Kamis, April 18, 2024

Menanti Distrupsi Pendidikan Bro Nadiem

hafidz
hafidz
Generalis yang suka ngopi, jalan-jalan, dan bercuap-cuap tentang "Ide"

Pengangkatan Nadiem Makarim, founder dan mantan CEO Go-Jek sebagai Mendikbud menjadi kejutan. Nadiem yang berusia 35 tahun merupakan menteri termuda di Kabinet Indonesia Maju. Di tangannyalah kini kendali dan beban atas reformasi sistem pendidikan nasional yang ternyata kembali disatukan di bawah Kementerian yang dipimpinya.

Tantangan Miss Match Pendidikan

Persoalan besar yang dihadapi dunia pendidikan hari ini adalah “ketidakefektifannya” dalam menyinergikan kebutuhan SDM dan proses pendidikan. Dunia pendidikan seakan berjalan sendiri menjadi industri jasa yang tidak lagi inheren dengan kebutuhan penyediaan SDM. Akibatnya, dunia usaha seringkali memberikan syarat yang terlalu tinggi untuk pekerjaan-pekerjaan mekanis yang sederhana sehingga menimbulkan “inflasi Pendidikan”, atau semakin tingginya syarat pendidikan untuk pekerjaan yang sama di masa lalu.

Daya adaptif sistem pendidikan nasional terhadap dinamika perubahan zaman yang sangat cepat perlu untuk terus diuji. Sayangnya, upaya mendinamiskan dunia pendidikan seringkali diterjemahkan dengan memampatkan kurikulum saja sehingga semakin hari beban materi yang diajarkan di sekolah semakin sulit dan menjadi semakin useless.

Di sisi lain, basis nalarnya justru tidak dikembangkan, pendidikan agaknya perlu dikembalikan “ruh”-nya menjadi wadah bagi pembentukan dan pemuliaan manusia agar mampu berpikir mandiri, kreatif dan kritis serta mampu memformulasikan nilai-nilai kehidupan secara utuh.

Persoalahnya, selama ini kita dipaksa untuk percaya satu simpulan besar, bahwa lama sekolah sama dengan meningkatnya kualitas SDM, padahal kualitas SDM tidak serta merta ditentukan banyaknya gelar dan ijazah semata tetapi lebih berkembang dalam dunia praktis. Hal inilah yang perlu menjadi fondasi kebijakan baru, Bro Nadiem selaku Mendikbud, untuk mendistrupsi dunia pendidikan.

Dunia pendidikan formal yang berjenjang, dari SD, SMP, SMA/SMK dan Perguruan Tinggi selama ini diletakan sebagai satu-satunya kerangka pengelolaan sumber daya manusia sehingga meminggirkan modal pendidikan yang berbasis ketrampilan, minat dan bakat.

Padahal ciri utama pendidikan formal lebih berorientasi pada ketrampilan kognitif, dimana pada pendidikan dasar (SD dan SMP) semua mata pelajaran diajarkan secara proporsional padahal siswa memiliki preferensi minat yang bervariasi. Konsekuesninya siswa menghadapi beban yang sangat besar untuk menguasai tuntutan kurikulum yang sangat padat. Di sisi lain, porsi untuk pengembangan talenta unggul kurang memadai.

Dari sisi anggaran, skema pendidikan formal tentu melahirkan biaya pendidikan yang jauh lebih mahal jika semuanya dibangun secara ideal, hal ini mengingat penyediaan sarana dan prasarana untuk semua aspek mata pelajaran secara general hampir mustahil dapat dilakukan secara merata di semua sekolah.

Maka, bermunculanlah sekolah-sekolah unggulan baik negeri maupun swasta yang berbiaya sangat tinggi dengan alasan pemenuhan sarana prasarana yang ideal. Seharusnya sekolah dituntut untuk bisa mengembangkan keunggulan yang spesifik agar siswa dan orang tua dapat memilih ke sekolah mana si anak akan belajar.

Untuk mengatasi kesenjangan kualitas antar sekolah, belakangan telah diterapkan skema zonasi, tetapi skema ini hanya mampu untuk mendesakan pemerataan input siswa bukan mengatasi ketimpangan faktor sarana dan prasarana yang ada.

Alhasil, zonasi justru membuat orang tua dan siswa semakin frustrasi dikarnakan kebijakan ini seperti upaya pengucilan terhadap siswa-siswa di daerah yang relatif lebih jauh dari pusat pendidikan. Mereka dipaksa untuk hanya melanjutkan sekolah di sekolah terdekat dengan fasilitas minim meski mereka mampu bersaing.

Re-interpretasi Anggaran Pendidikan

Sejak disahkannya UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, anggaran pendidikan ditetapkan setidaknya 20% dari APBN meski pada prakteknya baru diterapkan setelah tahun 2005. Pada APBN 2019, Pemerintah Pusat hanya mengendalikan kurang lebih 1/3 atau tepatnya 37% saja dari anggaran pendidikan, atau senilai 163 T.

Dana tersebut dikelola di 3 Kementerian Utama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi dan Kementerian Agama yang masing-masing mengelola anggaran sebesar 36 T, 40.2 T dan 51,9 T.

Sisanya 15,6 T dikelola Kementerian/Lembaga lainnya, yang pada 2019 jumlah kementerian/lembaga pengelola dana pendidikan meningkat menjadi 21. Dalam rilis APBN 2020, Kemendikbud  nantinya mengelola anggaran hanya 36,3 T ditambah anggaran pendidikan tinggi yang diperkirakan total anggarannya mencapai kurang lebih 75 T saja.

Anggaran pendidikan terbesar ada di tangan pemda yang mencapai 308,4 T, hanya saja bersifat indikatif karena kewenangan eksekusi sepenuhnya ada di pemda, terutama untuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Otonomi Khusus, hanya Dana Alokasi Khusus (DAK) yang penggunaannya langsung dikontrol pusat senilai 134 T, dengan fungsi fisik 16,9 T dan non fisik 117.7 T. DAK Non fisik mayoritas digunakan untuk BOS dan Tunjangan Profesi Guru yang masing-masing mencapai 51,2 T dan 56,9 T.

Jadi secara faktual di 2019, dana pendidikan mungkin tak lebih dari 262.7 Trilyun atau 10.6% dari APBN angka ini diperoleh dengan memasukan dana pendidikan 3 kementerian utama ditambah DAK Fisik dan Non Fisik. Sisanya 9,4% ada di 21 Kementerian/Lembaga lain (25,6 T), Pemda (173.8 T) dan Pembiayaan (Dana Abadi Riset 0.99 T dan Dana Pengembangan Pendidikan aka. LPDP 20 T).

Menyelaraskan Otonomi dan Kultur Pendidikan

Tantangan yang dihadapi Nadiem ke depan adalah bagaimana mengelola dana yang hanya sebesar +/- 75 T ditangan Kemendikbud untuk menjadi stimulan ànggaran pendidikan secara keseluruhan agar efektif?

Maka, PR serius menteri baru adalah harus merampingkan birokrasinya mengefisienkan belanja pegawai dan belanja barang, lalu mengalokasikan anggaran kemendibud untuk lebih membangun sistem dan insentif bagi pengembangan pendidikan di daerah.

Kemendikbud dituntut untuk mampu berkordinasi secara efektif dengan pemerintah daerah, tentunya dengan kerjasama dengan Kemenkeu dan Kemendagri, ketianya dapat mendorong kinerja pemerintah daerah dalam memanfaatkan anggaran pendidikan untuk memacu perbaikan sektor pendidikan.

Bro Menteri, perlu manfaatkan sikap populis dari kepala daerah yang sering menjadikan layanan pendidikan sebagai displai bagi kebijakan populisnya. Pemda terutama yang memiliki PAD besar tak segan mengucurkan dana untuk pendidikan, utamanya beasiswa dan fasilitas pendidikan yang memadai baik melalui skema hibah maupun bansos.

Hal ini yang perlu disambut oleh kementerian untuk dapat membantu pemda  menata ulang model pendidikan yang lebih adaptif dengan potensi daerahnya, baik secara lingkungan, geografis maupun ekonomis. Sekaligus mengundang keterlibatan multi stakeholder untuk terlibat.

Pengelolaan pendidikan yang simple dan profesional tentu menjadi idaman agar kita mampu melakukan loncatan jauh ke depan dengan lahirnya SDM yang unggul. Maka, sudah waktunya pendidikan dikelola layaknya wahana investasi SDM di sebuah perusahaan. Bro Nadiem sudah seharusnya menularkan pengalamannya sebagai CEO pada birokrasi dalam mengelola investasi untuk SDM masa depan,

Tapi sabar ya bro, dibanding valuasi gojek anggaran Kemendikbud mungkin hanya separuhnya saja.

hafidz
hafidz
Generalis yang suka ngopi, jalan-jalan, dan bercuap-cuap tentang "Ide"
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.