Al-Jabiri mengungkapkan dalam wawancara yang dilakukan kepadanya pada Majalah al-Ayyam dengan mengatakan bahwa ia mulai tertarik terhadap segala bentuk yang berkaitan dengan al-Qur’an pada tahun 70-an. era tersebut sangat kental dengan massifnya tranformasi ideologi.
Efek dari tranformasi tersebut paling tidak menimbulkan 2 keadaan; pertama, ketika terdapat perbedaan pendapat maka sikap mudah mengkafirkan semakin bergeliat dimana-mana. Kedua, interpretasi terhadap teks-teks agama menjadi liar alias ngawur (Yahya, 2010). Efek-efek tersebut mengakibatkan mudahnya kalam Tuhan diinterpretasi semaunya sesuai dengan kehendak yang berkepentingan. untuk itu, al-Jabiri menawarkan dua pendekatan baru yakni obyektif dan rasional sebagai jawaban atas persoalan di atas.
Abed al-Jabiri dan Perjalanan Singkat Hidupnya
Muhammad Abed al-Jabiri, lahir pada tanggal 27 Desember 1936 di kota Fejij Maroko, tepatnya di Perancis (al-Jabiri A. , 2000). Al-Jabiri mulai berhadapan dengan kultur ataupun tradisi Perancis semenjak menginjak masa kuliah, tepatnya di Universitas Muhammad al-Khamis, Rabat, Maroko.
Al-Jabiri menunjukkan minatnya yang besar terhadap pelajaran filsafat. Ini dibuktikan dengan ia masuk ke Universitas Damaskus Syiria pada tahun 1958. Akan tetapi, dalam waktu yang singkat pada tahun 1959 al-Jabiri pindah ke Universitas Rabat. Beberapa tahun kemudian tepatnya pada tahun 1967 al-Jabiri menyelesaikan program masternya dengan judul tesis Falsafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, dengan pembibing N. Aziz Lahbibi (Khairini, 2016). Tidak lama kemudian ia menyelesaikan program doktornya di Universitas V Rabat, Maroko, tahun 1970 dengan judul disertasi ‘Ilm al-‘Umran al-Khalduni: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah fi al-Tarikh al-Islami dengan pembimbing Najib Baladi (Yahya, 2010).
Di luar kegiatan ilmiahnya al-Jabiri juga aktif sebagai seorang aktifis politik dengan ideologi sosial. Dalam riwayat kehidupannya al-Jabiri pernah aktif dalam sebuah partai yakni Union Nationale des Fores Popularies (UNFP) dan berubah menjadi Union Sosialiste des Fores Popularies (USFP) (Khairini, 2016).
Berikut Karya-Karya al-Jabiri yang telah tersebar luas dan mendapatkan berbagai respon baik positif maupun negatif (al-Jabiri M. A., 1989) : (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-Aql al-‘Arabi dan A;-Aql al- Siyasi al-‘Arabi), al-Khitab al-‘Arabi al-Hadstah, Wijhah Nazr nahwu I’adah bina Qadlaya al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashir, al-Mas’alah al-Tsaqafiyah, Mas’alah al-huwiyah dan al-Mutsaqqafun al-‘Arab fi al-Hadlarah al-Islmaiyah.
Abed al-Jabiri dalam Peta Sejarah Tafsir al-Qur’an
Beragam diskurusus al-Jabiri terkait al-Qur’an tidak lahir dari ruang hampa, al-Jabiri terikat dengan gagasan-gagasan sebelumnya yang terlahir lebih dahulu. Bahkan al-Jabiri mengusungkan agar tidak menghilangkan turats dalam tradisi ilmiahnya, sehingga keterhubungannya dengan diskursus klasik tidak terlompati atau dalam artian terdapat keterkaitan yang kompleks antara pemikiran yang ditelorkannya di era kontemporer saat ini.
Adapun tujuannya ialah membebaskan dari berbagai macam kepentingan yang bersifat ideologis maupun sektarian. Sebagaimana periodesasi masa penafsiran menurut Abdul Mustaqim dengan merujuk kepada teori the History of Idea of Qur’anic Interpretation melalui kerangka pikiran Jurgen Habermas, Ignaz Goldziher, dan Kuntowijoyo yakni era formatif, era afirmatif, dan era reformatif.
Berangkat dari pembagian masa tersebut hemat penulis bahwa al-Jabiri telah mengambil langkah pembaharuan demi melepas belenggu ideologi dan sektarian. Sebut saja di era formatif yang di mulai dari masa Nabi SAW. Abdul Mustaqim mengidentikkan masa ini cendrung memakai tafsir bil riwayah atau Deduktif. Kemudian era afirmatif dengan kecendrungan yang berbasis nalar ideologi dan sektarian.
Era ini menurut Abdul Mustaqim berlangsung pada abad pertengahan ketika kultur penafsiran terbagi atas beragam corak penafsiran, tepatnya dengan kecendrungan bil ra’yi, deduktif, tahlili. Untuk itu, al-Jabiri masuk pada era yang terakhir yakni era reformatif yang kecendrungannya non-ideologis, kritis, solutif, dan transformatif.
Hermeneutika al-Qur’an Abed al-Jabiri
Dari beberapa literatur penulis mendapati bahwa al-Jabiri menawarkan konsep metodologi terkait pembacaan teks. Salah satunya al-Jabiri menawarkan pembacaan yang objektif dan rasional terhadap teks kemudian disertai dengan maksud menjadi al-Qur’an utuh pada ruang dan waktu masa turunnya begitupun sama utuhnya pada ruang dan waktu yang berbeda. Dari pernyataan tersebut kita mendapati dua konsep utama yakni al-Fashl yang menjawab problem objektifitas dan al-washl yang menjawab problem rasionalitas.
Berikut penjelasan ringkas terkait dua konsep tersebut :
- Al-Fashl dan problem objektivitas
Konsep awal ini digunakan untuk menggali dan mendalami pembacaan teks yakni menjadikan al-Qur’an itu utuh dalam dirinya sendiri yakni pada konteks diturunkannya. Lebih jelasnya menjadikan teks mandiri dari segala bentuk pemahaman terhadapnya pada tataran problematika teoritis, kandungan epistimologis dan subtansi ideologis (al-Jabiri A. , 2000). Dalam bahasa Gadamer pembaca harus melakukan kerja “pisah” yakni memisahkan diri dari dan atau terhadap bacaan, ini yang disebut sebagai distanction.
Ini merupakan tahap awal yakni membebaskan diri dari asumsi-asumsi apriori terhadap tradisi dan keinginan-keinginan individual seorang pembacaan dalam konteks kekinian (Kurdi, 2010). Ringkasnya pada tahap pertama ini al-Jabiri menawarkan tiga langkah metodologis, pertama, pendekatan struktural yakni pembaca harus membaca teks tidak secara terpisah melainkan membacanya dengan kebersatuan yang berlandaskan relasi (Kurdi, 2010).
Menurut penulis, al-Jabiri menginginkan pada pembacaan teks tidak boleh membacanya atau mengambil maknanya melalui kata-kata yang terpisah akan tetapi setiap kata punya relasi sehingga makna bisa ditarik ketika setiap kata dimaknai bersama. Kedua, analisis historis. Yakni proses di mana pembaca menghubungkan antara realitas dan teks yang dimaknai. Bahwa teks tidak muncul dan timbul begitu saja namun di dalam ruang, waktu , dan konteks tertentu. Ketiga, kritik ideologi (Kurdi, 2010, p. 99).
Al-Washl dan Masalah Rasionalitas
Setelah melalui tahap pertama yakni pemisahan antara pembaca dan teks, tahap kedua ini merupakan tahap yang berkebalikan yakni tahap penyatuan antara pembaca dan teks. Dengan harapan teks mampu hidup pada konteks pembacanya.
Penjarakan atau pemisahan yang bertujuan untuk mengeluarkan objektivitas teks bukan berarti mengikis dan menghilangkan tradisi teks untuk jauh dari teks itu sendiri, justru pemisahan yang dilakukan ialah untuk kembali kepadanya dengan bentuk baru dengan hubungan-hubungan dan relasi-relasi yang baru pula (Kurdi, 2010, p. 100). al-Jabiri menyebutnya menjadikan teks tersebut kontemporer pada masa kini dengan cara memahaminya secara rasional, baik untuk rumusan teori maupun sebagai ideologi.
Hemat penulis, obyektif dan rasional ialah dua kata yang mewakili dari inti tawaran al-Jabiri atas begitu banyak kontribusinya, terkhusus pada bidang pemahaman dan pembacaan atas teks-teks al-Qur’an.