Minggu, November 24, 2024

Menasionalkan Bahasa Indonesia, Nah?

Imakulata Muliadi
Imakulata Muliadi
Penikmat bahasa Indonesia, yoga, musik, dan memasak. Alumnus Akuntansi FEUI dan Lund University School of Economics and Business yang berkutat di bidang audit dan resiko TI. http://holdontoyourself.wordpress.com
- Advertisement -

Bahasa merupakan media komunikasi yang menjadi teknologi penting dalam upaya mempersatukan bangsa. Dalam studi kasus di Malawi (Vail, 1978), dikatakan bahwa bahasa umum (common language) merupakan tonggak utama pemersatu bangsa dan menjadi faktor dasar paling potensial atas pembentukan identitas baru sebuah etnis.

Merujuk pada studi tersebut untuk diadaptasi pada bangsa Indonesia yang multietnis, dapat dikatakan bahwa bahasa adalah tonggak pemersatu bangsa dan merupakan faktor dasar dalam pembentukan identitas baru sebuah bangsa.

Di tahun 1928, para pemuda kita telah sadar betul akan pentingnya keberadaan bahasa pemersatu; dan menyatakannya di bulir terakhir Sumpah Pemuda: “…menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.

Momentum Sumpah Pemuda merupakan penanda disahkannya Bahasa Indonesia (BI) sebagai bahasa nasional, walau secara de jure pengesahan tersebut dilakukan pada 18 Agustus 1945, bersamaan dengan pengesahan UUD 1945. Sebagai negara dengan ratusan bahasa daerah—setidaknya 652 bahasa—, tak dapat dipungkiri bahwa bangsa kita membutuhkan satu bahasa sebagai pemersatu.

Perihal “mengapa BI yang dipilih?”, sepertinya memerlukan entri tersendiri untuk pembahasannya (karena ternyata Bahasa Jawa lebih banyak penuturnya dibandingkan BI). Namun demikian, mungkin alasannya bisa merujuk pada kutipan sejarah singkat BI yang dimuat pada laman Badan Bahasa–Kemdikbud, sebagai berikut:

“Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca)… Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.”

Salah satu faktor utama kegagalan upaya memperoleh kemerdekaan ialah perjuangan yang bersifat kedaerahan. Maka, tidak melebih-lebihkan untuk menyatakan bahwa keberadaan bahasa pemersatu (i.e., BI) mengambil peranan penting pula dalam memperoleh kemerdekaan Indonesia.

Tidak banyak negara dengan multibahasa dan multidialek yang memiliki lingua franca dan satu bahasa nasional. Dengan jasa dan peranan BI yang telah diutarakan di atas, pertanyaan yang muncul sekarang ialah: bagaimana penggunaan BI saat ini? Seberapa nasionalkah ia; dan bagaimana peranannya terhadap identitas bangsa? Bagaimana sikap para penutur asli terhadap BI?

Penulis mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut yang diurai pada tulisan ini, yang didasarkan pada pengamatan pada lingkungan sekitar dan media (cetak dan digital) yang dikemas dengan tambahan unsur opini pribadi.

Fenomena “Englonesian”

Sebagai bahasa nasional, BI menjadi pelajaran wajib di seluruh sekolah nasional di Indonesia. Namun rupanya pelajaran di sekolah tidak cukup untuk menjamin: (1) kemampuan berbahasa Indonesia; dan (2) penggunaan BI pada kehidupan sehari-hari—baik yang benar mau pun yang tidak. Entah berapa kali penulis merasa geram acap mendapati penggunaan BI yang ala kadarnya.

- Advertisement -

Selain struktur kalimat atau penulisan/pembentukan kata yang tidak seusai kaidah, banyak penutur asli yang sepertinya enggan menggunakan BI secara utuh, yang umumnya tercermin dari: (1) isi kalimat yang mencampuradukkan BI dengan bahasa lain (umumnya bahasa Inggris), dan/atau (2) tidak menggunakan BI untuk berkomunikasi dengan sesama penutur asli. Poin pertama akan didiskusikan lebih lanjut dengan memperkenalkan istilah “Englonesian”.

“Englonesian” merupakan kependekan dari “English-Indonesian”, sebuah gaya bahasa yang cukup populer di kalangan penutur asli BI saat ini. Penulis pertama kali mendengar istilah ini dari seorang teman, kemudian mendengarnya lagi di video seorang youtubeyang cukup terkenal di Indonesia.

Gaya bahasa ini memadukan penggunaan bahasa Inggris dan BI, yang seringkali menggelitik kuping penulis tiap membaca/mendengarnya. Kalimat/ ungkapan sehari-hari yang bisa diucap dengan BI yang utuh, justru dipadukan dengan bahasa Inggris yang menjadikan kalimat tersebut menjadi “salah”, baik dalam bahasa Inggris mau pun BI. Contoh: “Thanks God, akhirnya nilai exam keluar juga,” atau “Worthed gak sih, kalau beli paket travel yang ini?” Sila dikulik sendiri, bagian mana dari kedua kalimat tersebut yang menggelitik pikiran para pembaca.

Menurut pengamatan penulis pula, “Englonesian” tidak mengenal kelas tertentu. Penuturnya bisa berasal dari segala tingkat pendidikan dan kelas sosial-ekonomi; pun tidak juga mengenal ras, suku, golongan, dan agama tertentu. Perbedaannya mungkin hanya di tingkat “kesalahan” yang terjadi dan pada intensitasnya.

Sialnya, masyarakat mengapresiasi baik fenomena yang tidak baik ini. Masyarakat Indonesia kebanyakan akan mudah dibuai dan merasa yakin jika mendengar selipan-selipan bahasa Inggris (i.e., merasa bahwa sang penutur tersebut terdengar “berpendidikan” dan “keren”). Sementara untuk poin kedua, umumnya dilakukan oleh para penutur yang fasih menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Alih-alih menggunakan BI untuk berkomunikasi satu sama lain, para penutur yang dimaksud menggunakan bahasa Inggris untuk percakapan sehari-hari.

Bukan dengan tujuan berlatih memperlancar bahasa Inggris; karena memang sudah fasih. Sejauh ini, penulis belum menemukan ada penelitian yang mengkaji penyebab kedua poin ini. Maka, penulis mencoba menganalisis beberapa kemungkinan penyebabnya dan menarik kesimpulan (yang belum terbukti empiris) bahwa penyebab utamanya ialah: BI dianggap sebagai bahasa yang inferior jika dibandingkan dengan bahasa asing (dalam kasus ini bahasa Inggris) oleh para penutur aslinya, sehingga penggunaan bahasa Inggris diharapkan mampu mengangkat “derajat” sosial sang penutur (e.g.: terkesan berpendidikan, berkelas tinggi, dsb.).

Baik poin pertama mau pun poin kedua mampu menjawab pertanyaan terkait penggunaan BI saat ini, yakni ternyata ia tak seberapa dibanggakan untuk digunakan dengan baik dan benar setiap saat; bahkan oleh para penutur aslinya. Pun juga belum bisa dikatakan “cukup nasional”, karena penggunaan yang benarnya masih dipertanyakan di seluruh penjuru Nusantara. Bagaimana BI membentuk identitas bangsa? Yang ini, penulis belum berani menarik kesimpulan apa-apa.

Nasionalkan Bahasa Nasional

Berdasarkan pengalaman interaksi singkat (11 bulan) penulis dengan penutur bahasa-bahasa lain yang bukan bahasa Inggris, penulis menyadari betapa bangganya mereka akan bahasa nasional masing-masing (bahkan penutur bahasa yang tidak begitu dikenal, seperti: bahasa Lithuania, Albania, Serbia, Bulgaria, dsb.).

Berdasarkan interaksi intens dan beberapa diskusi santai, penulis juga mendapati bahwa tidak ada satu pun yang merasa bahwa bahasa Inggris merupakan bahasa yang lebih tinggi derajatnya, pun tidak ada fenomena serupa “Englonesian” pada bahasa mereka.

Berangkat dari analisis dan keprihatinan terhadap aplikasi BI saat ini, penulis mengajak kita semua sebagai penutur asli BI untuk lebih giat menggunakan bahasa pemersatu kita. Dan yang terpenting, lebih bangga. Karena penulis percaya, rasa bangga akan BI membawa kita lebih dekat kepada rasa bangga akan negara.

Referensi:

Parkvall, M. Världens. 2007. 100 största språk 2007 pada Nationalencyklopedin.

Imakulata Muliadi
Imakulata Muliadi
Penikmat bahasa Indonesia, yoga, musik, dan memasak. Alumnus Akuntansi FEUI dan Lund University School of Economics and Business yang berkutat di bidang audit dan resiko TI. http://holdontoyourself.wordpress.com
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.