Jumat, April 19, 2024

Menakar Peluang dan Tantangan Koalisi Demokrat-PKS

Asep Wahyudin
Asep Wahyudin
Penggiat Budaya

Politik memang selalu menarik untuk dijadikan bahan kajian, tema perbincangan ataupun diskusi. Pada hakekatnya politik merupakan seni untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan yang dalam pelaksanaannya kerap diwarnai oleh trik dan intrik serta berbagai macam siasat untuk menjatuhkan lawan dalam rangka meraih kemenangan.

Niccolo Machiavelli seorang pemikir dari Francis melalui karya tulisnya dengan gamblang memberikan gambaran bagaimana manusia meraih kekuasaan dengan berbagai jalan yang ditempuh, bahkan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan yakni kekuasaan. Memang demikian adanya, nikmat kekuasaan selalu saja menggoda nafsu manusia.

Dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, kekuasaan pemerintahan hanya bisa diraih dengan mekanisme Pemilihan Umum (Pemilu) melalui lembaga Partai Politik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya pemilu dengan sistem multi partai di Indonesia, belum pernah ada satupun partai politik yang menjadi pemenang pemilu dengan perolehan suara mayoritas atau diatas 50 persen.

Berdasarkan fakta bahwa tidak ada partai politik yang menjadi mayoritas, dan untuk menjaga kestabilan pemerintahan sekaligus memenuhi aturan ambang batas Presidential Threshold (PT) yang menjadi syarat mutlak pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden oleh partai politik, maka koalisi partai adalah sebuah keniscayaan.

Demikian pula dengan Partai Demokrat, partai politik yang pernah menjadi pemenang dengan perolehan suara terbanyak pada pemilu tahun 2009 ini, pasca dilanda konflik internal dengan munculnya Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, tentunya harus segera mengambil langkah konsolidasi yang tepat dan terukur, baik secara internal maupun eksternal demi kemajuan partai penguasa selama dua periode pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Sebagai Ketua Umum, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah bisa dipastikan telah mengambil langkah-langkah konsolidasi internal partai dengan cermat, termasuk langkah antisipatif agar peristiwa semacam KLB Deli Serdang tidak terulang kembali. Lalu bagaimana strategi eksternal partai? dan kemungkinan langkah yang diambil untuk membangun koalisi dengan partai lain.

Koalisi Demokrat – PKS

Memperhatikan eskalasi politik Indonesia saat ini, dimana sebagian besar partai politik telah bergabung dalam koalisi partai pendukung pemerintahan Joko Widodo – Makruf Amin, maka langkah politik demokrasi jalan tengah ala SBY yang selama ini menjadi sikap politik dan posisi Partai Demokrat, sudah saatnya untuk ditinggalkan.

Pada kenyataannya hanya tinggal beberapa partai politik yang berada di luar pemerintah yakni Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sementara untuk PAN sendiri melihat sikap politik terakhir, masih menunjukkan minat untuk bergabung dengan pemerintah, dan masih berharap untuk mendapat jatah kursi menteri.

Dengan fenomena tersebut maka langkah yang paling rasional adalah membangun koalisi partai politik di luar partai pendukung pemerintahan (Oposisi) antara Demokrat dengan PKS, dengan mengesampingkan perbedaan ideologis partai, yang justru akan lebih menguntungkan karena kedua partai ini  memiliki basic massa pendukung yang berbeda.

Koalisi Demokrat – PKS ini bukan hal yang sulit, karena PKS pernah menjadi partai pendukung pemerintahan SBY. Selain itu komunikasi politik antara Demokrat dengan PKS sempat terbangun pada pelaksanaan pemilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017 lalu, meskipun ada sebagian pengamat politik yang menyebutkan bahwa Demokrat “dimanfaatkan” oleh PKS pada saat itu.

Disisi lain, pelaksanaan Pilgub DKI 2017 terdapat momentum positif yang dilakukan oleh AHY yang menjadi rekam jejak sekaligus mendapat perhatian publik,  yaitu dengan melakukan pidato penerimaan kekalahan dirinya dalam Pilgub DKI berdasarkan hitung cepat (quick count) sebelum adanya keputusan resmi KPUD DKI Jakarta. Sikap legowo yang seharusnya dicontoh oleh siapapun yang terlibat dalam kontestasi politik.

Sedangkan bagi PKS sendiri koalisi ini akan memberikan justifikasi atas eksistensi PKS sebagai lokomotif oposisi manakala dilihat dari kiprahnya selama ini, terutama pasca pemilu tahun 2014.

Pilgub DKI dan Pilpres 2024

Esensi politik menurut David Easton adalah siapa, mendapat apa, kapan dan dimana, atau dengan kata lain esensi politik adalah kepentingan. Demikian juga dengan koalisi Demokrat – PKS, yakni untuk menjadi ajang  bertemunya kepentingan politik dalam rangka mencapai tujuan bersama yang saling menguntungkan. Koalisi Demokrat – PKS ini sangat penting untuk menghadapi Pilgub DKI, dan tentu saja yang utama adalah untuk menghadapi pemilihan presiden tahun 2024.

Jika koalisi Demokrat – PKS ini terbangun, maka sudah bisa diprediksi bahwa koalisi ini akan mengusung pasangan Anies Baswedan – Agus Harimurti Yudhoyono atau sebaliknya sebagai capres – cawapres  pada pilpres tahun 2024. Sebagaimana hasil survei terbaru yang menunjukkan tingginya elektabilitas mereka.

Sementara untuk Pilgub DKI ada dua skema cagub – cawagub. Pertama, jika Pilgub DKI diselenggarakan pada tahun 2022, maka PKS akan tetap mencalonkan Anies Baswedan sebagai gubernur petahana. Sedangkan Demokrat mendapatkan posisi wakil gubernur dari internal kader muda partai seperti: Ridho Ficardo mantan Gubernur Lampung, Emil Dardak Wakil Gubernur Jawa Timur, atau Dede Yusuf mantan Wagub Jawa Barat.

Dengan ketentuan, jika Anies – AHY diusung dalam pilpres 2024 dan berhasil terpilih, maka posisi gubernur DKI menjadi jatah Demokrat dan posisi wagub menjadi jatah PKS, akan tetapi skema ini kemungkinannya sangat kecil, mengingat revisi UU no 6 tahun 2016 yang akan dijadikan dasar hukum Pilgub DKI untuk tetap dilaksanakan pada tahun 2022, sesuai dengan berakhirnya masa jabatan gubernur Anies Baswedan periode ini, sejauh ini belum ada tanda-tanda akan dilaksanakan bahkan menurut Mensesneg Pratikno, rencana revisi ini tidak ada atau belum masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021.

Skema kedua, jika Pilgub DKI dilaksanakan pada tahun 2024 berbarengan dengan pelaksanaan pilpres 2024, maka untuk pilpres pasangan yang diusung Anies – AHY (PKS-Demokrat) sedangkan untuk Pilgub DKI komposisi sebaliknya yakni pasangan Demokrat – PKS.

Target Massa Pemilih

Berbeda dengan PKS yang memiliki kader relatif militan dan segmen massa pendukung yang cenderung stabil, maka Demokrat perlu kerja keras untuk mendongkrak perolehan suara pada pemilu 2024, dengan target pemilih diantaranya: Pertama, swing voter alias massa mengambang yang bukan kader partai ataupun pemilih kultural, dalam setiap pelaksanaan pemilu jumlah swing voter ini cukup signifikan.

Kedua, massa atau simpatisan Partai Gerindra yang kecewa atas keputusan Ketua Umum Prabowo Subianto yang bergabung kedalam pemerintahan, juga simpatisan PAN yang kecewa atas sikap politik yang masih berharap masuk dalam kabinet ataupun massa yang kecewa pasca kongres PAN Makasar.

Ketiga, pemilih pemula dari kalangan milenial, Tentu saja dalam hal ini bisa dioptimalkan sosok AHY sebagai figur pemimpin muda yang menjadi Ketua Umum Partai, juga sosok sang istri Anisa Pohan yang berasal dari kalangan artis. Selain untuk Pilpres, isu atau trend pemimpin muda ini berlaku juga di Pilgub DKI. Sebut saja Partai Kebangkitan Bangsa dengan wacana akan mengusung artis Raffi Ahmad dan Agnes Monica, atau PAN dengan wacana serupa yang akan mengusung Pasha Ungu dan Dessy Ratnasari untuk Pilgub DKI.

Keempat, pemilih rasional. Pemilih ini yang akan memberikan suaranya atas dasar program kerja yang ditawarkan. Tentu saja ini menjadi tugas berat bagi koalisi untuk menyusun program kerja tandingan yang rasional dan jauh lebih baik dari petahana, bukan asal beda.

Semua itu bisa dicapai dengan kegigihan dan kerja keras, dan yang lebih penting adalah “keberanian” SBY untuk mengubah citra dirinya, puasa bicara dan mandeg pandito menjadi Bapak Bangsa atau Guru Bangsa dan merelakan AHY  menyelesaikan masalahnya sendiri demi kedewasaan politiknya.

Presidential Threshold

Apakah pencalonan Anies – AHY oleh koalisi partai Demokrat – PKS sudah selesai?, Tentu saja belum, karena berdasarkan UU no 7 tahun 2017 disebutkan bahwa syarat partai politik yang akan mengajukan capres-cawapres harus memilik 20 % kursi di DPR atau 25 % perolehan suara.

Sementara perolehan suara partai Demokrat pada pemilu 2019 adalah  sebanyak 54 kursi atau 10.876.057 (7,77%) dan PKS sebanyak 50 kursi atau 11.493.663 (8,21 %) sesuai dengan angka BPP masing-masing dapil. Dengan demikian koalisi ini memiliki 104 kursi dari 575 kursi DPR RI (18%) dengan jumlah suara sebanyak 15,98%.

Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat 20 – 25% Presidential Threshold maka Koalisi Demokrat – PKS membutuhkan tambahan suara dari partai lain. Kemungkinan tersebut bisa saja diperoleh dari PAN yang memiliki 44 kursi DPR atau suara sebanyak 9.572.623 (6,84%), atau dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki 19 kursi DPR atau suara sebanyak 6.323.147 (4,52%). Yang pasti langkah koalisi Demokrat – PKS ini harus segera diwujudkan, setidaknya untuk menaikkan posisi tawar keduanya manakala ada partai lain yang ingin bergabung kedalam koalisi. Tidak ada yang tidak mungkin dalam politik. Karena politik adalah seni tentang segala kemungkinan.

Asep Wahyudin
Asep Wahyudin
Penggiat Budaya
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.