Jumat, Maret 29, 2024

Menakar Shortfall Pajak

Muhammad Husein Heikal
Muhammad Husein Heikal
Analis Economic Action (EconAct) Indonesia

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, shortfall penerimaan pajak tetap tidak dapat terhindarkan. Shortfall pajak telah menjadi takdir bagi perekonomian Indonesia, dan memberi dampak signifikan terhadap defisit anggaran. Dari tahun ke tahun, ruang defisit APBN terus melebar. Dapat kita lihat pada tahun 2016 total defisit anggaran mencapai Rp 305,2 triliun. Sementara dalam rancangan APBN-P 2017, pemerintah memperkirakan defisit akan mengalami pelebaran dari target sebelumnya 2,41 persen, menjadi 2,67 persen (Rp 362,9 triliun) terhadap PDB. Tentu kita memahami defisit harus terjaga tidak tembus 3 persen, sesuai dengan UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Jalan menutup defisit ialah melalui mekanisme utang. Dengan kata lain pemerintah mengandalkan utang untuk menambal defisit anggaran. Semakin lebar defisit, maka semakin besar utang. Berdasarkan data Kementerian Keuangan hingga akhir Agustus 2017, posisi utang Indonesia sebesar Rp 3.825,79 triliun. Jumlah itu meningkat Rp 45,81 triliun dari bulan sebelumnya atau selama bulan Agustus pemerintah berutang sekitar Rp 1,5 triliun. Penambahan utang tersebut berasal dari penarikan pinjaman sebesar Rp 2,87 triliun dan penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp42,94 triliun. Indikator risiko utang tersebut sampai bulan Agustus 2017 masih masuk kategori terkendali (well managable).

Pelebaran ruang defisit ini ‘terpaksa’ dilakukan untuk mengimbangi target penerimaan pajak yang tidak tercapai, demi menjaga kadar signifikan pertumbuhan ekonomi. Sebabnya, realita yang dihadapi saat ini, ialah potensi shortfall yang diperkirakan cukup mengerikan. Sampai akhir September 2017 penerimaan pajak yang tercapai masih sebesar Rp 770,7 triliun atau 60 persen dari target yang dipatok dalam APBN-P 2017 sebesar Rp1.283,6 triliun. Lantas, dalam kurun waktu tidak sampai tiga bulan terakhir tahun ini, akankah pemerintah berhasil menggenjot sisa penerimaan pajak yang kurang, sebesar Rp 513 triliun?

Tentunya, kemungkinan pencapaian 100 persen penerimaan pajak ini berpeluang sangat kecil untuk bisa terjadi. Bukannya kita memandang pesismis kinerja pemerintah sektor pajak. Namun secara asumsi dan kalkulasi kita hitung dalam kurun waktu sembilan bulan, terhitung Januari-September, pajak yang terkumpul Rp 770,7 triliun atau tidak mencapai tiga per empat dari total yang dipatok. Nah, sementara untuk menyedot Rp 513 triliun, kita hanya memiliki waku selama tiga bulan saja. Tentu saja ini tantangan yang teramat berat.

Meski disisi lain, otoritas pajak masih memiliki optimisme yang cukup tinggi dalam mengejar sisa target penerimaan pajak tahun ini melalui berbagai upaya strategis. Dirjen Pajak baru saja menerbitkan Instruksi Dirjen Pajak 5/PJ/2017 tentang Pengamanan Penerimaan Ditjen Pajak tahun 2017. Melalui instruksi ini diharapkan target penerimaan pajak bisa lebih cepat dikejar melalui tiga hal penting, yaitu kesiagaan setiap Kakanwil Ditjen Pajak selama 24 jam setiap harinya, pemanggilan wajib pajak yang dilakukan Kakanwil Ditjen Pajak dalam rangka pengecekan kepatuhan, serta harapan implementasi terbaik dalam menjalankan instruksi tersebut.

Namun, meskipun pihak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) ini telah bekerja keras dan mati-matian sekalipun, shorfall target pajak tetap terjadi tentunya. Saya kira ini adalah sebuah ketentuan yang tak terlanggar. Shortfall adalah takdir. Hanya letak pertimbangannya ialah secara kalkulasi yaitu pada jumlah shortfall yang direduksi sekecil mungkin.

Adapaun penyebab shortfall tahun ini, terjadi karena adanya penerimaan yang tidak berulang seperti uang tebusan program pengampunan pajak dan Pajak Penghasilan (PPh) final revaluasi. Menjadi fakta bahwa realisasi penerimaan pajak dari bulan Januari-September tahun 2017 justru mengalami pertumbuhan minus 2,79 persen (yoy). Inilah kelesuan yang diakibatkan dari program kontemporer bernama amnesti pajak. Sebab, pada akhir 2016 penerimaan perpajakan masih terbantu oleh sumbangsih program ini sebanyak Rp 100 triliun. Sementara, pemerintah tidak mendapatkan penerimaan sebesar itu pada akhir tahun 2017 karena program itu sudah berakhir.

Meski di awal tahun, Januari-Maret 2017 pemerintah masih berhasil menyedot penerimaan pajak untuk selalu berada di atas target. Namun, begitu UU No. 11 tahun 2016 tentang Amnesti Pajak berakhir pada 31 Maret 2017, penerimaan sontak melesu. Maka sebagai upaya ekstra menggenjot pemasukan pajak kembali, pemerintah menerbitkan PP No. 36 tahun 2017.

Pemberlakuan PP No. 36 tahun 2017 merupakan sebuah aturan bagi kepatuhan para wajib pajak. Selain itu pula, peraturan ini menjadi acuan bagaimana penegakan hukum pajak mesti dijalankan bagi yang ikut maupun tidak ikut program pengampunan pajak yang telah berakhir. Namun sayangnya upaya itu nampaknya belum memberi hasil maksimal.

Tentunya, kita memahami bahwa shortfall penerimaan pajak ini bersifat menghambat kinerja ekonomi. Shortfall menciptakan defisit yang mau tak mau harus ditambal dengan utang. Padahal seandainya seluruh total target tercapai alias tidak ada shortfall maka betapa mulusnya roda perekonomian kita. Akan tetapi, itulah yang dinamakan tantangan, yang tentu memerlukan berbagai perjuangan menyelesai kannya.

Muhammad Husein Heikal
Muhammad Husein Heikal
Analis Economic Action (EconAct) Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.