Hingga detik ini, kita sebagai bangsa terus diuji ketabahan oleh Tuhan untuk memecahkan misteri seputar jodoh, rezeki, dan kematian, ditambah misteri siapa sebenarnya calon wakil presiden (Cawapres) Jokowi yang dipastikan akan kembali nyapres di tahun 2019.
Perlahan tapi pasti, misteri itu mulai terkuak. Namun serba-serbi sejumlah nama yang disebut-sebut sebagai pendamping Jokowi masih ditakar, ditafsir, dan dikalkulasi plus minusnya, sembari menanti “istikharah” politik Presiden Jokowi maupun bisik-bisik terarah dari sidekick-nya. Jangan lupakan juga hasil kontemplasi ‘Ratu Adil’ Ibu Megawati Soekarno Putri, termasuk inputan dari koalisi partai politik pengusung beserta relawan.
Kelompok Cawapres itu berasal dari aneka latar belakang, dari ketua umum partai politik, ekonom professional-teknokrat, penegak hukum, jendral militer dan polisi, hingga tokoh agama dengan daya influensial yang tinggi.
Ada anggapan yang berkembang bahwa Jusuf Kalla (JK) memang masih yang “terbaik” dari segi apa pun ketimbang nama-nama yang beredar selama ini. Jokowi sendiri yang menilai bahwa JK paket komplit, baik secara politik, ekonomi, pengalaman di pemerintahan dan aksi sosial-kemanusiaan, keagamaan, hingga urusan olahraga. Hanya saja, JK terkendala aturan konstitusi, lantaran sudah dua periode menjabat wapres, yaitu era Presiden SBY periode pertama (2004-2009), dan saat ini sebagai Wapres Jokowi.
Politik memang penuh kejutan. Adalah Partai Perindo yang berupaya memecah kebekuan ini, menggugat syarat cawapres ke MK, dan JK pun bersedia untuk jadi pihak terkait. Intinya bagaimana agar JK bisa mulus tanpa hambatan, guna melanjutkan paket Jokowi-JK di Pilpres 2019. Katakanlah gugatan itu diterima, kemungkinan besar JK kembali jadi cawapres Jokowi. Lalu bagaimana jika gugatan itu ditolak MK? Nah, sambil menunggu keputusan MK itu, kita juga memikirkan tokoh yang mendekati warna-warni JK.
Dalam suasana cuaca kultural politik bangsa akhir-akhir ini, semarak politik identitas kian mengkhawatirkan. Konsekuensinya, terjadi kegaduhan sosial-politik yang menghambat pembangunan nasional. Karena itu, memang dibutuhkan tokoh yang menjadi simpul pemersatu, bercita rasa domestik dan global. Adapun persoalan ekonomi, penegakan hukum, pertahanan keamanan dan problem fundamental lainnya, dapat diatasi lewat kemampuan teknokratik dari kalangan professional yang mengisi di struktur kabinet.
Mengacu pada hasil rilis survey LSI Denny JA mengenai Cawapres berlatar belakang tokoh agama yang layak mendampingi Presiden Jokowi, yang menarik adalah kemunculan nama Din Syamsuddin (17,2%), menempati posisi kedua setelah KH. Ma’ruf Amin (21%), lalu posisi ketiga disusul Tuan Guru Bajang (12,3%).
Wabil khusus, saya akan membahas sejauhmana ketokohan Din Syamsuddin (akrab disapa Bang Din) dapat memperkuat resonansi Jokowi, tidak hanya popularitas, kapabilitas, akseptabilitas, tapi juga keterpilihan, sehingga dapat melanjutkan proyeksi Indonesia hebat dan berkemajuan.
Pertama, Bang Din sangat mengakar di kalangan umat Islam, apalagi pernah jadi Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dua periode. Bahkan, Bang Din adalah representasi Muhammadiyah sekaligus Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, semasa berstatus pelajar di tanah kelahirannya, Bang Din adalah Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama Cabang Sumbawa (1970-1972).
Terlebih Bang Din adalah guru besar di bidang pemikiran politik Islam. Suasana kebatinan umat tak terpisah dari nafas Bang Din dalam debut pengabdiannya. Pergulatan pemikiran yang khas dan pilihan gerakan yang visioner dari Bang Din bisa menjadi modal kultural untuk merangkul sebanyak-banyaknya konstituen muslim.
Kedua, Bang Din punya kepiawaian komunikasi politik yang apik dengan aneka kelompok lintas ideologi dan partai politik. Bang Din mampu menjebol tembok-tembok politik demi pencerahan bangsa yang lebih luas. Sebut saja, tatkala PDI Perjuangan mendirikan Baitul Muslimin Indonesia pada tahun 2007 untuk menampung aspirasi politik muslim, salah satunya berkat peran Bang Din yang pada waktu itu cukup intens berkomunikasi dengan Alm.
Taufik Kiemas yang notabene ‘masyumi berkepala banteng’ (meminjam istilah Buya Syafii Maarif). Jejak politik Bang Din juga terekam ketika beliau berkiprah di MPR-RI awal-awal reformasi, bahkan pernah sebagai pengurus DPP Golkar. PKB di bawah kepemimpinan Cak Imin sebagai simbol NU, plus PPP yang diketuai oleh Romahurmuziy yang sangat Nahdliyyin sudah ada dalam rangkulan Jokowi.
Kecawapresan Bang Din bisa menjadi magnet yang menarik PAN, Perindo, PSI yang berwatak inklusif, dengan basis massa muslim reformis, termasuk PKS dan PBB serta Ormas Islam modernis lainnya. Pada saat yang sama, kehadiran Bang Din selaku tokoh MUI bisa meredam gejolak faksi muslim garis keras.
Ketiga, Bang Din punya keberterimaan di tingkat internasional dalam kapasitas sebagai utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban. Bang Din sangat strategis untuk mendampingi Jokowi mengingat pengalaman dan kemampuan berdiplomasi yang sudah teruji baik dalam percaturan global.
Sebagai alumni University of California, Los Angeles Amerika Serikat, Bang Din dapat bersuara mengartikulasikan kepentingan Indonesia dalam urusannya dengan USA yang penuh pasang-surut, sekaligus garansi kepada dunia Arab dalam skema “diplomasi Islam”. Karena itu, Bang Din diapresiasi banyak kalangan yang bersifat lintas batas, bukan hanya internal umat Islam, tapi juga umat beragama lainnya, kutub barat maupun kutub timur.
Keempat, secara kewilayahan, Bang Din dianggap mewakili unsur non-Jawa untuk memenuhi asas “keadilan” territorial, atau representasi kawasan timur Indonesia, maka kalau pun kita sulit melepaskan idealitas Jokowi-JK, maka Jokowi-Din adalah replikanya. Dari segi integritas, Bang Din relatif bersih dari skandal maupun perbuatan tercela.
Kehadiran Bang Din dalam radar Cawapres Jokowi, berpotensi memacetkan dukungan kelompok Islamis politis yang dikenal sebagai loyalis Prabowo (kalaupun jendral sohib Bang Din itu maju lagi). Mantan pendiri KAMMI Fahri Hamzah (sekampung Bang Din) pun bisa jadi akan puasa bicara, termasuk eksponen GPI Fadli Zon (dimana Bang Din adalah salah satu mentornya) juga akan sedikit melunak. Labeling “kecebong” dan “kampreters” lambat laun akan memfosil menuju politik yang berkeadaban.
Kelima, sebagai seorang professor, sekaligus orang lapangan yang membumi, Bang Din sangat komplit. Kesadaran kritis dan transformatif Bang Din terus menyala ketika menginisiasi “jihad konstitusi” dengan menggugat Undang-Undang (UU) yang tak memihak kepentingan nasional, antara lain UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, serta UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Bang Din bukan tidak memilih keterbatasan, namun beberapa keunggulan sebagaimana dalam uraian di atas tak bisa diabaikan juga. Jodoh belum pasti, namun mati itu pasti. Siapa pendamping Jokowi juga belum pasti, bahwa beliau maju itu pasti, tentu bersama pasangan cawapresnya. Kita tunggu saja.