Saya sering mendapat pertanyaan “mengapa menghafal al-Qur’an begitu marak di negeri kita dan apa yang menyebabkan fenomena ini terjadi?”
Dalam bulan Nuzul Qur’an ini saya akan mengupas tentang mengapa menghafal al-Qur’an lebih populer di kalangan kita dibandingkan dengan memahaminya.
Jujur harus saya katakan di sini bahwa fenomena menghafal al-Qur’an di Indonesia begitu dahsyat terjadi paling tidak dalam kurun 15 tahun terakhir. Pesantren hafalan al-Qur’an dibuka dimana-mana, tidak hanya dibuka, namun juga diminati oleh banyak kalangan di Indonesia. Dulu mereka yang mengirimkan anak mereka menghafal al-Qur’an adalah kelas menengah ke bawah dan rata-rata dari kalangan pedesaan. Namun kini orang-orang kaya di kota berbondong-bondong juga mengirimkan anak mereka untuk menghafal al-Qur’an.
Sudah banyaknya jumlah penghafal al-Qur’an itu hal yang menggembirakan, namun lebih menggembirakan lagi apabila juga banyak juga yang paham isi al-Qur’an. Mengkaji, memaknai, mencari rahasia hidup dan pengetahuan dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang tidak akan lekang. Tanpa kemampuan memaknai al-Qur’an, maka sesungguhnya kita kurang sempurna.
Kita nampaknya banyak sekali penghafal al-Qur’an, namun sedikit sekali pengkaji al-Qur’an. Sayangnya, banyak penghafal al-Qur’an yang tidak mengerti isi dan makna al-Qur’an.
Mari kita melihat sejarah pemwahyuan al-Qur’an. Al-Qur’an diwahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dengan membawa dua hal penting. Pertama, al-Qur’an diwahyukan untuk membuka hati (fath al-qulub) dan kedua, al-Qur’an diwahyukan untuk membuka akal (fath al-‘aql) orang-orang Mekkah dan Medinah. Mereka yang hati dan akalnya berhasil terbukalah yang bisa menerima al-Qur’an dan karenanya al-Qur’an menjadi cara mereka berakhlak, menjalani hidup dan sekaligus benteng bagi mereka.
Mengapa banyak orang menghafal al-Qur’an? Mari kita lihat pengertian al-Qur’an yang diberikan oleh banyak ulama. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad yang dengan membacanya sudah mendapat pahala (al-muta’abbad bi tilawatihi).
Karena dengan membacanya saja sudah mendapat pahala, maka bisa dimaklumi, banyak umat Islam yang antusias membaca al-Qur’an. Menghafal al-Qur’an adalah bagian dari membaca –dalam pengertian luas– melalui kekuatan hafalan.
Tradisi menghafal al-Qur’an yang begitu meriah ini mestinya dibarengi juga dengan kegairahan untuk memahami isi al-Qur’an. Kecintaan kepada al-Qur’an itu tidak hanya menghafal, namun juga mengkaji al-Qur’an. Memaknai kandungan al-Qur’an, mencari rahasia hidup dan pengetahuan dan menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup. Tanpa kemampuan memaknai al-Qur’an, maka sesungguhnya kita kurang sempurna.
Negara seluas Indonesia dan tempat tinggal umat Islam terbesar di dunia, seharusnya menjadi tempat yang subur tidak hanya bagi tradisi tilawah dan penghafalan al-Qur’an namun juga pengkajian isi al-Qur’an. Selama ini keadaan di Indonesia timpang, kita memiliki banyak sekali penghafal al-Qur’an, namun kita memiliki tidak banyak para penafsir al-Qur’an. Keadaan yang timpang ini yang menyebabkan sedikit sekali memberi sumbangan pada pengembangan ilmu tafsir.
Selain itu, karena kurangnya para pengkaji al-Qur’an sehingga marak pemahaman-pemahaman atas al-Qur’an yang tidak didasarkan pada ilmu sangat marak terjadi. Tidak hannya paham, namun juga marak gerakan-gerakan ekstrim yang didasarkan pada cara penafsiran al-Qur’an yang pendek.
Rasulullah sendiri pernah menyatakan dalam sebuah hadisnya:
Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah seseorang yang membaca al-Qur’an, hingga terlihat kebesaran al-Qur’an pada dirinya. Dia senantiasa membela Islam. Kemudian ia mengubahnya, lantas ia terlepas darinya. Ia mencampakkan al-Qur’an dan pergi menemui tetangganya dengan membawa pedang dan menuduhnya syirik. Saya (Hudzaifah) bertanya: “Wahai Nabi Allah, siapakah diantara keduannya yang lebih berhak atas kesyirikannya, yang dituduh ataukah yang menuduh?” Beliau menjawab: “yang menuduh”. [HR. Bazzar].
Idealnya, seorang penghafal al-Qur’an juga penafsir al-Qur’an. Dia mengerti arti dan makna setiap kata yang dilafalkan. Namun pada kenyataannya tidak demikian adanya. Pesantren-pesantren hafalan al-Qur’an biasanya menfokuskan diri pada hafalan. Para santri tidak terlalu banyak dibebani untuk belajar alat menafsirkan al-Qur’an. Karenanya, banyak kita jumpai penghafal al-Qur’an yang tidak memahami makna al-Qur’an. Mereka melakukan hafalan ini semata-mata untuk ta’abbudi (ibadah), bukan taffakur atas wahyu Allah. Ta’abbudi bisa dicapai dengan hafalan, namun taffakur hanya bisa dicapai dengan belajar alat untuk memahami kandungan al-Qur’an.
Di pusat-pusat hafalan al-Qur’an pesantren tradisional, setelah menamatkan hafalan al-Qur’annya, mereka melanjutkan belajar ilmu-ilmu keislaman seperti Nahwu, Sharaf, Fiqih, Ilmu Tafsir, Usul Fiqih dan lain sebagainya. Semua ini dipelajari agar mereka bisa memaknai, menafsiri dan memahami secara benar kandungan al-Qur’an.
Karenanya, keadaan yang sangat ideal bagi kita semua adalah apabila para penghafal al-Qur’an juga mengetahui dan memahami isi al-Qur’an. Keadaan ini yang bisa membawa kita, umat Islam Indonesia, bisa memberikan sumbangan pada pengembangan kajian al-Qur’an. Bukankah memahami al-Qur’an adalah kunci kemajuan umat Islam?