Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan gebrakan di awal tahun 2020 dengan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT). OTT kali ini dilakukan terhadap salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yakni Wahyu Setiawan yang diduga menerima suap senilai total Rp. 600 juta.
Suap tersebut diduga diberikan guna memuluskan jalan Harun Masiku dalam proses penetapan pengganti antarwaktu (PAW) terhadap Nazarudin Kiemas yang telah dinyatakan meninggal dunia.
Padahal, posisi Nazarudin Kiemas secara resmi telah diisi oleh Riezky Aprilia yang juga berasal dari PDIP selaku pemegang suara terbanyak dalam Dapilnya. Hal ini pun sudah sejalan dengan ketentuan PAW yang diatur dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Yang menarik adalah, Harun Masuki tetap bersikeras meminta pergantian antarwaktu tersebut. Catatan KPU menyatakan bahwa, permohonan PAW Harun Masiku sudah diajukan sebanyak 3 (tiga) kali bahkan melalui surat resmi yang diajukan oleh PDIP. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa dugaan korupsi terhadap Wahyu Setiawan ini pun juga berpotensi melibatkan pengurus PDIP itu sendiri.
Tertangkapnya salah satu komisioner KPU tentu menjadi noda buruk dalam proses demokrasi di Indonesia. Namun, di sisi lain, adanya dugaan keterlibatan pengurus PDIP dalam upaya PAW Harun Masiku juga menunjukkan adanya celah permasalahan serius dalam mekanisme PAW di tubuh Parpol. Oleh karenanya, upaya evaluasi dan perbaikan terhadap mekanisme PAW di tubuh Parpol menjadi salah satu agenda yang cukup urgen dilakukan.
Problematik
Secara yuridis, mekanisme PAW di DPR berkaitan erat dengan pemberhentian dan penggantian anggota DPR yang ketentuannya diatur dalam UU MD3. Pemberhentian dapat diajukan berdasarkan laporan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang disetujui dalam rapat paripurna DPR atau diusulkan oleh Parpol yang sama dengan calon yang diajukan pemberhentian kepada pimpinan DPR.
Anggota DPR yang diberhentikan kemudian diajukan penggantian melalui permintaan yang diajukan oleh pimpinan DPR kepada KPU. KPU kemudian memberikan nama calon pengganti yang memiliki suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
Terdapat 4 (empat) alasan Parpol dalam melakukan pemberhentian terhadap anggota DPR. (1) anggota DPR tersebut dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang incracht. (2) jika diusulkan oleh Parpolnya. (3) jika diberhentikan sebagai anggota Parpolnya. (4) jika menjadi anggota Parpol lain. Terlihat bahwa keempat alasan itu sangat politis dan memberikan otoritas yang sangat besar kepada Parpol. Argumen ini dilandasi oleh 2 (dua) alasan.
Pertama, peletakkan alasan pemberhentian pada poin pertama di tangan Parpol berpotensi menjadi “tameng” bagi anggota DPR untuk tidak diberhentikan. Hal ini karena pemberhentian ini harus “diusulkan” oleh Parpol lewat pimpinannya. Sementara, frasa “diusulkan” tidak mengandung makna keharusan sehingga Parpol berpotensi untuk tidak mengusulkan pemberhentian terhadap anggotanya walaupun sudah diputus pengadilan telah melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.
Kedua, ketentuan poin nomor kedua, ketiga, dan keempat membuka ruang pemberhentian anggota DPR jika anggota tersebut diberhentikan dari keanggotaan Parpol dan/atau menjadi anggota Parpol lain. Di sisi lain, UU No. 2 Tahun 2011 (UU Parpol) menyatakan bahwa anggota Parpol diberhentikan apabila, (1) meninggal dunia; (2) mengundurkan diri secara tertulis; (3) menjadi anggota Parpol lain; dan (4) melanggar AD dan ART partai.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah, terdapat celah subjektitas dan intervensi dari petinggi partai yang cukup lebar dalam poin “melanggar AD dan ART partai”. Praktek menunjukkan bahwa seringkali garis kebijakan partai yang cenderung didominasi kepentingan elit dianggap sebagai menjalankan AD dan ART partai.
Hal ini setidaknya pernah dialami oleh Lily Chadijah Wahid dan Effendy Choiri yang di PAW karena dianggap bertentangan dengan kebijakan PKB. Selain itu, adanya celah intervensi partai dalam PAW juga berpotensi menciptakan ruang gelap yang dapat dimanfaatkan menjadi ladang transaksi jabatan politik di tubuh partai tersebut.
Besarnya hegemoni Parpol dalam mekanisme PAW bisa mereduksi kedudukan anggota DPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat menjadi penjelmaan kedaulatan Parpol. Padahal, MK melalui Putusan No. 22-24/PUU-VI/2008 telah mendalilkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat sehingga rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya (sistem proporsional terbuka).
Keterpilihan calon anggota legislatif (Caleg) juga berdasarkan mekanisme suara terbanyak. Oleh karenanya, anggota DPR yang mendapatkan suara terbanyak memiliki basis legitimasi yang paling kuat. Basis legitimasi rakyat ini tentu tidak bisa dipotong oleh Parpol dengan dalih melanggar AD dan ART tanpa disertai alasan-alasan yang objektif. Oleh karenanya, menjadi relevan apa yang disampaikan oleh Ni’matul Huda, bahwa keterpilihan calon anggota legislatif tidak boleh bergeser dari keputusan rakyat yang berdaulat kepada keputusan pengurus partai politik (Ni’matul Huda & Imam Nasef: 2017).
Partisipasi dan keterbukaan
Salah satu jalan mengatasi problematik tersebut adalah menciptakan mekanisme PAW yang partisipatif dan terbuka. Kondisi ini dapat diwujudkan melalui 4 hal. Pertama, penghapusan kewenangan Parpol untuk mengusulkan pemberhentian terhadap kadernya sebagai anggota DPR yang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang incracht.
Kewenangan pemberhentian ini lebih tepat diletakkan di tangan MKD sebagai lembaga yang menegakkan etika anggota DPR. Hal ini karena setiap pelanggaran hukum pun dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran etik.
Kedua, konstruksi pengusulan PAW harus berpedoman pada alasan-alasan yang obyektif. Terkait kewenangan PAW oleh MKD, beberapa alasan yang menjadi dasar melakukan pemberhentian yang di PAW di UU MD3 seperti jika melakukan pelanggaran hukum serta pelanggaran kode etik sebagai anggota DPR sudah tepat diatur. Hal ini karena alasan-alasan tersebut relavan dan sudah cukup memberikan ukuran obyektifitas.
Sedangkan, terkait kewenangan PAW oleh Parpol, cukup didasarkan atas dua alasan, yakni jika diberhentikan dan jika menjadi anggota partai politik lain. Namun, kriteria pemberhentian anggota Parpol harus diatur secara ketat, jelas, dan tegas dalam UU, bukan dalam AD dan ART partai.
Ketiga, memberikan ruang kepada rakyat untuk dapat melakukan PAW. ruang ini dapat dilakukan dalam bentuk pengajuan petisi. Petisi ini harus diajukan oleh masyarakat yang berada dalam satu daerah pemilihan dengan calon tersebut. Selain itu, petisi ini juga harus memperoleh minimal dukungan lebih dari 50% dari total suara yang ada dalam daerah pemilihan calon yang akan di PAW tersebut. Hak untuk mengajukan petisi ini juga diterapkan di beberapa negara bagian di Negara Amerika Serikat.