Kamis, Oktober 3, 2024

Amien Rais dan Buya Syafii Maarif, Dulu dan Kini

Amirullah
Amirullah
Aktifis Muda Muhammadiyah dan Alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Syarifhidayatullah Jakarta

Mohammad Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif, dua tokoh yang cukup “kontroversial”. Pandangan dan sikap mereka seputar persoalan keumatan dan kebangsaan seringkali mengundang keramaian dan perdebatan.

Dua tokoh itu adalah sosok yang kerap dicaci dan dimaki, sekaligus juga sangat dicintai. Dua sosok cendekiawan muslim yang hampir tidak pernah kering dibicarakan dan bahkan semakin basah dibicarakan oleh buah bibir jutaan rakyat Indonesia hingga kini.

Apalagi di tengah mengemukanya berbagai polemik politik, ekonomi, sosial, bahkan agama. Menariknya, sikap intelektual dua tokoh ini tak jarang sangat “kontras”. Pak Amien dan Buya Syafii, di sisa-sisa waktu umurnya yang senja, seolah belum mampu memenuhi dahaga publik yang kering kerontang ditempa berbagai problematika kebangsaan yang saat ini semakin kompleks.

Pak Amien dan Buya Syafii adalah dua tokoh intelektual penting yang pernah dimiliki Indonesia. Adalah Gus Dur (1993), yang menyebut mereka sebagai generasi pertama cendekiawan muslim dari universitas Chicago, dan memberi gelar “Tiga Pendekar Chicago” kepada yakni Amien Rais, Syafii Maarif, dan Nurcholish Madjid.

Setelah ditinggal almarhum Cak Nur dan juga Gus Dur, Amien Rais dan Buya Syafii yang terus mewarnai dinamika pemikiran dan gerakan sosial-keagamaan serta politik di Indonesia. Bahkan pada aspek tertentu mereka seringkali “berpolemik”.

Gelora revolusi dan menebar kasih  

Meski sama-sama lulusan Chicago, dan lahir dari rahim Muhammadiyah, dua tokoh ini memiliki ekspresi intelektual yang berbeda. Pak Amien lebih kental dengan intelektual gerakan yang sangat kritis dan revolusioner menyatu dengan massa. Sementara Buya Syafii adalah cendekiawan muslim yang menebar kasih menjahit keindonesiaan. Teguh memperjuangkan hak-hak minoritas, pluralisme, dan menjaga kebhinekaan dengan tulus dan bijak.

Jika Pak Amien jarang menyibukkan dirinya dengan dialog antar umat beragama, isu-isu perdamaian dan diskriminasi, Buya Syafii juga hampir tidak pernah turun aksi ke jalan bersama massa menyuarakan aspirasi-aspirasi politik, menentang pemerintah, atau berorasi di tengah massa buruh.

Dalam kasus “penistaan” Alquran oleh Ahok Gubernur DKI Jakarta pada 2017 silam, sikap keduanya terlihat “kontras”. Keduanya memberikan respons yang berbeda terhadap kasus yang menyita energi umat dan bangsa itu. Pak Amien aktif bersama jutaan umat Islam turun ke jalan menyerukan segera “Tangkap dan Seret Ahok Penista Agama Itu”.

Sementara Buya Syafii, menentang fatwa MUI yang dinilainya tidak berdasarkan kajian mendalam dan sangat tendensius. Ia melihat Aksi Bela Islam lebih kental muatan politiknya dan ia cukup gelisah manakala umat masih belum menerima bahwa Indonesia adalah rumah bersama, di mana latar belakang agama, suku, dan ras bukanlah penghalang dalam kesetaraan sosial dan pilihan politik.

Rahim aktivis, berbeda gerakan 

Pak Amien Rais dan Buya Syafii merupakan sosok intelektual dan aktivis sekaligus. Aktivisme pak Amien dapat dilacak ketika ia aktif di kegiatan organisasi kemahasiswaan. Sejak tahun 1964 ia aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Kemudian pada MUNAS IMM tanggal 26-30 November 1967 di Banjarmasin, Pak Amien termasuk 5 orang formatur terpilih dari 17 calon formatur.

Ia kemudian diamanahkan sebagai ketua DPP IMM yang membidangi politik. Konpernas IV IMM tahun 1970 di Magelang, Pak Amien kembali terpilih sebagai Ketua DPP IMM bidang politik. Wawasan dan spirit gerakan yang menjiwai intelektualismenya barangkali ikut membentuk dirinya manakala ia memimpin lembaga ini. Sebelum itu, Pak Amien juga pernah bergabung dalam kegiatan-kegiatan komisariat HMI di UGM sebelum IMM lahir.

Buya Syafii juga semula merupakan aktivis HMI. Perkenalannya dengan pemikiran keislaman barangkali sangat dipengaruhi oleh tradisi diskursus keilmuan di HMI yang cukup kuat saat itu. Dua cendekiawan ini, meski sama-sama lahir dari rahim aktivis,  memiliki ekpresi gerakan intelektual yang berbeda jika bukan “kontras”.

Ada banyak faktor sesungguhnya yang ikut membentuk karakter intelektual dua tokoh ini, terutama sepulang dari Chicago, sentuhan-sentuhan pemikiran yang mereka geluti di sana sangat memengaruhi gagasan keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan “dua pendekar” yang tersisa ini.

Tahun 1980-an, Pak Amien lebih dikenal sebagai sosok intelektual yang sangat kritis daripada seorang politikus, meski pascareformasi ia kemudian bermetamorfosis menjadi politikus ulung. Lewat tulisan-tulisannya, ia dikenal luas oleh publik. Disamping menulis beberapa buku, Pak Amien juga menterjemahkan karya-karya Ali Syariati. Antara lain Islam and Man yang diterjemahkannya menjadi Tugas Cendekiawan Muslim. Pak Amien ikut terinspirasi dari gagasan dan gerakan tokoh intelektual yang mengobarkan revolusi Iran ini.

Berbeda dari Pak Amien, Buya Syafii banyak terinspirasi pemikiran Fazlur Rahman, intelektual Pakistan yang cukup tersohor itu. Ia pula yang banyak memperkenalkan gagasan Fazlur Rahman di Indonesia. Sekitar 20 lebih buku yang ditulis Buya Syafii, selalu menyertakan gagasan Fazlur Rahman di dalamnya. Rahman adalah intelektual yang Al-quran oriented. 

Selain Rahman, Buya Syafii banyak terpengaruh dengan pemikiran Muhammad Iqbal, dan beberapa sufi seperti Jalaluddin Rumi. Tidak heran jika Buya Syafii sangat mencintai kemanusiaan, Al-quran oriented, dan terus menyerukan persaudaraan sejati.

Di Indonesia, tokoh yang menjadi role model Pak Amien adalah M. Natsir. Sementara Buya Syafii mengidolakan Bung Hatta. Natsir, di mata Pak Amien merupakan icon dan seorang pemimpin umat yang berhasil mengombinasikan intelektualisme dan keulamaan dengan sangat baik. Sementara Bung Hatta di mata Buya Syafii adalah sosok yang memiliki “wawasan keindonesiaan dan berintegritas sebagai Muslim”. Bagi Buya Syafii, Bung Hatta merupakan seorang tokoh “nasionalis religius” yang inklusif.

Apa pun perbedaan keduanya, mereka sama-sama saling menghormati dan mencintai. Bagi Buya Syafii, bagaimanapun berbeda pandangan, Pak Amien adalah orang yang sangat berjasa dalam hidupnya. Ia bisa kuliah di Chicago karena bantuan Pak Amien, ia juga bisa jadi pengurus PP Muhammadiyah hingga menjadi Ketua Umum karena jasa dan kebaikan hati Pak Amien. Bahwa ada kritiknya terhadap sahabatnya itu, ia katakan  sebagai “bentuk kecintaan” kepadanya.

Pak Amien dan Buya Syafii adalah dua tokoh yang sangat kritis kepada siapa pun yang dianggap salah. Cendekiawan yang tidak pernah takut, sekalipun kepada Amerika tempat mereka dididik. Pribadi merdeka yang menjadikan tauhid sebagai landasan segala perjuangan intelektualnya.

Keduanya pernah menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Hingga kini, dalam usia senja mereka tak pernah absen bicara dan berkontribusi untuk bangsa. Di sinilah letak persamaanya dari sekian perbedaan yang ada. Mereka konsisten pada jalan intelektualismenya masing-masing.

Akhirnya, selamat milad yang ke-83 (31 Mei 1935-31 Mei 2018) Buya Syafii, sang guru bangsa. Selamat pula atas 20 tahun reformasi (21 Mei 1998-21 Mei 2018), kepada Bapak Reformasi Moh. Amien Rais. Semoga berkat dan rahmat Ilahi senantiasa melimpahi dua Pendekar Chicago tersisa. Amin.

Amirullah
Amirullah
Aktifis Muda Muhammadiyah dan Alumnus Sekolah Pascasarjana UIN Syarifhidayatullah Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.