Senin, Oktober 14, 2024

Menanti IMM Malang Jawab Tantangan

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Malang Raya sempat menjadi perbincangan hangat nasional. Bukan karena prestasi, melainkan korupsi. Jenama sebagai kota pendidikan pun tercoreng-moreng. Tiga pemimpin tertinggi di masing-masing wilayah secara bergantian dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Eddy Rumpoko yang menghegemoni Kota Batu dan sedang berupaya membangun trah kekuasaan diciduk komisi antirasuah akhir tahun silam, Abah Anton yang hendak menjadi calon petahana Kota Malang diOTT awal tahun ini, kemudian Rendra Kresna yang telah menjadi ikon Kabupaten Malang tak luput diciduk bulan lalu.

Yang menjadi ironi, Malang Raya adalah gudangnya lembaga pendidikan. Perguruan tinggi pun bercokol banyak di sana. Berjibunnya perguruan tinggi memunculkan beragam organisasi kemahasiswaan. Para aktivis itu tentu saja resah atas situasi yang menimpa lahan gerakannya.

Pasalnya, penangkapan tiga kepala daerah di atas cukup membuat trust (kepercayaan) terhadap embrio lahirnya pemimpin dari Malang Raya luntur. Itu pula, barangkali, yang menjadi fokus pergerakan organisasi kemahasiswaan di Bumi Arema: mencetak calon pemimpin berintegritas.

Sadar akan situasi demikian, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), salah satu organisasi kemahasiswaan yang beredar di Malang Raya, menyentuh tema kepemimpinan dalam agenda Musyawarah Cabang (Muscab) Ke-23 yang start tanggal 8 hingga 11 November 2018. Yaitu ”Merawat Identitas, Menjunjung Integritas, demi Progresivitas Kepemimpinan IMM Malang Raya”.

Di samping ditujukan kepada internal sendiri, saya rasa pemilihan tema itu secara implisit juga bervisi luas. IMM dalam konteks Malang Raya paling tidak punya tiga tanggung jawab sebagai lahan garap: wilayah kemahasiswaan, organisasi otonom Muhammadiyah, dan turut serta mengembrio kepemimpinan di Bumi Arema.

Jati Diri IMM

IMM merupakan salah satu organisasi otonom (ortom) milik Muhammadiyah yang berdiri sejak 14 Maret 1964, diterokai Djazman Alkindi, Rosyad Saleh, Sudibjo Markus, dan lain-lain. Saya beranggapan bahwa IMM, karena sebagian aktivitasnya berada di wilayah kemahasiswaan, adalah ortom yang lebih ”bebas” dalam menyalurkan ekspresi maupun intensi. Kebebasan bergerak organisasi kemahasiswaan seyogianya lebih sulit untuk ditungganggi kepentingan pragmatis sesaat.

Di IMM, ”priviledge” itu terkadang cukup terasa. Sebagai alumnus IMM Malang, saya pernah mengalaminya. Siapa yang biasanya tampil ke muka dan melakukan pergerakan (baca: demonstrasi) tatkala didapati situasi genting, terutama terkait kelancungan pemerintahan? Aktivis mahasiswalah yang cukup bisa diandalkan. Dan, IMM di situ mengambil peran strategis.

Di kalangan kader IMM, dikenal istilah tri kompetensi dasar. Itu mencakup religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Tiga kemampuan itu idealnya dimiliki kader-kader IMM agar apa yang dilakukan tidak melenceng dari rambu-rambu keagamaan, keilmuan, dan kemanusiaan. IMM juga mengenal istilah ”ilmu amaliah, amal ilmiah”. Istilah itu muncul ketika dilakukan Deklarasi Solo pada 5 Mei 1965, setahun setelah IMM didirikan, yang berisi enam penegasan.

Artinya, ilmu yang diperoleh harus diamalkan sebanyak-banyaknya. Perihal ini, pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dulu pernah mengulang-ulang pelajaran surah Al Maun sampai akhirnya diprotes muridnya.

Setelah mengulang-ulang, barulah murid tersebut diminta untuk mencari anak-anak, memandikan, kemudian memberinya makan dan ilmu. Seperti itulah manifestasi dari ilmu amaliah, ilmu yang diamalkan. Meski begitu, apa yang diamalkan harus berilmu sehingga ada istilah lain ”amal ilmiah”. Kurang lebih maknanya segala amalan harus didasari ilmu yang sesuai. Bagi IMM, beramal tanpa ada ilmunya dikhawatirkan ”menyesatkan” dan salah sasaran.

IMM Menjawab Tantangan

Dalam momentum muscab ini, IMM Malang punya minimal tiga tantangan yang mesti diperhatikan. Pimpinan-pimpinan yang kelak dilahirkan dari proses musyawarah ini harus memikirkan bagaimana IMM menjawab tiga tantangan tadi: kemahasiswaan, ortom Muhammadiyah, dan embrio kepemimpinan di Bumi Arema.

Di wilayah kemahasiswaan, IMM harus memaksimalkan potensi kultur keilmuan dan pergerakan. Pertama, kultur keilmuan. Menurut penuturan beberapa rekan, kultur keilmuan dan gerakan literasi di Malang meningkat cukup signifikan. Hal itu tampak dari banyaknya kegiatan seperti bedah buku, diskusi, maupun sekadar bincang-bincang santai. Di kampus-kampus hingga warung kopi, intensitas kultur semacam itu cukup tinggi.

Dua novelis kenamaan tanah air, Leila S. Chudori dan Okky Madasari, yang pernah melakukan road show bedah novel ke kampus maupun komunitas-komunitas pencinta buku di kota ini adalah bukti sahih. Beberapa hari lalu Okky Madasari menyatakan bahwa Malang dipilih lantaran pembaca bukunya cukup banyak dan ia amat terkesan karenanya.

Kedua, pergerakan. ”Pergerakan” di sini mesti dibedakan atas dua hal: kemanusiaan dan demonstrasi/unjuk rasa. Gerakan kemanusiaan tentu senapas dengan tri kompetensi humanitas.

IMM dituntut untuk menjadi garda depan dalam menggerakkan aktivitas kemanusiaan. Untuk urusan ini, IMM, lewat Komisariat Raushan Fikr FKIP UMM, telah mengembrio lahirnya komunitas Mahasiswa Penggerak (Mager) yang bergerak di bidang literasi kerakyatan dengan dua program unggulan ”angkot baca” dan ”angkot cerdas”. Komunitas ini booming setelah diwartakan beberapa media cetak, bahkan televisi. Kelak komunitas ini berekspansi sehingga anggotanya berasal dari mana pun, organisasi mahasiswa apa pun, asal memiliki visi serupa.

Gerakan dalam bentuk demonstrasi/unjuk rasa beda lagi. Pada titik tertentu, IMM perlu melakukan aksi yang bertujuan melimitasi kesewenang-wenangan pemerintah yang tidak prorakyat. Jika dilaksanakan pada momen yang tepat, kebermanfaatan aksi ini tentu mengena.

Aktivis mahasiswa di Malang termasuk yang masih vokal dan berani dalam berunjuk rasa. Bahkan, beberapa waktu lalu mahasiswa Malang-lah yang turut bergerak untuk melakukan aksi damai di gedung DPRD Jawa Timur. Aksi demonstrasi yang matang disertai dengan data dan tuntutan yang akurat akan membuahkan hasil yang ingin dikehendaki. Peristiwa 1998 contohnya.

Kemudian, di hadapan Muhammadiyah, kader-kader IMM menjadi pilar penting dalam membawa nama persyarikatan. Wilayah mahasiswa merupakan sektor spesifik. Muhammadiyah pun tidak punya pilihan lain selain kepada IMM sebagai ”perpanjangan tangan”.

Maka, apa yang dilakukan IMM juga cukup merepresentasikan sikap Muhammadiyah di domain kemahasiswaan. Dengan menyandang nama ”Muhammadiyah”, mau tidak mau apa yang dilakukan IMM tetap dipandang sebagai sikap Muhammadiyah. Di antara Muhammadiyah dan IMM harus ”mikul duwur mendhem jero”, yang artinya ”meninggikan atau menonjolkan kelebihan serta kebaikan keluarga dan menutupi kekurangan atau keburukan keluarga”.

Terakhir, tantangan IMM adalah turut serta menciptakan calon pemimpin yang berintegritas. Penangkapan tiga kepala daerah seperti disebutkan di atas, ditambah anggota dewan yang jumlahnya juga tak sedikit, cukup membuktikan bahwa Malang memang sedang bernasib malang.

Saya rasa, IMM tidak boleh ”cuci tangan”. Frasa-frasa berkarakter yang terkandung dalam tema musyawarah; identitas, integritas, dan progresivitas; tentu tidak asal mereka comot begitu saja. Harus bisa dipertanggungjawabkan.

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.