yang marak belakangan ini oleh pihak-pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah dimaksud.
Konflik agraria biasanya lebih berfokus pada penguasaan dan pengelolaan agraria yang mencakup tanah, air dan udara. Pengelolaan dan penguasaan agraria dikelola oleh negara untuk kepentingan masyarakat paling banyak terjadi dan sering menjadi pembahasan adalah mengenai pengelolaan tanah. Tujuan dari pengelolaan tanah oleh pemerintah pada dasarnya diperuntukan untuk kesejahteraan masyarakat sesuai dengan amanat undang-undang. Namun, pada kenyataannya pengelolaan tersebut masih jauh dari apa yang diamanatkan dalam undang-undang sehingga memunculkan konflik.
Konflik agraria mengenai pengelolaan dan penguasaan tanah umumnya terjadi antar individu, antar kelompok, masyarakat maupun pihak-pihak lain, dimana setiap pihak yang berkonflik berupaya untuk dapat menunjukkan kekuatannya agar kepentingannya dapat terwujud dengan baik, salah satunya pada pengelolaan dan penguasaan tanah perkebunan.
Biasanya keberpihakan dilakukan oleh pemerintah yang lebih condong kepada sekelompok orang seperti para pemodal besar, para pengusaha baik pengusaha lokal maupun pengusaha asing yang dipercaya dapat melakukan pengelolaan dan penguasaan atas tanah perkebunan. Perusahaan-perusahaan yang mengelola perkebunan tersebut tentu membawa dampak positif, tetapi tak sedikit pula dampak negatif yang diberikan kepada masyarakat tanpa memperhatikan tata kelola lingkungan yang baik dan juga kondisi masyarakat yang berada di kawasan perkebunan maupun disekitar perusahaan.
Jika dihubungkan dengan data, berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang bahwa dari 2.145 sengketa agraria yang ditangani pada tahun 2015, hanya 947 kasus yang dapat terselesaikan. Pada tahun 2016, persoalan yang selesai sebesar 1.570 dari 2.996 sengketa. Selanjutnya pada tahun 2017, pemerintah hanya menyelesaikan 1.034 perkara dari 3.293 kasus yang ditangani. Per Agustus 2018, hanya 480 kasus sengketa tanah yang selesai dari total 2.368 kasus. Sepanjang tahun 2019 sebanyak 3.230 kasus sengketa pertanahan yang berhasil ditangani, sisanya masih terdapat 1.201 kasus yang belum terselesaikan.
Kemudian, dari sengketa ini juga menimbulkan konflik di dalamnya, hasil pemantauan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan terdapat kenaikan jumlah kasus konflik agraria selama lima tahun terakhir. Tahun 2024 menjadi tahun dengan jumlah konflik terbanyak, yaitu mencapai 295 kasus atau naik 21,9 persen dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2023 dengan 241 konflik. Kenaikan jumlah kasus ini juga mencakup tentang tindak kekerasan dan kriminalitas di wilayah konflik.
Berdasarkan data peristiwa sengketa tanah yang terdaftar di Kementerian Agraria dan data konflik yang disebabkannya berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria, maka sudah seharusnya diperlukan kejelasan aturan untuk mengurangi sengketa tanah yang ada diharapkan dengan adanya kebijakan reforma agraria dapat mengurangi konflik yang terjadi. Dan upaya yang bias dilakukan salah satunya dengan penerapan istilah reforma agraria.
Reforma agraria pada hakikatnya merupakan penataan kembali struktur penguasaan atau kepemilikan tanah dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, termasuk pencegahan konsentrasi kepemilikan tanah oleh orang atau korporasi tertentu. Reforma agraria sudah menjadi kebutuhan hampir setiap negara berkembang yang berniat meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui perencanaan program pembangunan di negerinya.
Dalam sejarah sendiri, program reformasi agraria di Indonesia yang dimulai dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 adalah Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memiliki visi dan misi ideal untuk dapat meningkatkan kemakmuran sosial-ekonomi rakyat Indonesia. Program landreform sebagai ujung tombak terdepan. Dalam pelaksanaan reformasi agraria menitikberatkan pengaturan yang mengubah ketimpangan struktur pemilikkan dan penguasaan tanah di Indonesia.
Tidak mudah memang menghapus secara kolektif masalah yang diakibatkan oleh permasalahan sengeketa tanah. Namun bukan tidak mungkin melalui pemahaman yang mendalam beserta dengan implementasi dalam kehidupan bernegara, permasalahan agraria Indonesia dapat berkurang walaupun dengan rentang waktu yang cukup lama.
Memang benar adanya bahwa negara sudah menjamin tentang pelaksanaan segala hal yang berkaitan dengan urusan agraria dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Aturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang telah mengambil peranan penting dalam kehidupan hukum pertanahan di Indonesia. Namun sekali lagi penulis tekankan, percuma saja apa yang sudah diatur secara tertulis tidak dibarengi dengan pengimplementasian secara menyeluruh oleh tiap-tiap lapisan dalam kehidupan bernegara.
Tantangan besar tentu akan terus ada bagi kondisi agraria Indonesia. Namun, mau bagaimanapun juga tantangannya apabila negara sudah menyiapkan strategi yang matang sejak dari sekarang, tentu tantangan itu dapat dihadapi dengan harapan masa depan kondisi agraria Indonesia dapat menjadi masa depan yang cemerlang.