Indonesia adalah negara hukum dan hukum tertinggi di Indonesia yang digunakan sebagai induk peraturan perundang-undangan adalah UUD 1945. Selain itu, UUD 1945 juga merupakan norma hukum tertinggi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Namun perlu diingat bahwa konstitusi ini bukan sekedar norma, tapi juga nilai yang mengedepankan moral didalamnya.
Apalagi banyak kalangan yang dengan giat menggaungkan bahwa sebagai warga negara, kita semua harus mematuhi undang-undang sebagaimana mestinya. UUD 1945 bukanlah peraturan mutlak yang harus dijalani, buktinya adalah adanya amandemen sebanyak 4 kali yang terjadi pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 karena beberapa hal yang menyesuaikan kondisi negara pada saat itu.
Beberapa saat ini, semakin marak isu tentang amandemen UUD 1945 untuk perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Jika berkaca pada rencana jangka panjang suatu negara, memang tidaklah cukup jika dijalankan hanya 5 tahun. Bahkan, di organisasi mahasiswapun rencana jangka panjang bisa 5-10 tahun sedangkan di universitas sendiri berjangka waktu 20 tahun. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah Negara Indonesia telah memilih sistem demokrasi dimana presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat sesuai Pasal 6A UUD 1945.
Dalam UUD 1945 pada pasal 7 dan pasal 22E jelas sekali disebutkan bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan presiden serta wakil presiden hanya dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Maka dari itu, penundaan pemilu sangat menciderai konstitusi secara tekstual maupun kontekstual. Menujuk lagi pada UU no 7 tahun 2017 yang menyatakan konsep pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, serta memilih anggota dewan atau legislator. Lalu apakah perpanjangan jabatan presiden dan wakil presiden juga disertai perpanjangan masa jabatan parlemen?
Dalam sejarah bangsa Indonesia, kekuasaan pemerintahan memang menjadi hal menggiurkan oleh beberapa kalangan elit politik. Presiden Soekarno pada waktu itu juga sempat dipilih sebagai presiden seumur hidup oleh Angkatan 45 atau Angkatan Kemerdekaan, namun nyatanya hanya berlangsung selama 21 tahun saja. Dilanjutkan oleh Soeharto yang juga melanggengkan kekuasaan selama 32 tahun sebelum akhirnya lahir reformasi 1998.
Hal ini membuktikan bahwa jabatan kepresidenan memang merupakan ambisi yang harus dipertahankan oleh elit politik dengan segala bentuk kepentingan. Saya sebagai mahasiswa, menilai bahwa penundaan pemilu ini sama sekali tidak rasional jika dikaitkan dengan konstitusi dan demokrasi yang ada di Indonesia.
Jika penundaan pemilu ini dikaitkan dengan alasan ekonomi, saya rasa perekonomian Indonesia saat ini lebih baik daripada masa krisis ekonomi 1998 dulu. Terlebih lagi, Ibu Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyatakan bahwa masih ada anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar 173,8 Triliun yang digadang-gadang untuk perpindahan ibukota negara.
Hal ini sangat kontradiktif mengingat bahwa pemilu ini merupakan agenda 5 tahunan yang sudah diketahui oleh semua pihak sejak puluhan tahun lalu, jadi mana mungkin anggaran tidak dipersiapkan dan menjadi hal mendadak yang membuat para pihak berwenang kelabakan anggaran? Bukankah pemilu tahun-tahun sebelumnya juga menggunakan anggaran negara yang tidak sedikit? Apakah para pejabat yang berwenang tidak mempelajari dan pemahami APBN untuk pemilihan umum?
Alasan tidak rasional lain yang muncul yaitu dampak Covid-19 yang masih ada sampai 2022, hal ini cukup membuat saya tergelitik mengingat bahwa sudah banyak hal yang dilakukan untuk mencegah penularan Covid-19 yang salah satunya adalah adanya vaksinasi sampai 3 kali, bahkan sekarang sudah tidak wajib PCR untuk menggunakan transportasi umum dan sudah banyak kegiatan yang bisa dilakukan secara luring.
Perlu diingat juga bahwa pada tahun 2020 yang notabene Covid-19 masih cukup parah karena vaksinasi belum merata dan sebagainya, tapi Indonesia mampu melaksanakan 270 pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Hal ini juga perlu dipertanyakan mengapa pembatasan kegiatan negara yang sangat sakral harus ditunda dengan alasan yang sudah kita buktikan antitesisnya terlebih dulu.
Hal yang menurut saya menarik selanjutnya adalah adanya wacana analisis bahwa warga negara Indonesia setuju dengan penundaan pemilu, lagi-lagi perlu dipertanyakan siapa yang mendukung statement ini? Mayoritas warga yang mana? Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing? Kaum marjinal atau pengusaha pemilik modal? Buruh tani atau anggota parlemen? Kan harus jelas.
Bahkan, ketika nanti dikatakan ada survey misal 80% warga Indonesia setuju pemilu ditunda, perlu dianalisis lagi 80% ini berapa orang dan siapa saja. Jika yang disurvey adalah 5 orang elit politik yang memang menginginkan praktik oligarki secara ekstrem dan 4 orang setuju, itu sudah bisa dikatakan 80% setuju, bukan begitu?
Merujuk pada pernyataan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago bahwa pembeda antara sistem demokrasi dengan otoritarianisme adalah adanya pembatasan masa jabatan presiden. Lalu demokrasi mana yang diagungkan selama ini jika kekuasaan negara bisa diperpanjang tanpa rasionalisasi yang bisa diterima?
Saya memandang bahwa penundaan pemilu yang berarti memperpajang masa jabatan presiden dan wakil presiden serta anggota parlemen ini akan sangat berpotensi menjadikan Indonesia kembali menuju sistem orde baru. Apakah memang itu yang diinginkan beberapa kalangan pendukung penundaan pemilu? Pemegang sistem pemerintahan harusnya memahami bahwa Pemilu 2024 merupakan amanah reformasi dan hak warga negara yang harus dipenuhi.
Ada tanggung jawab moral dan pemenuhan janji yang harus ditepati. Jika ingin memperpanjang masa jabatan kepala negara dan anggota parlemen, maka lakukanlah amandemen untuk periode selanjutnya dan tetap melaksanakan pemilu 2024, bukan malah menunda kewajiban yang jelas di depan mata. Apa mungkin ada calon dari salah satu kubu yang ragu akan kemenangan ataukah ada kepentingan yang belum tuntas di ranah kekuasaan?